Chapter 2
Melati Dan Aku
Aku masih berkutat melawan penyakitku ketika kenyataan getir itu menghentakku suatu hari. Sebetulnya harapan itu sudah punah sejak vonis dokter sebulan lalu. Meningoenchepalitis (penyakit yang diderita Keysha) yang kuidap sudah menghancurkan segalanya. Namun aku masih menabur asa pada impian yang kerontang. Dan dengan naifnya mengharap pemuda itu dapat menemaniku sampai menjelang ajal menjemput. Mungkin aku terlalu picik menyikapi kenyataan yang baru kuperoleh – bahwa gadis itu adalah kekasih dari pemuda yang paling aku cintai – justru pada saat-saat terakhir hidupku. Mungkin juga aku terlalu egois untuk dapat memiliki Marvel sepenuhnya meskipun Tuhan hanya mengizinkan aku bernapas tidak berapa lagi.
Beemart Bowling Centre masih meniupkan atmosfir yang sama. Udara yang meliuk hangat terasa berat di paru-paru. Aku dan Melati pergi jalan-jalan bersama. Melabuhkan langkah kaki pada poros kebimbangan yang melintang di atas keraguan. Serangkaian irama sunyi yang tepat terpahat di sedihnya hati yang dibawa semilir angin basah dari kebimbangan.
Gadis itu mematung seperti biasa. Ketegarannya menghalau tangis yang hendak pecah dari pelupuk mata. Kupandangi dalam-dalam wajahnya yang menunduk. Air mancur dari taman kota yang hijau keperakkan ditimpa temaram lampu taman di depan kami mengalir tenang. Seperti alur pikiran kami yang merambat getir di dalam benak masing-masing. Terdiam tanpa sepatah kata pun sehingga menyia-nyiakan puluhan menit waktu langkah kami.
Dia bersandar pada bangku taman, mencoba menyikapi alunan sunyi dengan senyum terpaksanya. Tapi semuanya sia-sia. Untaian lara yang bersimfoni tetap memaksa menghadirkan telaga bening di sepasang pipiku. Layaknya seorang hawa, dia dapat meraba kedalaman isi hatiku meski telah kututupi dengan tirai dusta.
“Keysha, tegurnya dengan suara lembut.”
“…Kamu jangan membohongi hatimu sendiri!”
Aku mengangkat wajah setelah sedetik menghimpun napas. Disambutnya tatapan mataku yang berkaca-kaca dengan hembusan udara yang keluar dari bibir tipisnya. Sesaat ia memejamkan mata, entah untuk apa. Tapi kutangkap kilau yang terpancar dari sepasang matanya. Bukti penderitaannya yang terpendam lama. Sebuah penantian yang rasanya sudah berabad-abad. Yang telah dirampas dari pelukannya saat pemuda itu sudah tergapai tangan.
“Aku tidak pernah mencintai, Marvel!”
Gadis itu terkekeh. Cukup untuk menampik alasanku tanpa harus dijelaskan dengan serentetan kalimat. Ia mendongak. Seperti kebiasaannya. Mencoba membenturkan pandangannya pada langit kelam, jauh di atas sana. Mungkin saja ada pendar bintang (Meteor Garden) yang turun dan melintas tepat di atas kepala kami. Tapi malam ini semuanya jauh dari harapan. Awan gemawan menutup layer langit yang senantiasa berhiaskan tahta gemintangnya yang ajaib. Barangkali langit malah akan meneteskan rinai hujan. Mungkin Tuhan belum mengizinkan dia mendapat jawaban pasti tentang ikrar masa lalu lewat penampakan bintang jatuh, yang pernah diucapkannya bersama pemuda yang kini tengah mengalami derita trauma otak akut – amnesia.
“Marvel mencintaimu.” Tegasnya, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku. Tulus berharap.
“Dia sangat mencintaimu, Keysha!”
“Dasar Virgo, bodoh sekali anak itu.” Kataku, menderaikan tawa di ujung kalimat.
“Virgo itu memang bodoh, Melati. Aneh, apa dia pikir dengan perhatian lebih yang kuberikan selama ini…”
Melati menyergah. Alisnya bertaut, penggambaran amarah yang keluar atas kekerasan hatiku. “Dia yang mengatakannya sendiri padaku!”
Aku mengurai senyum simpul di bibir, tersenyum dengan rona tawar. Namun makna yang trpancar dari sumringah itu bukannya penegasan yang bijak. Dan bodohnya, aku selalu menyangka dapat membohongi gadis itu dengan seperangkat dusta. Tapi ternyata aku salah. Gadis itu tak bergeming. Ia cermat mengamati. Bahwa aku tengah bersandiwara.
“Dia jatuh cinta padaku, memang iya.” Dustaku untuk kesekian kalinya.
“Tapi bukan berarti aku harus mencintainya juga. Kamu tahu kenapa aku baik kepadanya?”
Tubuh gadis mungil di sampingku menegak. “Kenapa?”
“Karena aku merasa beutang kepadanya. Aku merasa bertanggung jawab moral mengembalikkan ingatannya. Dia amnesia karena aku. Kalau bukan karena aku, dia tidak mungkin melupakan kamu!”
“Itu kecelakaan. Jangan memberikan alasan tentang kecelakaan mobil di Pandewa itu, Keysha. Lepas dari semua itu, Marvel memang mencintaimu.”
“Jangan memaksaku untuk menerima cintanya, Melati. Aku tidak suka memaksakan diri mencintai orang yang tidak kusukai.”
“Tapi…”
“Marvel milikmu. Aku minta maaf…”
“Maaf kenapa?”
“Karena… aku secara tidak langsung sudah membuat hidupmu menderita. Kecelakaan mobil itu sudah menyebabkan dia amnesia sehingga melupakan kekasihnya yang bernama Melati Ananda di Beemart (kota asal Melati, Marvel dan anggota Zinc 4). Sekarang, mau tidak mau aku harus menemani dia menemukan kembali identitas dirinya yang sesungguhnya. Dia bukan Virgo (nama yang diberikan Kesyha untuk Marvel). Tapi dia adalah Marvel. Marvel Andromedha!”
“Tapi…”
“Melati, seharusnya kamu bahagia. Orang yang kamu cintai telah kembali ke Beemart. Bukankah itu yang kamu inginkan? Sama sepertimu, aku juga bahagia karena sudah dapat mewujudkan impianku yang tertunda gara-gara kecelakaan mobil di Pandewa itu.”
“Maksudmu?”
“Kini aku terbebas dari beban-beban yang menghantuiku siang dan malam. Mau tahu kenapa? Karena sekarang Virgo… Hmm, maaf maksudku Marvel sudah lepas dari tanggung jawabku. Dia telah menemukan orang yang tepat. Kamulah orang itu, Melati. Kamulah orang yang dapat merawat Marvel sampai pulih dari amnesia. Itu berarti aku dapat berkeliling dunia tanpa dibebani oleh seorang Marvel Andromedha.”
“Ta-tapi…”
“Percayalah, Melati. Sedari dulu aku memang tidak pernah mencintai Marvel. Kalaupun selama ini aku sudah memberikan perhatian istimewa padanya, hal itu tidak lain hanya disebabkan karena tanggung jawab moralku untuk memulihkan ingatannya. Saat Marvel jatuh hati padaku, aku pun berpura-pura menerima cintanya. Melati, aku tidak ingin melukai hatinya pada waktu itu. Maka dari itu, aku berbohong bahwa aku mencintai dirinya…”
“…Setelah membaca coretan kamu di dinding (Dinding Pengharapan) pondokkanku tempo hari, maka ketika itu juga aku merasa merdeka. Aku jadi bersemangat untuk mencarimu, sang penulis kisah penantian itu. Setelah bertemu denganmu, aku benar-benar merasa bahagia. Berarti aku dapat melanglang buana. Nah, besok aku akan terbang ke luar negeri (Milton). Doakan aku selamat, ya?”
“Keysha…”
Aku memejamkan mata. Pelupuk mataku dibanjiri airmata. Sepoi angin malam yang malas merangkak membuai tengkuk. Tidak terlalu dingin. Tapi semilirnya yang aku rasakan membekukan hati. Aku menggigit bibir. Tidak kuasa lagi menahan airmata.
“Keysha…”
Aku belum berani berpaling. Airmata ini harus kusembunyikan. Bukan karena apa-apa. Tapi, karena aku tidak ingin gadis itu sampai tahu kalau aku sebenarnya mencintai kekasihnya yang amnesia.
“Kami akan menunggumu pulang!”
Aku mengangguk tanpa mengangkat wajahku. Sebersit rasa mengaduk-aduk hati. Kenangan manis bersama Virgo tiba-tiba menari-nari di benakku. Mendadak aku bimbang dengan keputusanku yang berpura-pura. Tapi aku harus berbohong. Melati sudah sangat menderita. Dia sudah kehilangan kebahagiaannya saat tragedi di Pandewa itu. Aku telah merampas kebahagiaannya. Aku telah merampas kekasihnya. Maka aku tidak pantas memiliki hati Marvel Andromedha, meski pemuda itu tulus mencintaiku!
“Keysha…”
Tuhan tolong!
“Aku sudah ikhlas, Keysha!”
Aku kembali memejamkan mata. Hatiku semakin berdarah. Inikah ketulusan cinta yang terpancar dari hati seorang hawa?! Inikah karya sang bintang dari langit yang dicetuskan pada diri seorang Melati?! Sungguh. Aku kerdil di dalam keagungan cintanya! Dan sama sekali tidak berminat untuk merebut hati kekasihnya meski hal itu semudah membalik telapak tangan!
“Tolong jangan cegah keberangkatanku dengan nama Marvel lagi, Melati!”
Airmatanya menetes. Keharuan merayapi dinding-dinding malam. Melati Ananda, gadis mungil dengan semangat membara itu meneteskan airmata! Aku tersenyum sinis. Cinta merapuhkan hati kami berdua. Marvel meluluhlantakkan tembok ketegaran kami. Cinta memang telah mengerdilkan kami. Romantisme membaur. Melukai hati kami berdua.
“Kamu akan melukai hati Marvel, Kesyha!”
“Aku tidak ingin kamu terluka, Melati!”
“Aku ikhlas, aku ikhlas!”
“Tapi aku tidak dapat menerima orang yang tidak aku cintai!”
Aku menggigit bibir. Mengelak ketika sorot mata beningnya itu hendak membaca isi hatiku yang sesungguhnya lewat kedua bola mataku. Sebuah kesia-siaan. Sebab gadis itu menggeleng, Menolak uraian alasan yang kucetuskan dengan suara sengau-habis menangis.
“Kamu telah menyiksa hatimu, Keysha!”
Aku menggeleng. Mengharap rinai hujan akan segera turun malam ini sehingga airmataku tersamar oleh tirai-tirainya yang basah. Tapi langit masih menggantungkan uapan air itu. Enggan mewujudkan permintaan hatiku. Malah mengarak gumpalan hitam itu menjauh dari hadapan. Dan menyibakkan gemintang yang sudah samar bersinar.
“Sudahlah, Melati. Aku memang tidak mencintai Marvel.”
“Tapi…”
“Semangatlah, Melati. Aku yakin ingatan Marvel akan pulih kalau kamu terus menyertainya. Aku harap kamu dapat bersamanya setiap hari. Mungkin dengan begitu kenangan kalian berdua akan menguak sedikit demi sedikit di serabut kelabu otaknya. Oke?”
“Tapi…”
“Aku mohon penuhi permintaan terakhirku itu, Melati. Jagalah Marvel. Sertai dia setiap hari. Aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau mendengar semua permintaanku itu.”
“Keysha…”
“Melati, semangatlah!”
“Tapi…”
“Sudahlah. Tidak ada tapi-tapian lagi, sudah larut malam. Besok pagi aku sudah harus berangkat. Sekarang janji. Diantara kita tidak boleh ada yang berpaling saat melangkah, apalagi menangis. Aku akan menghitung satu sampai tiga. Setelah itu kita masing-masing berbalik. Aku ke kanan dan kamu ke kiri. Janji, tidak boleh ada yang menangis!”
Gadis itu mengangguk. Rambutnya yang panjang terkibas angina malam. Ia membalik badan dengan langkah berat. Aku menggigit bibir. Ragu dengan keputusan yang kubuat sendiri, untuk tidak saling mengingkari peraturan yang telah disepakati bersama tadi. Dan ketika melangkah, airmataku semakin menderas.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar