Senin, 01 Maret 2010

Hanya Lelaki Biasa (2)

Chapter 2
Lelaki Dalam Cermin



Pagi tadi aku melihat wajahku di balik cermin, berkaca. Tanpa ada maksud untuk melihat lebih dalam wajah sendiri, hanya ingin memastikan rambut tidak acak-acakan, kantung mata tidak sembab dan menghadiahkan seulas senyum untuk diri sendiri.

Tapi pagi ini sungguh lain. Wajah yang berhari-hari, bertahun-tahun selalu aku saksikan itu memalingkan muka. Apa gerangan. Aku heran.

“Aku sudah muak melihatmu, lelaki biasa!” sindirnya, wajahku di dalam cermin.

“Kenapa? Ada yang salah denganku?”

“Banyak sekali, tidak terhitung. Mungkin karena kamu lelaki biasa sehingga selalu salah.”

“Ya, aku akui kamu benar. Lantas apa?”

“Kenapa kamu membiarkan perempuan itu lepas dari tangamu. Bukankah kau menyimpan hati untuknya?”

Mukaku mulai tegang. Terdiam dalam kisah lama yang seharusnya telah hilang dalam hitungan waktu yg berlalu. Tapi kini kembali berdiri sombong menantang kelemahanku.

“Aku hanya lelaki biasa,” belaku.

“Karena itulah kamu melepaskannya, bukan?!” tatapnya sinis.

“Dia perempuan luar biasa, yang berhak untuk mendapatkan lelaki yang juga luar biasa.” Aku kalah.

Dia tersenyum sinis.

“Lelaki biasa yang hanya berharap ada perempuan biasa yang menerima cintanya, romantis yang cengeng…” sindirnya lagi.

“Aku hanya inginkan perempuan biasa. Perempuan yang bersedia untuk memberikan satu cintanya kepadaku, sebagai pendamping hidupnya. Bukankah itu sudah jauh lebih cukup bagiku,” aku coba melepaskan diri dari tatapan matanya.

“Benar dugaanku, kamu hanya lelaki biasa yang selamanya tidak bisa menjadi luar biasa.”

“Itu pilihan hidupku.”

“Perempuan biasa seperti apa yang kamu inginkan?”

“Aku tidak mensyaratkan yang lain. Hanya itu saja, dia berani untuk menerima cintaku apa adanya. Itu sudah sangat cukup menutupi semuanya.

“Aku tidak ingin mematok syarat yang lain, yang selama ini selalu menjadi patokanku untuk memilih seorang calon pendamping hidup. Aku kuatir semakin banyak kriterianya, maka itu hanya sanggup dipenuhi oleh perempuan yang luar biasa. Padahal aku, seperti yang kamu dugakan hanyalah lelaki biasa yang tidak pernah sanggup menjadi lelaki luar biasa.”

“Hanya satu syarat itu saja?” tatapnya heran.

Aku menghembuskan nafas, berharap dia tidak menatap lebih dalam mataku, mata yang selalu menyisakan sebuah senyum untuk seorang perempuan biasa. Di manakah ia kini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar