Sabtu, 13 Maret 2010

Dimana Bahagia Itu?? (8)

Chapter 8
Memori Bella

”Aku ingin pernikahan kita dibatalkan saja,” suara laki-laki di seberang sana.

”Ta…tapi Kenapa Raka? Aku hanya minta pernikahan kita diundur, bukannya dibatalkan, kenapa kamu langsung memutuskan seperti itu?” jawabku kaget mendengar apa yang barusan dikatakan oleh laki-laki yang berada di seberang sana.

”Harusnya kamu tanyakan itu pada dirimu sendiri, mengapa aku bersikap seperti ini. Ya, aku memang mencintaimu, oleh sebab itu aku ingin segera menikahimu Bell. Aku ingin hubungan kita legal dan halal, ” balas laki-laki itu dengan nada mulai meninggi.

”Tapi…” Lanjutnya.

”Kamu yang membuat aku mengatakan seperti ini. Dengan sikapmu yang tarik ulur-tarik ulur membuat harga diriku sebagai seorang laki-laki terinjak-injak. Hari ini bilang siap jadi istri besok bilang takut menghadapi pernikahan yang terlalu dini, ” Ucapnya dengan keras sampai-sampai orang-orang seisi rumah melihat ke arahku. Mungkin dalam hati mereka berpikir, apa yang dibicarakan oleh orang di seberang sana hingga membuat suaranya terdengar samar-samar di telinga mereka.

“Sikap seperti apa itu Bell,” katanya dengan nada mulai menurun.

”Mungkin aku memang merampas kebahagiaanmu dan masa mudamu. Ya, hati orang siapa yang tahu. Meskipun niatku tulus padamu namun ternyata niat tulusku dibalas dengan sikap penuh ragu. Dalam hal ini aku yang salah, Bell. Aku yang memaksamu untuk menikah denganku. Aku rasa tidak terlalu dini bila pernikahan kita dibatalkan saja. Toh pertemuan antar keluarga juga belum terjadi, hanya pertemuan antara aku dan ayahmu saja. Masalah orang tuamu aku akan menjelaskan semuanya kepada mereka. Kamu tidak usah khawatir, ” kata- kata terakhirnya sebelum kami mengakhiri pembicaraan di telpon.

Bla bla bla… Aku tidak ingat apa yang dia katakan sesaat sebelum dia mengucapkan salam dan menutup telpon. Aku hanya dengar PERNIKAHAN DIBATALKAN. Hanya itu yang memenuhi ruang pikiranku.

Tak ada lagi yang bisa aku pikirkan saat itu. Mau menangis juga sia-sia. Mau memohon-mohon juga tidak mungkin. Aku hanya ingin menceritakan ini pada Tania, mungkin saja bisa mengurangi beban di hati. Selama ini, Dia yang selalu mengerti dengan apa yang aku rasakan…

Namun selang sehari setelah aku bercerita pada Tania. Semua kebusukannya selama ini terungkap. Tidak mungkin sebuah diari bisa berbohong. Bukankah diari itu adalah ungkapan isi hati. Aku membaca diari Tania ketika bertandang ke rumahnya. Mungkin aku memang lancang membuka-buka barang yang bukan milikku. Tapi, suasana sepi dan rasa penasaran melihat sebuah buku harian berwarna putih yang akhirnya mendorong aku untuk mengambilnya dan melihat isinya. Tak disangka, selama ini Tania menganggap aku sebagai musuhnya. Dia pura-pura sedih padahal bahagia. Ketika aku sedih dia senang dan ketika aku senang dia sedih. Ya Tuhan… selama ini aku begitu tulus menganggap dia sebagai seorang sahabat sekaligus saudara, tapi mengapa dia seperti ini. Lengkap sudah semuanya. Ditinggal oleh orang yang dicintai dan dikhianati orang yang dianggap sahabat sejati.

Maafkan aku Tania.

Hanya itu yang aku tulis dalam buku harian dia sesaat sebelum aku pergi meninggalkan rumahnya… tanpa pamit dan aku tidak peduli… Maaf…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar