Rabu, 10 Maret 2010

Tragedi Sebuah Cincin (2)

Chapter 2
Hujan Malam Itu...


Aku tak kuasa menahan airmata yang mengalir membasahi pipiku. Ada rasa haru dan bahagia mengalir bersama butiran-butiran airmataku. Alan merengkuh bahuku dalam gerak cepat, dan mengecup keningku kemudian.

"Maaf, Dar, kalau pernyataanku membuatmu bersedih," ujarnya dengan nada penyesalan.

"Apakah kamu sungguh-sungguh akan pergi meninggalkanku?" desah kecemasan tak dapat lagi kusembunyikan. Terbayang di hadapanku hari-hari yang panjang dan menjenuhkan karena dipisah oleh waktu dan jarak.

"Untuk itulah aku mohon pengertian kamu! Please, penuhi permohonanku. Dan aku janji tidak akan lebih dari setahun, semua ilmu manajemen Negeri Kincir Angin itu sudah aku babat habis, lalu segera pulang untuk menemuimu lagi," ujarnya mencoba meyakinkanku.

"Ak-aku...." Aku merasa lidahku kelu. Perbendaharaan kalimatku mandek. Padahal, aku ingin mengatakan bahwa aku mengabulkan permohonannya.

"Kamu mau kan memenuhi permohonanku?"

Aku tidak kuasa menjawab, hanya airmata dan anggukan lembut yang sanggup aku lakukan. Alan Bima kembali merengkuh bahuku sebagai reaksi bahagia. Sungguh, seketika ada rasa damai yang mengalir dalam hatiku.

Alan melepaskan pelukanku dan merogoh sesuatu dari dalam saku blue jeans lusuhnya. Sebuah kotak mungil berlapis beludru hitam ia raih dari sana. Alan memintaku membukanya. Ternyata sebuah cincin perak bermata kristal bertengger manis di dalamnya. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Sesaat kemudian ia mengenakan cincin perak bermata kristal tersebut ke dalam jari manisku.

"Ok, oke. Aku sudah lega sekarang. Hari hampir gelap, kita pulang ya? Mamamu pasti sudah cemas," usul Alan seraya membantuku membenahi perlengkapan piknik ke dalam bagasi mobilnya. Belum setengah jam aku meninggalkan lokasi pantai, hujan tiba-tiba turun dibarengi angin kencang.

Aku mencoba mencari sebuah cd dalam laci dashboard ketika mobil melaju dalam kecepatan sedang. Aku hanya berhasil menemukan lagu 'Hujan'-nya Utopia. Lumayan ketimbang sunyi. Apalagi jalanan yang kami lalui mulai gelap. Kulirik Alan di sampingku, duduk dengan mimik serius seakan ia sedang mencoba menerobos gelap dan hujan. Entah mengapa aku merasa kangen sekali menatapnya saat ini.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba entah bagaimana awalnya, sebuah cahaya terang menyoroti kendaraan yang kami tumpangi. Belum sempat aku berpikir jauh, benda bersinar di hadapan kami makin mendekat, dan....

Brrraaaakkk!

Aku hanya sempat merasakan benturan keras di keningku, sesaat kemudian aku melihat sekelilingku menjadi gelap!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar