Chapter 3
Cinta Sederhana
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Ryan berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir juga. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm… oh… begitu ya… atau hanya menjawab singkat ya… tidak… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
“Apakah aku pernah terlintas dalam pikiranmu, Yan?”
“Tidak.”
“Apa kamu menyukaiku?”
“Tidak terlalu.”
“Apa kamu menginginkanku?”
“Tidak.”
“Akankah kamu menangis jika aku pergi?
“Tidak.”
“Akankah kau hidup untukku?”
“Tidak.”
“Pilih aku atau hidupmu?”
“Hidupku.”
Kukira cinta itu seperti mentari atau rembulan indah dan siap menampakkan keindahan pada apa yang disinarinya. Namun, karena kita sudah terbiasa dengannya, maka ia terlihat biasa.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimannya, sedangkan dia tetap saja tak bisa menunjukkan sisi keromantisannya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya.
MESSAGE SEND
Aku izin ke rumah ibu.
Kukirim SMS singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya.
MESSAGE RECIVED
Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.
Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas SMS-ku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
“Kenapa, Nin? Ada masalah dengan Ryan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku lepada ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku.
“Nindy… Nindy, mungkin semua ini salah Ibu dan Ayah yang terlalu memanjakanmu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Nin pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ryan? Ia suami yang baik. Setia, Jujur dan pekerja keras. Ryan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin Ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Ayah. Nggak semua suami seperti dia, Nin. Banyak para istri di luar sana yang disakiti lahir dan batinya oleh suaminya.” Kata Ibu.
“Cinta kan’ tidak hanya ditunjukkan dengan bunga mawar, makan malam mewah, pesiar ke tempat romatis yang mahal, Nin! Sebait kata cinta juga tidak akan membuat mawar itu mekar dengan sekejap. Melalui proses, cinta itu tumbuh dan berkembang…”
“Karena cinta pun seperti roda yang berputar, ada kalanya rasa kita menggebu-gebu, tapi terkadang pada saat dititik bawah kita bisa saja merasa bosan, jengkel dengan pasangan, biarpun masalah yang menyentil hanya secuil. Tidak selalu dicintai lebih baik daripada mencintai…”
“Jika memang cinta berusahalah pahami dia, Cinta tidak harus identik dengan yang namanya keROMANTISan. Tapi, didalam cinta butuh yang namanya keharmonisan. Cinta yang harmonis akan mengajari kita arti sebuah cinta itu sendiri dan bagaimana kita belajar untuk memaknai dan mengertinya…”
“Cinta memang kadang penuh dengan kegilaan, penuh dengan hal yang tak terdugakan, tapi banyak cinta yang mengajarkan kita arti sebuah kehidupan. Maknai cinta dengan hati… Hati yang mencintai akan berusaha mengerti apa yang terbaik untuk orang yang dicintai, jiwa yang dipenuhi cinta akan menjadi jiwa yang berharga bagi yang dicinta, raga yang mencinta akan menjadi raga yang paling didamba…”
“… Karena cinta itu sebuah kata yang sampai sekarang entah makna yang sesungguhnya apa, memang dalam cinta itu membingungkan. Ada yang bilang cinta itu indah, menyenangkan, tapi banyak juga yang bilang cinta itu begitu membosankan, menyedihkan dan memilukan. Jadi, belajarlah untuk mengerti apa sebenarnya cinta itu. Karena tidak ada cinta yang menjadikannya sempurna selain ketulusan hati…”
“… Cinta itu memang sederhana, sesederhana untaian kata I Love You, tapi begitu dalam dan indah maknanya. Mencintai bukanlah menerima kekurangan tetapi melengkapi kekurangan. Cinta itu tidak perlu kita kejar atau kita kurung, tapi biarkan dia terbang sejalan dengan arah angin yang membawanya karena disaat dia lelah dia akan datang pada kita dengan hati dan jiwa sepenuhnya.”
“Cinta itu butuh pengorbanan…” lanjut Ibu lagi.
Aku terdiam. Ya, betul apa yang dikatakan ibu. “Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masa’ ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagipula, dia itu sama sekali nggak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, Bu. Bukan Cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Pengorbanan cinta ya? Apa sih enaknya berkorban? Apa sih enaknya berkorban buat orang yang kita sayangi? Berkorban sampai kita mati… Berkorban tanpa mengenal lelah… Iya kalau orang yang kita sayangi ngerti… Iya kalau orang yang kita sayangi mau berkorban balik… tapi coba kalau nggak…
Pertanyaan itu mungkin terlalu naif, tapi coba kalau… Pernah menyayangi seseorang? Pernah begitu menyayangi seseprang lebih dari segalanya? Ketika dia sedih, apa yang kamu rasakan? Ketika dia senang, apa juga yang kamu rasakan?
Rasa berkorban… ya rasa berkorban itu, kebahagiaan ketika dapat membuat orang yang kita sayangi tersenyum, walaupun itu mungkin getir buat kita begitu berharga. Cinta itu bukan bagaimana kita bisa saling memberi, tapi bagaimana kita bisa saling menerima.
Apa yang lebih menyenangkan dibandingkan dapat tertawa bersama orang yang kita sayangi?!?! Mencintai dengan tulus dan sederhana.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Ryan? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Dian satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Ryan bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Ryan tidak pernah meladeni ajakan “Anita” yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
“Nindy, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ryan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa Syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelam, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadwalnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisish karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku sadar kini, bahwa cinta itu ibarat embun, dia datang bawa kesejukkan, dia pergi meninggalkan ketulusan dan keikhlasan pada suburnya lapisan hijau dedaunan. Jendela hati terbuka untuk merengkuh semua impian yang kadang terlalu sulit untuk dinyatakan dalam sebuah kenyataan. Kehidupan dihadapkan atas 2 pilihan yang mungkin terkadang sulit untuk dipilih, tetapi pilihan kehidupan akan sejenak terhenti saat kita mencoba untuk bertanya kemanakah pilihan itu akan kita sandarkan kelak?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Ryan lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Ryan belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya.
MESSAGE RECIVED
Maaf, aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai.
Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Tuhan, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil-yang isinya “CINCIN BERLIAN”. Ryan tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebuah puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu lepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan lepada hujan
Yang menjadikannya tiada
Ketika air matamu mulai mengalir
Aku ingin berikan sisa air mataku untukmu
Untuk menuang kembali tetesan-tetesan itu
Untuk gantikan sesal yang terbuang
Karena tingkah laku salahku…
Dari Ryan-Lelakimu
Maafkan aku hampir tak mampu bahagiakanmu Nindy… Wanitaku
Tak lama setelah aku membaca puisinya, Ryan terbangun dari tidurnya.
“Nin, dulu pernah kau tanyakan padaku, Apakah kamu pernah terlintas dalam pikiranku? Apakah aku menginginkanmu? Akankah aku menangis jika kamu pergi? Akankah aku hidup untukmu? Dan aku jawab tidak. Lalu kau tanya aku lagi apakah aku menyukaimu? Aku jawab tidak terlalu. Dan juga kamu pernah menyuruhku untuk memilih, Pilih kamu atau hidupku? Dan saat itu aku jawab hidupku…”
“…Dan sekarang akan kuberikan alasan mengapa aku menjawab seperti itu padamu!”
“Alasan kamu tidak pernah terlintas dalam pikiranku adalah karena kamu selalu dipikiranku.”
“Alasan mengapa aku tidak suka kamu karena aku mencintaimu…”
“Alasan mengapa aku tidak menginginkanmu karena aku membutuhkanmu…”
“Alasan mengapa aku tidak akan menangis, jika kamu pergi karena aku akan mati jika kamu pergi…”
“Alasan aku tidak hidup untumu karena aku mati untukmu…”
“Alasan aku tidak akan melakukan sesuatu untukmu karena aku akan melakukan segalanya untukmu…”
“Alasan aku memilih hidupku karena kamu adalah hidupku…”
“Nin, Aku mencintaimu dengan keindahan cinta yang tercipta. Aku mencintaimu seperti air yang tak pernah berhenti mengalir. Maukah kamu selalu ada disisi seperti nyawa ini yang selalu menemaniku sampai saatnya.”
“Ryan, aku…”
“Sttt… jangan katakan apa-apa lagi, aku tahu aku salah. Maafkan aku yang tidak bisa besikap romantis seperti yang kau inginkan…”
“Yan, I love you…”
“I love you too…”
Akupun lalu memeluk Ryan dengan mesra, seakan tak ada seseorang atau apapun yang dapat memisahkan cinta kami berdua.
Cinta Sederhana
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Ryan berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir juga. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm… oh… begitu ya… atau hanya menjawab singkat ya… tidak… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.
“Apakah aku pernah terlintas dalam pikiranmu, Yan?”
“Tidak.”
“Apa kamu menyukaiku?”
“Tidak terlalu.”
“Apa kamu menginginkanku?”
“Tidak.”
“Akankah kamu menangis jika aku pergi?
“Tidak.”
“Akankah kau hidup untukku?”
“Tidak.”
“Pilih aku atau hidupmu?”
“Hidupku.”
Kukira cinta itu seperti mentari atau rembulan indah dan siap menampakkan keindahan pada apa yang disinarinya. Namun, karena kita sudah terbiasa dengannya, maka ia terlihat biasa.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimannya, sedangkan dia tetap saja tak bisa menunjukkan sisi keromantisannya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya.
MESSAGE SEND
Aku izin ke rumah ibu.
Kukirim SMS singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya.
MESSAGE RECIVED
Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.
Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas SMS-ku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
“Kenapa, Nin? Ada masalah dengan Ryan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku lepada ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku.
“Nindy… Nindy, mungkin semua ini salah Ibu dan Ayah yang terlalu memanjakanmu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Nin pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ryan? Ia suami yang baik. Setia, Jujur dan pekerja keras. Ryan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin Ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Ayah. Nggak semua suami seperti dia, Nin. Banyak para istri di luar sana yang disakiti lahir dan batinya oleh suaminya.” Kata Ibu.
“Cinta kan’ tidak hanya ditunjukkan dengan bunga mawar, makan malam mewah, pesiar ke tempat romatis yang mahal, Nin! Sebait kata cinta juga tidak akan membuat mawar itu mekar dengan sekejap. Melalui proses, cinta itu tumbuh dan berkembang…”
“Karena cinta pun seperti roda yang berputar, ada kalanya rasa kita menggebu-gebu, tapi terkadang pada saat dititik bawah kita bisa saja merasa bosan, jengkel dengan pasangan, biarpun masalah yang menyentil hanya secuil. Tidak selalu dicintai lebih baik daripada mencintai…”
“Jika memang cinta berusahalah pahami dia, Cinta tidak harus identik dengan yang namanya keROMANTISan. Tapi, didalam cinta butuh yang namanya keharmonisan. Cinta yang harmonis akan mengajari kita arti sebuah cinta itu sendiri dan bagaimana kita belajar untuk memaknai dan mengertinya…”
“Cinta memang kadang penuh dengan kegilaan, penuh dengan hal yang tak terdugakan, tapi banyak cinta yang mengajarkan kita arti sebuah kehidupan. Maknai cinta dengan hati… Hati yang mencintai akan berusaha mengerti apa yang terbaik untuk orang yang dicintai, jiwa yang dipenuhi cinta akan menjadi jiwa yang berharga bagi yang dicinta, raga yang mencinta akan menjadi raga yang paling didamba…”
“… Karena cinta itu sebuah kata yang sampai sekarang entah makna yang sesungguhnya apa, memang dalam cinta itu membingungkan. Ada yang bilang cinta itu indah, menyenangkan, tapi banyak juga yang bilang cinta itu begitu membosankan, menyedihkan dan memilukan. Jadi, belajarlah untuk mengerti apa sebenarnya cinta itu. Karena tidak ada cinta yang menjadikannya sempurna selain ketulusan hati…”
“… Cinta itu memang sederhana, sesederhana untaian kata I Love You, tapi begitu dalam dan indah maknanya. Mencintai bukanlah menerima kekurangan tetapi melengkapi kekurangan. Cinta itu tidak perlu kita kejar atau kita kurung, tapi biarkan dia terbang sejalan dengan arah angin yang membawanya karena disaat dia lelah dia akan datang pada kita dengan hati dan jiwa sepenuhnya.”
“Cinta itu butuh pengorbanan…” lanjut Ibu lagi.
Aku terdiam. Ya, betul apa yang dikatakan ibu. “Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masa’ ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagipula, dia itu sama sekali nggak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, Bu. Bukan Cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Pengorbanan cinta ya? Apa sih enaknya berkorban? Apa sih enaknya berkorban buat orang yang kita sayangi? Berkorban sampai kita mati… Berkorban tanpa mengenal lelah… Iya kalau orang yang kita sayangi ngerti… Iya kalau orang yang kita sayangi mau berkorban balik… tapi coba kalau nggak…
Pertanyaan itu mungkin terlalu naif, tapi coba kalau… Pernah menyayangi seseorang? Pernah begitu menyayangi seseprang lebih dari segalanya? Ketika dia sedih, apa yang kamu rasakan? Ketika dia senang, apa juga yang kamu rasakan?
Rasa berkorban… ya rasa berkorban itu, kebahagiaan ketika dapat membuat orang yang kita sayangi tersenyum, walaupun itu mungkin getir buat kita begitu berharga. Cinta itu bukan bagaimana kita bisa saling memberi, tapi bagaimana kita bisa saling menerima.
Apa yang lebih menyenangkan dibandingkan dapat tertawa bersama orang yang kita sayangi?!?! Mencintai dengan tulus dan sederhana.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Ryan? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Dian satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Ryan bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Ryan tidak pernah meladeni ajakan “Anita” yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.
“Nindy, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ryan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa Syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelam, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadwalnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisish karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku sadar kini, bahwa cinta itu ibarat embun, dia datang bawa kesejukkan, dia pergi meninggalkan ketulusan dan keikhlasan pada suburnya lapisan hijau dedaunan. Jendela hati terbuka untuk merengkuh semua impian yang kadang terlalu sulit untuk dinyatakan dalam sebuah kenyataan. Kehidupan dihadapkan atas 2 pilihan yang mungkin terkadang sulit untuk dipilih, tetapi pilihan kehidupan akan sejenak terhenti saat kita mencoba untuk bertanya kemanakah pilihan itu akan kita sandarkan kelak?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Ryan lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Ryan belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya.
MESSAGE RECIVED
Maaf, aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai.
Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Tuhan, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil-yang isinya “CINCIN BERLIAN”. Ryan tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebuah puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu lepada api
Yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan lepada hujan
Yang menjadikannya tiada
Ketika air matamu mulai mengalir
Aku ingin berikan sisa air mataku untukmu
Untuk menuang kembali tetesan-tetesan itu
Untuk gantikan sesal yang terbuang
Karena tingkah laku salahku…
Dari Ryan-Lelakimu
Maafkan aku hampir tak mampu bahagiakanmu Nindy… Wanitaku
Tak lama setelah aku membaca puisinya, Ryan terbangun dari tidurnya.
“Nin, dulu pernah kau tanyakan padaku, Apakah kamu pernah terlintas dalam pikiranku? Apakah aku menginginkanmu? Akankah aku menangis jika kamu pergi? Akankah aku hidup untukmu? Dan aku jawab tidak. Lalu kau tanya aku lagi apakah aku menyukaimu? Aku jawab tidak terlalu. Dan juga kamu pernah menyuruhku untuk memilih, Pilih kamu atau hidupku? Dan saat itu aku jawab hidupku…”
“…Dan sekarang akan kuberikan alasan mengapa aku menjawab seperti itu padamu!”
“Alasan kamu tidak pernah terlintas dalam pikiranku adalah karena kamu selalu dipikiranku.”
“Alasan mengapa aku tidak suka kamu karena aku mencintaimu…”
“Alasan mengapa aku tidak menginginkanmu karena aku membutuhkanmu…”
“Alasan mengapa aku tidak akan menangis, jika kamu pergi karena aku akan mati jika kamu pergi…”
“Alasan aku tidak hidup untumu karena aku mati untukmu…”
“Alasan aku tidak akan melakukan sesuatu untukmu karena aku akan melakukan segalanya untukmu…”
“Alasan aku memilih hidupku karena kamu adalah hidupku…”
“Nin, Aku mencintaimu dengan keindahan cinta yang tercipta. Aku mencintaimu seperti air yang tak pernah berhenti mengalir. Maukah kamu selalu ada disisi seperti nyawa ini yang selalu menemaniku sampai saatnya.”
“Ryan, aku…”
“Sttt… jangan katakan apa-apa lagi, aku tahu aku salah. Maafkan aku yang tidak bisa besikap romantis seperti yang kau inginkan…”
“Yan, I love you…”
“I love you too…”
Akupun lalu memeluk Ryan dengan mesra, seakan tak ada seseorang atau apapun yang dapat memisahkan cinta kami berdua.
TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar