Chapter 1
Pria Pujaan
Gadis berkacamata tebal itu tampak asyik di antara deretan rak buku. Beberapa buku diambilnya lalu dibawanya ke meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Di situ sudah ada setumpuk buku yang beberapa menit lalu diambilnya. Entah apa yang akan dilakukannya dengan buku-buku sebanyak itu. Ia terlihat sibuk membuka, membaca, menulis, kemudian membuka buku lainnya, membaca lagi dan menulis lagi. Dia sibuk sendiri dengan dunianya.
“Buku sastra di sebelah mana, ya?” sebuah suara mengalihkan kesibukan gadis itu sejenak. Tanpa menoleh sedikit pun tangan gadis itu lalu menunjuk ke arah sebelah kanan. Pria yang tadi bertanya segera mengikuti arah yang ditunjuk. Gadis itu pun kembali berkutat dengan buku-bukunya.
Tak berapa lama kemudian, “Sorry, kamu kan kayaknya familiar dengan perpustakaan ini, ngngng… bisa bantu nyariin buku ini nggak,” pria itu kembali menghampiri gadis berkacamata sambil menyodorkan secarik kertas.
Masih dengan gaya acuh tak acuhnya, gadis itu membaca coretan dalam kertas yang diberikan oleh si penanya, lalu, “Cari saja di deretan buku sastra, ada di rak buku barisan kedua paling pojok sebelah kanan.”
Laki-laki itu lalu pergi menuruti petunjuk yang dikatakan si gadis yang kelihatannya tak mau diganggu.
“Thanks ya bukunya sudah aku temukan. Dari tadi aku pusing muter-muter nyari buku ini eh nggak tahunya kamu tahu persis di mana letaknya,” ucap laki-laki tadi.
“Namaku Dimas, kamu siapa?” lanjut laki-laki itu seolah tak peduli dengan keacuhan si gadis.
“Aleeya,” jawab gadis itu pendek tanpa menoleh sedikit pun.
“Aku kok nggak pernah melihatmu di kampus ini, kamu anak semester berapa?” tanya pria yang mengenalkan dirinya sebagai Dimas sambil duduk di kursi seberang gadis yang bernama Aleeya. Sebentar kemudian, Dimas memperhatikan wajah si gadis, mencoba mengingat kalau-kalau pernah bertemu dengan gadis di hadapannya.
Merasa diperhatikan, Aleeya menghentikan kegiatannya menulis lalu menatap laki-laki di hadapannya. Sedetik kemudian dia tertegun, mulutnya yang hampir berucap mendadak terhenti hingga melongo. Betapa kagetnya dirinya melihat siapa yang kini duduk satu meja dengannya. Laki-laki yang baru saja menanyakan namanya ini adalah Dimas, mahasiswa tingkat tiga yang digandrungi banyak cewek di kampus ini.
Selain berwajah tampan dan berbadan atletis, cowok ini dikenal dengan segudang prestasi olahraganya. Tak salah bila mahasiswa di kampus ini memilihnya menjadi ketua senat. Dan sudah menjadi rahasia umum bila semua cewek berebut menjadi pacarnya.
“Lho kok malah bengong. Kamu anak semester berapa?” tanya Dimas mengulang pertanyaannya tadi sekaligus membuyarkan lamunan Aleeya.
“Oh eh ngngng… aku?” tanyanya meyakinkan.
“Iya kamu. Emangnya ada orang lain di meja ini selain kita?” senyum Dimas mengembang.
“Aku adik tingkatmu.”
“Lho kamu tahu ya aku semester enam.”
Ups! Kontan wajah Aleeya memerah malu.
“Aku kok nggak pernah melihatmu?” kata Dimas yang tampak kebingungan.
Jelas saja Dimas merasa bingung dan heran karena hampir semua mahasiswa di kampus ini dikenalnya atau paling tidak ia hafal wajah. Maklum dia kan ketua senat.
Sementara dalam hati, Aleeya merasa tak heran bila Dimas tidak mengenalnya. Siapa sih yang mempedulikan keberadaan dirinya. Mahasiswa kutu buku yang menghabiskan sisa waktu kuliahnya di perpustakaan. Hampir tak ada mahasiswa yang mengenalnya dengan akrab. Apalagi cowok-cowok.
“Kamu aktif di kegiatan apa?”
Aleeya hanya menggeleng dan kembali menunduk, pura-pura sibuk kembali dengan buku-bukunya. Padahal saat ini hatinya terasa tidak keruan antara senang, bangga, dan takut bisa ngobrol dengan cowok idola. “Mengapa Tuhan memberiku kesempatan berkenalan dengan cowok idola ini, bikin hatiku nggak keruan saja,” keluhnya dalam hati. Ah, semoga saja tidak ada yang melihatnya sedang duduk bersama Dimas. Aleeya takut diejek. Takut dikatakan tidak pantas duduk satu meja dengan cowok impian gadis-gadis kampus. Takut.…
“Pasti kamu lebih suka di sini, ya. Pantas saja kamu hafal letak buku-buku di sini. Aku sebenarnya juga senang membaca, tapi waktuku nggak banyak. Oke deh kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya, aku harus ke ruang senat dulu. Bye Aleeya!”
Dimas meninggalkan senyum simpatiknya. Aleeya pun sekali lagi terbengong-bengong bahkan tak sempat membalas senyum ramah sang cowok pujaan. Dia benar-benar merasa seperti bermimpi bisa duduk dan ngobrol dengan Dimas. Selama ini ia hanya bisa memandangi Dimas dari kejauhan dan buru-buru menunduk, takut ketahuan orang lain. Yah, ia takut dikatakan pungguk merindukan bulan. Ah!
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar