Senin, 01 Maret 2010

Kupu-Kupu Malam (1)

Chapter 1
Sang Kupu-Kupu Malam

“Polisi…kabur…” teriak seseorang mengagetkan dan membuat suasana menjadi kacau. Semua pontang-panting berhamburan keluar dan berlarian, ada yang lewat jendela, lewat pintu belakang dan ada juga yang tetap bersembunyi di ruangan. Akal sudah pendek, yang terpenting adalah bagaimana menyelamatkan diri masing-masing. Sedangkan polisi sudah siap untuk menyergap.

“Serahkan diri kalian!” teriak polisi dengan memegang pistol di tangannya. Siapa yang tak kalut melihat pemandangan itu, berpuluh orang terjaring polisi dan diikuti oleh beberapa wartawan yang menyorot kejadian itu.

Warung biru adalah tempat mangkal para penjaja cinta, setiap malamnya ramai dikunjungi oleh laki-laki hidung belang. Asal kantong tebal nikmatlah hidup ini bagi mereka. Warung biru sudah terkenal di mana-mana sebagai tempat kupu-kupu malam mencari penghidupan, walaupun berkali-kali di sergap polisi tapi tak pernah mereka merasa kapok.

Siapa bilang hidup si kupu-kupu malam bahagia?, mereka sangat menderita dan lebih menderita dari segala penyakit, tanpa ikatan yang sah melakukan hal yang tidak seharusnya mereka lakukan, bahkan terkadang amat menyakitkan sekali perlakuan ‘langganannya’, tak segan memperlakukan mereka sebagai barang yang telah dibeli dan berhak diperlakukan sesuka hatinya. Belum lagi mental mereka menjalani hidup yang tak normal seperti orang lain.

Begitulah kepedihan Riri saat ini, hidup dalam siksaan batin yang dalam, rasa iri kadang timbul dalam hatinnya saat ia harus menyaksikan sepasang suami isteri jalan bareng bergandengan tangan dengan anaknya, harmonis sekali.

Riri yang kini ada di warung biru itu ikut lari pontang-panting menghindari sergapan polisi.

“Ma… mama dari mana?” Tanya Ayu anak semata wayangnya sesampai di rumah.

“Mama kerja sayang…” jawab Riri singkat. Ayu yang sudah berumur 15 tahun ini mulai curiga dengan pekerjaan Mamanya, apa lagi ia melihat penampilan Mamanya sekarang.

“Ma… apa benar kata teman Ayu, kalau Mama…” Tanya ayu terpotong.

“Sudahlah… itu nggak benar, kamu nggak perlu mendengarkan mereka” jelas Riri. Bukan lagi sekali dua kali Ayu bertanya tentang itu kepada Riri, tapi Riri selalu menyangkal. Sangat sakit sekali apa yang ia rasakan, belum lagi saat Ayu bertanya tentang ayahnya, pengen bertemu ayahnya dan kadang ia bermimpi bertemu seseorang yang mengaku sebagai ayahnya tapi mimpi itu kadang dengan orang yang berbeda. Kadang Riri tak dapat lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya yang semakin hari semakin bertambah, beban pikiran yang ia alami saat ini sungguh begitu dalam.

Riri pandangi gadis manis tak berdosa yang ada dihadapanya itu, tampak di mata Ayu sang anak kesayangannya yang kini bertambah dewasa menahan sesuatu beban fikiran yang dalam, sepertinya Ayu ingin bercerita banyak pada Mamanya sedang Riri tak akan sangup jika apa yang dirasakan Ayu dilontarkannya. Riri mungkin egois tapi baginya itu adalah keputusan yang terbaik baginya dan anaknya. Air mata yang ia tahan kini menetes berlahan merambat di pipi yang masih merah oleh make up-nya dan segera ia usap sebelum Ayu melihatnya.

“Sekarang cepat tidur, besok sekolah…” kata Riri mencairkan suasana, sementara Ayu hanya diam. Riri melangkah ke kamar dan tak menghiraukan lagi anaknya yang termenung sendiri di sofa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar