Rabu, 10 Maret 2010

Tragedi Sebuah Cincin (1)

Chapter 1
Lamaran Alan


Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku ketika hawa dingin kembali menghampiri. Menyesal juga aku menolak tawaran Alan untuk membawa sweater, yang akhirnya membuat aku harus panda-pandai menyembunyikan rasa dingin agar tidak ditertawakan.

"Dingin, kan?" tanya Alan seakan tahu isi hatiku. Diraihnya jemariku ke dalam genggamannya.

Aku hanya tersenyum kecut ketika melihat sorot matanya yang lembut. Aku juga tak kuasa menolak ketika ia mencoba menarik tubuh mungilku ke dalam pelukannya. Selalu ada rasa damai dan hangat yang mengalir ketika aku merebahkan kepala di dadanya.

"Dara, kenapa sih kamu masih gengsi dan tidak terbuka denganku?" tanyanya lagi.

"Tidak terbuka apanya sih, Lan?"

"Gimana tidak terbuka, disuruh bawa sweater aja kamu keberatan. Ya panaslah, ya beratlah...," jelasnya kecewa.

Aku mencoba melepaskan tubuh dari dekapannya.

"Lalu bagaimana dengan masalah pertunangan kita, kamu masih juga belum mau terbuka?"

Sesaat aku terkejut dengan pertanyaannya, namun aku mencoba menutupinya dengan memberikan potongan apel.

"Dara, aku serius! Kamu selalu mengalihkan pembicaraan jika menyangkut pertunangan yang kuusulkan. Apa Mama kamu tidak menyetujui keinginanku untuk berhubungan lebih serius denganmu?"

"Lan... aku bukan mengalihkan pembicaraan, kamu jangan menyimpulkan yang tidak-tidak dong!"

"Lalu mengapa kamu tidak menjawab saja iya atau tidak. Itu aja kok, yang aku tunggu-tunggu sejak beberapa bulan lalu. Aku tuh sayang beneran sama kamu, dan aku juga mau serius," sambung Alan seraya menarik kembali jemariku.

"Iya, aku tahu kamu sayang sama aku. Tapi kamu juga mesti ngerti dong kalau aku masih mau kuliah," jawabku sekenanya. Sebenarnya aku paling tidak suka kalau ia sudah membicarakan hal-hal yang terlalu serius seperti ini. Bukannya aku tidak mau serius sama dia, tapi aku kan tidak mau ngecewain Mama dengan melantakkan kuliahku. Aku hanya tinggal punya Mama di dunia ini, beliaulah tempatku berlindung.

"Dara...," serunya membuyarkan lamunanku. "Dengan bertunangan, bukan berarti aku akan melarangmu untuk meneruskan kuliah. Aku hanya ingin kepergianku ke Amsterdam nanti bisa membuatku tenang, sehingga aku bisa mengikuti pendidikan tanpa rasa was-was, kalau-kalau merpatiku dijerat orang," seloroh Alan seraya kembali membelai rambutku.

"Jadi... kamu serius dengan tawaran kantormu?"

"Dara Sayang... aku tidak mungkin segencar ini mengajakmu untuk segera bertunangan, kalau rencana keberangkatanku masih tahun depan."

"Jadi...?"

"Iya. Aku terpaksa harus mendengar keputusanmu hari ini, karena bulan depan aku sudah harus mempersiapkan keberangkatanku," urainya seraya menatapku penuh permohonan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar