Kamis, 11 Maret 2010

Cintaku Berakhir Di Taman Kota (4)

Chapter 4
Perasaan Ini…


Sepucuk surat kutulis dengan ragu, apakah ini…., ah nggak tahu, acuh saja dengan suasana hati….! yang penting jujur, buang saja basa-basi, dari dulu aku memang tidak suka basa-basi. “Tapi kenapa kutulis sepucuk surat ini?, apa tujuannya?,” pertanyaan hatiku bertubi-tubi, hari ini aku tidur tidak sepulas kemarin…..! kupaksa tidurpun tidak bisa, kenapa ya!

Sepucuk surat kuberikan pada Melly, kuberanikan diri walau ….! (belum ada kata-kata yang tepat untuk mewakilinya).

“Maaf Melly…! mungkin selama ini aku hanya mengenal kehidupanmu dan tekad serta cita-citamu, bolehkah aku memasuki ruang pribadimu lebih dalam,” ucapku penuh hati-hati.

“Makasih Rico.., tidak ada sesuatu yang menolak atas kehadiranmu di hatiku, tapi apakah kamu mau dan selalu…. kamu baru mengenalku sedikit…, ya sedikit….!,” keluhnya.

“Ya itulah pertanyaan yang belum pernah terjawab selama ini, mengapa pindah ke kampus ini setelah kita di ujung semester lima?, mengapa tidak sejak awal aku mengenal pribadi seperti kamu,” pikirku.

“Tapi izinkan aku mengenal sosok yang tangguh seperti kamu,” pintaku tanpa basa-basi.

Lama sekali kita berdiri, tanpa bergeming, tak sepatah kata terucap, dan akhirnya…
Anggukan kepala Melly membuyarkan tatapanku, tekadku semakin mantap.

“Terima kasih Ric…,” ucap Melly sambil mengambil surat di tanganku, kami berlalu begitu saja, beberapa langkah kemudian aku menengok ke belakang.

“Nggak juga,” jawab kami spontan, kami tertawa kecil.

Gayung bersambut, tak pernah kurasakan hal ini… rasa itu teramat tajam, Banyak sekali kesamaan yang kudapat, se-kampus, se-organisasi, se-tekad dan se-…, se-… yang lain.

Kurasakan kuliah terasa ringan, tugas-tugas kuliah selesai dengan perfect, kegiatan segunungpun membuatku tak terasa lelah.

“Makasih Melly…! Thanks a lot for your spirit….”, batinku lirih.

Kuliahpun selesai dengan hasil yang memuaskan, senyum lirih Melly saat memberiku selamat. Tapi apakah dia tahu kalau dia-lah yang selama ini yang mengukir indah nilai-nilai itu, dia-lah yang begitu hebat memberikan semangat untuk lebih dan selalu lebih, dan apakah dia tahu kalau dia-lah yang sebenarnya yang berhak mendapatkan predikat sebagai yang terbaik. Ya…! Terbaik di hatiku.

Malam bahagia berubah menjadi menyeramkan buatku, yang seharusnya kurayakan kemenanganku mendapat gelar “terbaik” versi kampus. Tapi berubah menjadi jurang hutan yang sepi, gelap, dan hitam.

Malam itu Melly berucap begitu hati-hati, aku semakin penasaran, Adakah hal yang mengusiknya malam ini, suasana taman kota yang sepi seakan menemani suara lirih Melly.

“Maaf Ric…! Kita harus berpisah sampai disini,” ujarnya membuatku kaget.

“Apa Mel…!,” Coba ucapkan sekali lagi jawabku cepat.

“Hari terakhir aku di kota ini, aku harus mengabdikan ilmuku di kota nan jauh disana, dimana aku bisa mengekspresikan segalanya, mengukir indah dalam setiap jengkal waktu yang diberikan untuk kehidupanku,” ujarnya lirih.

“Mengapa harus di luar negeri !” Tanyaku pada Melly, “Kenapa harus disana, dunia yang tidak pernah engkau kenal, dunia yang tak kau ketahui secuilpun tentang kehidupan, kebudayaan, dan latar belakangnya.” Cercaku tanpa memberi sedikitmu ruang untuk Nelly menjawab.

Marahku tak tertahan.

Melly menunduk lesu, “Kenapa ya Ric…!, kenapa hatiku harus memilih kota itu,” jawabnya lirih.

Mata Melly sembab, bertetes–tetes air mata membasahi pipinya.

Diam sejenak… bunga-bunga di taman kota menjadi saksi bisu kepiluan kita berdua, tak pernah terlintas di pikiranku atas kejadian malam ini.

“Tapi please Ric….!, ku harap kau mengerti….!,” Jawabnya lirih memecah kesunyian.

“Ah….! Persetan dengan impian, persetan dengan mimpi-mimpi,” jawabku penuh keegoisan.

Pertengkaran hebat….! kami tak menundukan keheningan malam ini. Melly masih sesenggukan melawan irama penghuni malam yang hidup di taman kota. Beribu alasan yang diberikan Melly tak masuk sedikitpun di otakku. Apakah sudah bebal….!, buthek semua.

“Tapi Melly…! Kita bisa berbagi, ya memang…!,” tanyaku memaksakan kehendak.

“Kota inilah yang membesarkamu Ric!, kota ini pulalah yang meminta keuletanmu, pemikiranmu, usahamu, berbagai hal harus kamu abdikan disini, dan selamat! Kamu tidak perlu berjuang lagi, terlalu banyak perusahaan mencarimu untuk suatu pekerjaan yang layak,” katanya tanpa sekat.

“Tapi Melly….!” Keluhku

“Ah… maaf Ric! dan terima kasih atas segalanya, kenanganmu membuatku lebih hidup, kenanganmu yang membuat aku semakin lebih berarti… ya…! berarti untuk semua…!,” alasannya penuh ilmiah.

Kata terakhir yang diucapkan Melly begitu menusuk relung-relung kalbuku bersama udara yang tiba-tiba dingin. Ya..! tiba-tiba dingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar