Sabtu, 13 Maret 2010

Love Is (1)

Chapter 1
Pengorbanan Untuk Cinta

Dia adalah tetesan embun pagi yang jatuh membasahi kegersangan hati, hingga mampu menyuburkan seluruh taman sanubari dalam kesejukkan. Dia adalah bintang gemintang malam di angkasa raya yang menemani kesendirian rembulan yang berduka, hingga mampu menerangi gulita semesta dalam kebersamaan. Dia adalah pohon rindang dengan seribu dahan yang memayungi dari terik matahari yang tak tertahankan, hingga mampu memberikan keteduhan dalam kedamaian.

Dia adalah kumpulan mata air dari telaga suci yang jernih mengalir tiada henti, hingga mampu menghapuskan rasa dahaga diri dalam kesegaran. Dia adalah derasnya hujan yang turun yang menyirami setiap jengkal bumi yang berdebu menahun, hingga mampu membersihkan mahkota bunga dan dedaunan dalam kesucian. Dia adalah untaian intan permata yang berkilau indah sebagai anugerah tiada tara, hingga mampu menebar pesona jiwa dalam keindahan.

Ya, dia adalah belahan jiwaku. Dia adalah suamiku, hidup dan matiku. Aku mencintai sifatnya yang alami dan aku menyukai perasaan hangat yang muncul di hatiku, ketika kubersandar di dadanya yang bidang.

Tiga tahun dalam masa perkenalan, aku rasa cukup untuk memulai hidup baru mengarungi bahtera rumah tangga. Dan dua tahun dalam masa pernikahan, harus kuakui membuatku mulai merasa lelah. Alasan-alasanku mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.

Aku seorang perempuan yang sentimental dan benar-benar sensitif serta berperasaan halus. Dan kini dia sungguh berbeda, aku merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak kecil yang merengek pada ibunya untuk dibelikan permen. Tetapi semua itu tak pernah aku dapatkan. Suamiku kini sungguh jauh berbeda dari yang aku harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana yang romantis dalam pernikahan kami, telah mementahkan semua harapanku akan cinta yang ideal.

Suatu hari, aku beranikan diri untuk mengatakan keputusanku padanya, bahwa aku menginginkan perceraian.

“Mengapa?”, dia bertanya dengan terkejut.

“Aku lelah, kamu tidak pernah bisa memberikan cinta yang aku inginkan.” Jawabku.

Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya, tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu, padahal tidak.

Kekecewaanku semakin bertambah, seorang lelaki yang bahkan tak dapat mengekspresikan perasaannya, apalagi yang bisa kuharapkan darinya? Dan akhirnya dia bertanya, “Apa yang dapat kulakukan untuk merubah pikiranmu?”.

Aku menatap matanya dalam-dalam dan menjawab perlahan, “Aku punya pertanyaan, jika kamu dapat menemukan jawabannya di dalam hatiku, aku akan merubah pikiranku. Seandainya, aku menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung yang curam dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu, kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untukku?”.

Dia termenung dan akhirnya berkata, “ aku akan memberikan jawabannya besok.”

Hatiku langsung gundah mendengar responnya.

Keesokkan paginya, dia sudah tidak ada dirumah, dan aku menemukan selembar kertas dengan tulisan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi susu hangat yang bertuliskan…

“Sayang, aku tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan aku menjelaskan alasannya.”

Kalimat pertama ini menghancurkan hatiku. Aku melanjutkan untuk membacanya…

“Kamu bisa mengetik di komputer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis di depan monitor, dan aku harus memberikan jari-jariku supaya bisa membantumu dan memperbaiki programnya.”

“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan aku harus memberikan kakiku supaya bisa mendobrak pintu dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.”

“Kamu suka jalan-jalan ke luar kota tetapi selalu nyasar di tempat-tempat baru yang kamu kunjungi, dan aku harus menunggu di rumah agar bisa memberikan mataku untuk mengarahkanmu.”

“Kamu selalu pegal-pegal pada waktu ‘teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan aku harus memberikan tanganku untuk memijat kakimu yang pegal.”

“Kamu senang diam di rumah, dan aku selalu kuatir kamu akan menjadi ‘aneh’ [apaan ya? tiba-tiba suka marah-marah sendiri gitu kali ya.artiin sendiri deh hi…hi…]. Dan aku harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu di rumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.”

“Kamu selalu menatap komputermu, membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu, dan aku harus menjaga mataku agar ketika kita tua nanti, aku masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”

“Tanganku akan memegang tanganmu, membimbingmu, menelusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warni bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.” [duh, so sweet]

“Tetapi sayangku, aku tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena aku, tidak sanggup melihat air matamu mengalir menangisi kematianku.” [hiks…hiks…jadi sedih nih]

“Sayangku, aku tahu ada banyak orang yang bisa mencintaimu lebih dari aku mencintaimu.” [owww…]

“Untuk itu sayang, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan,kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu........”

Air mataku jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi aku tetap berusaha untuk membacanya.

“Dan sekarang sayangku, kamu telah selesai membaca jawabanku. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, dan tetap menginginkanku untuk tinggal di rumah ini. Tolong bukakan pintu rumah kita, karena sekarang aku sedang berdiri disana menunngu jawabanmu.”

“Jika kamu tidak puas sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Dan percayalah satu hal ‘bahagiaku bila kau bahagia’.”

Aku segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri di depan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini aku tahu tidak ada orang yang pernah mencintaiku lebih dari dia mencintaiku.

Itulah cinta, di saat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati kita karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengharapkan wujud tertentu.

Karena cinta itu menceriakan seperti bunga-bunga indah di taman yang membawa kenyamanan bagi yang memandang. Seperti rerumputan hijau di padang luas yang kehadirannya bagai kesegaran yang menghampar. Seperti taburan pasir di pantai yang menghantarkan kehangatan seiring tiupan angin yang menawarkan kesejukkan. Seperti keelokkan seluruh alam yang menghadirkan kekaguman terhadapnya.

Karena cinta itu seperti kaki-kaki yang melangkah membangun samudera kebaikan dan seperti tangan-tangan yang merajut hamparan permadani kasih saying.

Because love is not always has been formed flowers ‘karena cinta tidak selalu harus berwujud “bunga”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar