Chapter 1
Diary Bella
Entah kenapa keraguan itu masih saja terus merasuki jiwaku. Padahal tanggal pernikahan sudah ditentukan. Tiga bulan lagi aku akan menikah, memulai hidup baru dengan seseorang yang aku cintai. Harusnya aku bahagia, tapi entah kenapa bukannya bahagia tetapi ragu, keraguan yang tak tahu ujung pangkalnya. Apalagi kata Tania sahabatku pernikahanku ini dianggap tidak wajar di zaman sekarang.
”Terlalu dini Bell, apa kamu nggak nyadar, kamu cantik dan pintar, masih banyak belahan bumi yang belum kamu kunjungi dan masih banyak rahasia Illahi yang belum kamu pelajari. Rugi banget kalau waktumu hanya dihabiskan untuk mengabdi kepada seseorang yang notabene baru kenal, ” Kata Tania beberapa hari yang lalu.
”Tapi Tan, aku nggak pernah berpikir seperti itu. Bukankah menikah itu dianjurkan untuk menghindari kemaksiatan. Aku juga masih bisa berkarya kok. Aku yakin suamiku nanti memberi izin asalkan untuk sesuatu yang baik,” jawabku dengan polosnya.
”Iya Bell, tapi…..aduh…gimana ya menjelaskannya kepada orang yang lugu dan polos seperti kamu. Intinya menikah itu hanya dipergunakan laki-laki sebagai alat untuk berbuat semena-mena kepada wanita (istrinya), ya kalaupun mau menikah harusnya tidak sekarang, dimana energi masih melimpah ruah dan kita masih bisa melakukan apapun yang kita inginkan,” kata Tania dengan penuh antusias.
Aku tak tahu, mengapa ya di saat ingin melakukan sesuatu hati ini selalu ragu. Oh, my diary… apa yang harus aku lakukan…
***
Mengapa keraguan itu bertambah besar. Saat aku minta waktu pada Raka untuk memikirkan kembali keputusan menikah, dia malah marah besar. Telpon dibanting sepertinya. Kenapa dia tidak mengerti perasaanku sih. Ya jelas sebagai wanita aku cukup stres. Seharusnya dia lebih paham dan berpikir lebih moderat. Sungguh enak Tania, nampaknya Dira cukup moderat dan tidak memaksa Tania untuk segera menikah dengannya. Dia masih diberi kebebasan untuk menikmati hari-harinya. Tidak seperti aku, kenapa sih Raka terus saja memaksaku untuk menikah. Apakah ini strategi laki-laki agar bisa menguasai wanita dengan dalih menikahinya padahal sebenarnya ingin menindasnya.
Apa yang dikatakan Tania mungkin banyak benarnya, bahwa ketika sudah menikah seorang wanita tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dia harus patuh dan tunduk kepada suaminya entah suka atau tidak. Sungguh menggenaskan sekali.
Diary, menurutmu bagaimana… apa yang harus aku lakukan. Raka marah banget sama aku hari ini. Belum jadi suami aja sikapnya udah seperti itu, gimana jadi suami nanti… ngeselin banget…
Tan, aku pengen banget sepertimu yang bisa bebas pergi kemana-mana tanpa harus ada yang mengomel.
”Bella, Aku seperti ini karena Aku sayang. Sebentar lagi kita juga akan menikah. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kita. Kalau Kamu mau ke luar kota, ntar ya tunggu Aku. Tunggu aku kalau sudah nggak terlalu sibuk. Jangankan ke luar kota, ke luar negeri juga nggak apa-apa kok, tapi please… sekarang jangan pergi jauh-jauh dulu dari rumah,” begitulah kata Raka ketika aku ingin pergi ke Bali menghadiri wisuda temanku. Padahal perginya juga nggak sendiri, sama teman-teman yang semuanya cewek. Itupun tidak boleh. Sekali lagi, belum jadi istrinya saja udah kayak gini, gimana nanti.
Diary Bella
Entah kenapa keraguan itu masih saja terus merasuki jiwaku. Padahal tanggal pernikahan sudah ditentukan. Tiga bulan lagi aku akan menikah, memulai hidup baru dengan seseorang yang aku cintai. Harusnya aku bahagia, tapi entah kenapa bukannya bahagia tetapi ragu, keraguan yang tak tahu ujung pangkalnya. Apalagi kata Tania sahabatku pernikahanku ini dianggap tidak wajar di zaman sekarang.
”Terlalu dini Bell, apa kamu nggak nyadar, kamu cantik dan pintar, masih banyak belahan bumi yang belum kamu kunjungi dan masih banyak rahasia Illahi yang belum kamu pelajari. Rugi banget kalau waktumu hanya dihabiskan untuk mengabdi kepada seseorang yang notabene baru kenal, ” Kata Tania beberapa hari yang lalu.
”Tapi Tan, aku nggak pernah berpikir seperti itu. Bukankah menikah itu dianjurkan untuk menghindari kemaksiatan. Aku juga masih bisa berkarya kok. Aku yakin suamiku nanti memberi izin asalkan untuk sesuatu yang baik,” jawabku dengan polosnya.
”Iya Bell, tapi…..aduh…gimana ya menjelaskannya kepada orang yang lugu dan polos seperti kamu. Intinya menikah itu hanya dipergunakan laki-laki sebagai alat untuk berbuat semena-mena kepada wanita (istrinya), ya kalaupun mau menikah harusnya tidak sekarang, dimana energi masih melimpah ruah dan kita masih bisa melakukan apapun yang kita inginkan,” kata Tania dengan penuh antusias.
Aku tak tahu, mengapa ya di saat ingin melakukan sesuatu hati ini selalu ragu. Oh, my diary… apa yang harus aku lakukan…
***
Mengapa keraguan itu bertambah besar. Saat aku minta waktu pada Raka untuk memikirkan kembali keputusan menikah, dia malah marah besar. Telpon dibanting sepertinya. Kenapa dia tidak mengerti perasaanku sih. Ya jelas sebagai wanita aku cukup stres. Seharusnya dia lebih paham dan berpikir lebih moderat. Sungguh enak Tania, nampaknya Dira cukup moderat dan tidak memaksa Tania untuk segera menikah dengannya. Dia masih diberi kebebasan untuk menikmati hari-harinya. Tidak seperti aku, kenapa sih Raka terus saja memaksaku untuk menikah. Apakah ini strategi laki-laki agar bisa menguasai wanita dengan dalih menikahinya padahal sebenarnya ingin menindasnya.
Apa yang dikatakan Tania mungkin banyak benarnya, bahwa ketika sudah menikah seorang wanita tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dia harus patuh dan tunduk kepada suaminya entah suka atau tidak. Sungguh menggenaskan sekali.
Diary, menurutmu bagaimana… apa yang harus aku lakukan. Raka marah banget sama aku hari ini. Belum jadi suami aja sikapnya udah seperti itu, gimana jadi suami nanti… ngeselin banget…
Tan, aku pengen banget sepertimu yang bisa bebas pergi kemana-mana tanpa harus ada yang mengomel.
”Bella, Aku seperti ini karena Aku sayang. Sebentar lagi kita juga akan menikah. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan kita. Kalau Kamu mau ke luar kota, ntar ya tunggu Aku. Tunggu aku kalau sudah nggak terlalu sibuk. Jangankan ke luar kota, ke luar negeri juga nggak apa-apa kok, tapi please… sekarang jangan pergi jauh-jauh dulu dari rumah,” begitulah kata Raka ketika aku ingin pergi ke Bali menghadiri wisuda temanku. Padahal perginya juga nggak sendiri, sama teman-teman yang semuanya cewek. Itupun tidak boleh. Sekali lagi, belum jadi istrinya saja udah kayak gini, gimana nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar