Sabtu, 24 April 2010

Sebuah Kecupan Di Keningku (4)

Chapter 4
General University


Sepulang sekolah Fabian mengajakku kepantai, awalnya aku menolak, tapi akhirnya aku menyetujuinya. Dengan sepeda motornya, kami melaju melawan angin hingga sampai dibibir pantai. Angin menyapa ramah, seakan bersahabat. Fabian memarkirkan sepeda motornya didekat pintu masuk, lalu kami berjalan beriringan menuju tepi pantai. Deru suara ombak terdengar sangat ribut, namun terasa merdu. Sesekali ombak bergulung menyapu kaki kami. Dingin! Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Fabian menghabiskan waktu dipantai. Setiapkali jenuh, atau ada waktu luang, Fabian selalu mengajakku ketempat ini. Apalagi disaat pikiranku keruh.

“Bermainlah bersama alam jika kamu bosan menghadapi hari-harimu..” Itulah kata-kata yang selalu ia ucapkan padaku.

“Bi, aku lupa kapan pertama kalinya kamu ajak aku ketempat ini” tanyaku.

“Kamu masih ingat sewaktu kamu tiba-tiba datang kesekolah dan menangis? Aku tanya kenapa, kamu menjawab, ‘hidup ini kejam!’..” jawabnya, tanpa melirik kearahku.

“Ya! Lalu kita sama-sama cabut dari sekolah dan kamu mengajakku ketempat ini. Ya kan?” sambungku, sambil tersenyum getir.

Fabian membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih getir. Sesaat suasana hening. Aku dan Fabian sama-sama menikmati hembusan angin. Aku sempat mendapati Fabian sesekali mencuri pandang kearahku, namun aku pura-pura tidak tahu. Fabian merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan selembar amplop dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya.

“Apa ini Bi?” tanyaku penasaran.

“Bukalah, nanti juga kamu akan tahu.” Jawabnya datar. Aku membukanya pelan-pelan. Aku baru membaca kop suratnya saja, namun dadaku terasa berdetak semakin kencang, jauh lebih kencang dari biasanya. “General University to Fabian Maheswara in United States, America….”.

Selesai membacanya aku langsung menutup surat itu kembali. Mataku memerah, tapi aku berusaha untuk tidak menangis. Kupandangi wajah sahabatku itu dan tersenyum dengan senyuman terindah yang kumiliki. Aku menyodorkan kembali surat itu kepadanya. Dia mengambilnya dan menyimpannya kembali disaku celananya. “Jadi kamu akan pergi?” tanyaku dengan nada getir.

“Aku tidak tahu, harus pergi atau tidak! Sungguh! Aku takut kehilangan sahabat sepertimu.” Jawabnya.

“Pergilah Bi. Aku yakin aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi ingat, jika nanti kamu telah berhasil, jangan lupakan aku ya?” pintaku. Fabian tersenyum kecut. Lalu dipeluknya aku. Kemudian pelan-pelan dilepaskannya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar