Chapter 1
Pencarian Cinta
Di sana, sang pengembara masih terus meniti jalan. Menapak jejak yang hampir lebur dan menguap bersama mentari. Jalanan berdebu. Kemarau musim ini telah mencuri air dari dalam bongkahan-bongkahan bumi dan membawanya bersama udara.
Dalam dahaga yang mulai terasa, ia masih melangkah menuju padang yang tak bertumbuh ilalang. Sebuah padang yang kemarin dikabarkan angin, kalau di sanalah mungkin berada apa yang hendak dicarinya.
Namanya Melati, Melati Ananda, nama yang biasa, nama yang tak seunik obsesinya. Kami jumpa dua tahun silam, di padang gersang yang tak bertumbuh ilalang. Dalam lelah yang sangat, ia masih bisa menyungging senyum, juga matanya memancarkan asa yang meledak-ledak.
“Kemarin angin berkata, kalau di sini banyak cinta? “, tanyanya padaku dengan nada sungguh-sungguh dan berapi-api.
“Ya, inilah padang cinta”, jawabku.
“Benarkah?” Matanya yang bulat memancarkan binar-binar kegembiaraan. Aku mengangguk menegaskan.
“Antarkan aku mencarinya!”, pintanya padaku. Wajahnya memelas dan kulihat rindu di sana, seperti malam yang tak kunjung mendapat sinar bulan.
“Aku ingin sekali menemuinya”, katanya lagi.
Terik matahari menyengati padang gersang yang lama tak tersiram hujan. Terik yang sangat makin menyengati rongga-rongga hati
Berdua kami mencari cinta, di padang nestapa.
“Di sana banyak cinta, lihatlah!”, kataku menunjukkan kerumunan cinta yang melenggang di sudut padang. Kutunjukkan semua cinta yang bertebaran. Wajah-wajah mereka memukau pandangan.
“Bagaimana?” tanyaku. Kuharap ia menemukan cinta yang dicarinya.
Melati menggeleng pelan. Ada butiran kecewa di seraut wajahnya, juga dalam alunan suaranya.
“Aku tak menemukannya di sini, “ katanya pelan. Kulihat wajahnya sayu menatap senja. “Semua cinta di sini telah layu dihujam kemarau, aku ingin cinta yang tetap abadi, walau kemarau dan hujan menghampiri, aku ingin cinta yang hakiki”, lanjutnya. Ada kemantapan dalam nada suaranya. Semantap langkahnya membelah senja.
Dua tahun sudah. Kutahu Melati telah kembali, bersama rona pelangi dan terang matahari. Ada gerimis tipis merintik di kedua bola matanya. Sebongkah bahagia kulihat di sana.
“Ceritakan padaku, dimana telah kau temukan cinta itu?” tanyaku.
“Dia ada di sini, di dalam hati, seharusnya aku tak perlu susah payah mencarinya. Dia dekat sekali dengan kita. Aku jauh, Dia jauh. Aku dekat, Dia pun dekat.” Katanya. Rangkaian bunga melati tersusun indah dalam bentuk hati, diberikannya padaku. Dan kemudian menunjuk hatiku, Dialah sumber segala cinta. Cinta hadir di dalam hatimu yang terdalam, dari relung-relung jiwamu. Lanjut Melati mengakhiri ceritanya.
…Ketika cinta singgah di jiwa, aku ingin dia selamanya menetap di sana…
Pencarian Cinta
Di sana, sang pengembara masih terus meniti jalan. Menapak jejak yang hampir lebur dan menguap bersama mentari. Jalanan berdebu. Kemarau musim ini telah mencuri air dari dalam bongkahan-bongkahan bumi dan membawanya bersama udara.
Dalam dahaga yang mulai terasa, ia masih melangkah menuju padang yang tak bertumbuh ilalang. Sebuah padang yang kemarin dikabarkan angin, kalau di sanalah mungkin berada apa yang hendak dicarinya.
Namanya Melati, Melati Ananda, nama yang biasa, nama yang tak seunik obsesinya. Kami jumpa dua tahun silam, di padang gersang yang tak bertumbuh ilalang. Dalam lelah yang sangat, ia masih bisa menyungging senyum, juga matanya memancarkan asa yang meledak-ledak.
“Kemarin angin berkata, kalau di sini banyak cinta? “, tanyanya padaku dengan nada sungguh-sungguh dan berapi-api.
“Ya, inilah padang cinta”, jawabku.
“Benarkah?” Matanya yang bulat memancarkan binar-binar kegembiaraan. Aku mengangguk menegaskan.
“Antarkan aku mencarinya!”, pintanya padaku. Wajahnya memelas dan kulihat rindu di sana, seperti malam yang tak kunjung mendapat sinar bulan.
“Aku ingin sekali menemuinya”, katanya lagi.
Terik matahari menyengati padang gersang yang lama tak tersiram hujan. Terik yang sangat makin menyengati rongga-rongga hati
Berdua kami mencari cinta, di padang nestapa.
“Di sana banyak cinta, lihatlah!”, kataku menunjukkan kerumunan cinta yang melenggang di sudut padang. Kutunjukkan semua cinta yang bertebaran. Wajah-wajah mereka memukau pandangan.
“Bagaimana?” tanyaku. Kuharap ia menemukan cinta yang dicarinya.
Melati menggeleng pelan. Ada butiran kecewa di seraut wajahnya, juga dalam alunan suaranya.
“Aku tak menemukannya di sini, “ katanya pelan. Kulihat wajahnya sayu menatap senja. “Semua cinta di sini telah layu dihujam kemarau, aku ingin cinta yang tetap abadi, walau kemarau dan hujan menghampiri, aku ingin cinta yang hakiki”, lanjutnya. Ada kemantapan dalam nada suaranya. Semantap langkahnya membelah senja.
Dua tahun sudah. Kutahu Melati telah kembali, bersama rona pelangi dan terang matahari. Ada gerimis tipis merintik di kedua bola matanya. Sebongkah bahagia kulihat di sana.
“Ceritakan padaku, dimana telah kau temukan cinta itu?” tanyaku.
“Dia ada di sini, di dalam hati, seharusnya aku tak perlu susah payah mencarinya. Dia dekat sekali dengan kita. Aku jauh, Dia jauh. Aku dekat, Dia pun dekat.” Katanya. Rangkaian bunga melati tersusun indah dalam bentuk hati, diberikannya padaku. Dan kemudian menunjuk hatiku, Dialah sumber segala cinta. Cinta hadir di dalam hatimu yang terdalam, dari relung-relung jiwamu. Lanjut Melati mengakhiri ceritanya.
…Ketika cinta singgah di jiwa, aku ingin dia selamanya menetap di sana…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar