Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (4)

Chapter 4
Awal Dari Segalanya


Sesaat pria itu terpaku mengamati bantal kreasi Tasya, lalu katanya sembari tersenyum, “Idemu menarik sekali! Baiklah, terima-kasih banyak. Aku pilih bantal itu sebagai hadiah ulang tahun ibuku.” Wajahnya tampak gembira.

Tasya membungkus rapi kado itu. Dilengkapinya dengan pita dan kartu ucapan ulang-tahun. Pria itu menuliskan sesuatu pada kartunya. Tasya membacanya sekilas. Sebaris ungkapan cinta seorang anak, lalu sebuah nama. Virgo.

Esoknya, menjelang tengah hari, Virgo kembali muncul di toko Tasya.

“Kamu brilian, pilihanmu menjadi kado favorit Ibu,” katanya antusias.

“Oh, ya ?” Tasya tersenyum.

Pria yang kemudian dikenal Tasya bernama Virgo itu mengangguk. “Ya, padahal abangku menghadiahkan satu set home theatre, tapi kata Ibu itu tidak terlalu banyak berguna ketimbang bantal pilihanku. Ha.., ha.., ha…,” Virgo tertawa lucu.

“Wah, padahal home theatre itu hadiah yang sangat bagus dan mahal!”

“Tapi, tidak mengesankan dan seromantis hadiah pilihanmu! Itu kunci utamanya! Sekarang, ayo, ikut aku!”

Tasya terkejut. “Kemana?”

“Kutraktir kamu makan siang, sebagai ucapan terima-kasihku.”

“Oh, tidak perlu. Itu sudah kewajibanku, bagian dari pelayanan untuk pelanggan toko.”

“Ayolah, hanya sekadar makan siang.”

“Tapi….”

“Aku sungguh-sungguh ingin berterima-kasih. Please?” Virgo memohon.

“Maaf, aku benar-benar tidak bisa, toko tidak mungkin kututup tengah hari begini.” Tasya menolak sungkan.

“Kalau begitu jam berapa kamu tutup tokomu?”

“Aku…,” Tasya ragu-ragu.

“Jangan tolak aku,” Virgo mendesak. Tatap matanya merajuk, sarat harapan, “Sekali ini… saja!”

Sekali saja. Itu perjanjian awalnya. Ternyata yang ‘sekali’ itu hanyalah permulaan, yang kemudian berlanjut lagi… dan lagi…. Sesudah hari itu, candle light dinner menjadi acara rutin bagi mereka berdua melewatkan malam yang terluang. Dan, air mengalir, menghanyutkan apa yang tak berakar di tepian, dan Tasya merupakan salah satunya….

“Aku bukan bujangan lagi,” suatu hari Virgo berkata dengan kejujuran penuh. “Tapi, bukan alasan klise kalau kukatakan tidak kutemukan kebahagiaan dalam pernikahanku, seperti bahagia yang kurasa ketika bersamamu. Jadi, izinkanlah aku menyimpan kebahagiaan itu. Apakah kamu berkeberatan?”

Tasya termangu. Bagaimana mengatakannya? Tentu saja dia keberatan! Status pernikahan Virgo pastilah sangat mengganggu, dan bahkan akan memunculkan suatu masalah besar. Sama sekali bukan hal yang layak untuk diabaikan! Tapi, bagaimana Tasya mampu mengelak kalau ternyata dia pun mengalami kebahagiaan yang sama?

“Ah, rupanya kamu bersembunyi di sini,” sebuah bisikan menghampiri Tasya, menghentikan lamunan panjang gadis itu. Dua belah lengan memeluknya dari belakang. Secepat kilat dia menoleh. Virgo mempererat pelukan dan mengecup tengkuknya.

Gadis itu jengah mendadak. Mereka ada di perpustakaan, dan ada beberapa orang di sana, yang meskipun tampak sedang membaca, bisa saja melihat apa yang mereka lakukan.

“Virgo, hentikan! Malu dilihat orang,” bisik Tasya, berusaha melepaskan diri dari pelukan.

“Kalau begitu, ayo, ke kamarmu!”

“Kamu sudah gila! Ada Indra disana!”

“Dia sudah ‘kukirim’ ke Games Centre,” Virgo menarik lengan Tasya untuk mengikuti langkahnya. “Aku mengantuk sekali, ingin tidur sambil memelukmu. Pasti nyaman rasanya….”

Tasya menghentikan langkah. “Mengapa kamu tidak tidur di kamarmu sendiri, bersama Beby?”

“Dia sedang mengikuti program spa. Baru akan selesai beberapa jam lagi. Jadi, tidak usah cemas. Kita akan aman-aman saja,” ujar Virgo menenangkan.

Tasya menghela napas. Tanpa pilihan lain, diikutinya langkah Virgo, dan dipasrahkannya diri dalam pelukan pria itu.

Siang begitu panas. Matahari bersinar penuh sehingga laut bagai memantulkan cahaya. Di dalam kamar, Virgo tertidur pulas. Di sisinya, Tasya menatapnya.

Apakah kamu mencintaiku, Virgo? Gadis itu bertanya-tanya dalam hati. Kalau jawabannya ‘ya’, di sisi manakah kamu tempatkan aku di dalam hatimu? Aku pernah membaca, sebuah buku yang isinya… dalam keputusasaannya seorang istri pernah mengatakan, bahwa tiga orang terlalu banyak dalam sebuah pernikahan.

Orang ketiga membuat sebuah pernikahan menjadi sesak, overload bila meminjam istilah untuk lift. Berarti harus ada salah satu yang mengundurkan diri. Dan, berdasarkan hukum agama, undang-undang negara, ataupun etika moral, akulah yang ‘satu’ itu! Tapi, jika kamu harus memilih, berdasarkan nuranimu, siapakah yang akan kamu pilih, Virgo? Akukah orangnya? Seperti yang pernah kamu katakan, bahwa akulah sumber kebahagiaanmu….”

Tasya menyimpan pertanyaan itu dalam benaknya dan bermaksud mencari waktu yang tepat untuk mendapatkan jawabannya. Tapi, ketika Virgo membuka mata dan meraihnya dalam pelukan, pertanyaan itu tak terbendung lagi.

“Apakah kamu mencintaiku?” tanya Tasya, lirih.

“Tentu, aku sangat mencintaimu!” Virgo menjawab dengan keyakinan penuh.

“Apakah arti cinta itu bagimu?”

“Artinya adalah, bahwa di sisimu aku selalu bahagia, kamu membuatku selalu merindukanmu, dan membuatku tidak menginginkan apa pun selain dirimu.”

“Benarkah?” Tasya bertanya ragu. Ditatapnya mata Virgo.

“Cintaku padamu bagaikan candu bagiku,” sambung Virgo dengan tatapan penuh cinta yang memabukkan. “Perselingkuhan kita adalah dosa besar, bagimu, bagiku. Tapi, rasa cinta ini begitu menguasaiku, tak mampu kuelakkan hingga aku mengabaikan segala akal sehat, membuang rasa dosa, hanya demi mencintaimu, Tasya….”

Kalimat itu, oh, alangkah indahnya! Sedemikian merayu hati, melambungkan jiwa, namun sekaligus pula berlumur dosa. Benar, cinta memang bagai candu yang membius!

“Aku tahu kamu gelisah, Sayang, dan aku tahu apa yang menjadi bebanmu,” Virgo membelai rambut Tasya, menghirup wanginya.

“Apa ?”

“Hatimu mulai mempertanyakan arah hubungan kita. Perasaan keperempuananmu mulai menuntut sebuah pengakuan dan pengesahan. Dan ego mulai mengarahkanmu untuk tidak puas dengan sesuatu yang terbagi.”

Tasya terpukau. Tepat sekali! Bagaimana mungkin Virgo bisa setepat itu membuka isi hatinya?

“Bagaimana kamu tahu?”

“Hmm, wanita adalah misteri,” Virgo menatap Tasya tepat di bola matanya. “Bukan hal mudah untuk memahami apa yang ada dalam hatinya, tapi dalam kondisi tertentu, khususnya urusan cinta, kalian tidak ubahnya bagaikan lembaran buku yang terbuka, begitu mudah terbaca.”

“Lalu bagaimana kamu memberikan jalan keluar bagi beban hatiku?” desak Tasya.

Virgo berkelit mengamankan diri, jemarinya lembut membungkam bibir gadis itu. “Simpan dulu pertanyaan itu, dan jangan minta aku melakukan pilihan sekarang, Tasya. Beby sedang mengandung anakku”

“Tapi….”

“Aku mencintaimu. Hanya satu yang kuinginkan di dunia ini, yaitu mencintaimu, mencintaimu, mencintaimu…,” Lembut Virgo mengulum bibir Tasya. Sedemikian lembutnya hingga membuat gadis itu bagai melayang di hamparan awan dan menembus batas langit biru. Sebongkah cinta ada dalam pelukannya!

Alarm telepon genggam mendadak berdering nyaring. Virgo menghentikan pagutannya dan kemesraan yang belum tuntas itu usai sudah.

“Darling, spa-nya sudah selesai? Aku hampir beku menunggumu,” sigap Virgo meraih ponsel dan menciptakan dusta dengan mahir. Di tempatnya berbaring, Tasya menahan nyeri yang menekan ulu hatinya. Perlahan dirapikannya rambut dan bajunya. Semudah itukah dusta diciptakan? Bahkan, lebih mudah dari sekadar membalik telapak tangan. Dusta dan kebenaran ternyata sebangun dengan sisi mata uang, satu keping dengan dua sisi yang berbeda. Lalu, bagaimanakah membedakan dua sisi yang bertolak belakang itu? Manakah yang merupakan kebenaran bagiku dan bagi Beby?

“Café Lavender? Oke, aku segera ke sana! Ingat, jangan kamu habiskan es krimnya, ya. Dan, jangan ke mana-mana, aku tidak ingin kehilangan kalian lagi,” sambung Virgo, mesra.

“Oh, ya, tentu saja ‘kalian’. Kamu, kan tidak sendiri lagi. Sayang, ada si kecil di perutmu….”

Tasya tak tahan lagi. Dibukanya pintu untuk menyelamatkan diri dari kalimat ‘mesra’ yang bukan untuknya itu. Tapi, detik berikutnya, langkahnya terhenti.

“Jangan cemburu begitu,” Virgo menghadang langkahnya. “Kalau aku bersikap mesra pada Beby, itu kulakukan demi keamanan hubungan kita. Bagimu, barangkali aku tampak mendua, tapi sesungguhnya itu hanya kamuflase. Di hatiku yang terdalam sepenuhnya hanya ada dirimu, Tasya.”

Tasya berpaling. Kemarahan membayang jelas pada wajahnya.

Virgo tak menyerah. Lembut disentuhnya kedua belah pipi Tasya. “Ayolah, jangan marah. Hatiku risau melihatmu sedih. Katakan apa yang harus kulakukan? Kalau kamu ingin aku tetap di sini bersamamu, aku tidak akan pergi.”

“Lalu, janjimu pada Beby ?” tantang Tasya.

“Abaikan itu, yang terpenting adalah dirimu!”

Dusta atau kebenarankah itu? Tasya menajamkan mata, dicarinya jawaban pada sepasang mata di depannya. Begitu dekat mata itu, begitu bening hingga bagai telaga yang terlihat dasarnya. Dan, yang terlihat di sana hanyalah cinta, cinta, dan cinta.

“Aku…,” Tasya mendadak bimbang.

Detik itu pula terdengar ketukan, dan detik berikutnya Indra muncul di ambang pintu. “Beby mencarimu,” katanya singkat pada Virgo.

Virgo masih tak beranjak. “Tasya ingin aku di sini,” katanya, tanpa melepaskan tatapan.

“Oh tidak, tidak!” Tasya melepaskan diri dari Virgo, rasa jengah menguasainya. “Pergilah….”

“Ya?” Virgo menegaskan.

“Pergilah,” Tasya membuang pandang.

“Nanti malam aku kembali,” bisik Virgo sembari berlalu. Lalu hening, yang tersisa hanya helaan napas panjang. Di dalam kamar, Tasya dan Indra diam mematung.

“Boleh kukatakan sesuatu?” kata Indra hati-hati sesaat kemudian.

“Katakanlah….”

“Apa yang kalian lakukan ini, sungguh sangat berisiko! Benar kapal ini besar, memuat lebih dari seribu penumpang, tapi terlalu kecil untuk menyembunyikan rahasia kalian.”

“Aku tahu. Itu tidak perlu kamu umumkan.”

“Jadi, kenapa tetap kamu lakukan?”

“Menurutmu, aku harus bagaimana?”

“Keikutsertaan kita dalam kapal ini adalah satu kesalahan besar,” keluh Indra tiba-tiba. Menghela napas panjang.

“Lebih tepatnya, keikutsertaanmu,” Kata Tasya.

“Kamu takut Beby menuduhmu terlibat dalam kasus ini?”

“Tidak, Tasya. Aku lebih mencemaskan dirimu.”

“Kenapa ?” Tasya tercengang.

Indra menatap Tasya, tepat di bola matanya. Sejurus kemudian ia berucap, “Kupikir, tidak selayaknya kamu menerima perlakuan seperti ini,” gumamnya lirih, penuh penyesalan.

Tasya tercenung. Seperti tersentuh sesuatu. Ya, mungkin Indra benar! Sesungguhnya aku tak layak menerima perlakuan seperti ini. Semestinya tak kuikuti permainan gila Virgo. Tapi, mengapa aku tak mampu menolaknya?

“Beby sedang hamil,” Indra melanjutkan, masih dengan nada hati-hati.

“Tidakkah kamu berpikir, bahwa kehadiran anak-anak akan membawa banyak perubahan? Maksudku, bagaimana bila kehadiran anak itu justru akan membuat Virgo berpikir panjang untuk melanjutkan hubungan denganmu?”

“Tidak. Kamu salah sangka!” Tasya menggeleng penuh percaya diri.

“Virgo mengatakan, justru kehadiran anak itu akan membuat kami lebih sering bertemu!“

“Kenapa?” Indra bertanya tak mengerti.

“Anak itu tentu membuat Beby sibuk, sehingga tidak punya banyak waktu untuk peduli pada Virgo,” kata Tasya dengan keyakinan penuh.

“Itu,’kan dugaanmu. Bagaimana bila anak itu mampu menyentuh emosi Virgo dan menyadarkannya, bahwa ia telah menjadi seorang ayah?”

“Mana mungkin? Virgo tidak bahagia dalam pernikahannya, anak itu akan membuat beban baru baginya!”

“Virgo bilang begitu?”

“Ya.”

“Ah, itu alasan klise, Tasya! Pria paling sering menggunakan alasan klise itu untuk memanipulasi kebohongannya. Sebagai pria, aku tahu persis, 90 % dari kaumku, memanfaatkan alasan ketidakbahagiaan rumah tangga mereka untuk ‘mengesahkan’ perselingkuhannya. Meski sesungguhnya, terjadinya perselingkuhan itu lebih didominasi keinginan untuk mencari tantangan dan sensasi baru belaka.”

Tasya terkejut. Inikah pengakuan jujur seorang pria, atau hasil analisa seorang pria terhadap pria lain? Sekadar analisa, atau karena ada maksud tertentu yang menyertainya?

“Kalau boleh kusarankan,” sambung Indra lagi “Siapkan alternatif, semacam ‘rencana B’ untuk mengantisipasi sesuatu yang tidak terduga pada ‘rencana A’-mu, Tasya.”

“Kupikir, kamu terlalu peduli pada masalah ini,” Tasya mendadak curiga. “Apakah kamu ingin menyelamatkan pernikahan Virgo? Kamu berpihak pada Beby karena dia juga temanmu?”

“Aku tidak berpihak pada siapa pun,” bantah Indra cepat. “Dan, apakah kamu pikir aku sanggup menyelamatkan pernikahan Virgo atau siapa pun? Sama sekali tidak, Tasya! Kalau toh, aku berhasil mempengaruhimu untuk mengakhiri perselingkuhan ini, bukan berarti pula Virgo akan berhenti berselingkuh. Selama masih ada hasrat untuk melakukannya, peluang semacam itu akan selalu ada.”

“Jadi?”

“Aku lebih melihat bahwa apa yang terjadi pada dirimu adalah babak awal dari apa yang kualami sekarang!”

“Apa maksudmu?” Tasya bertanya bingung. Mereka-reka arah pembicaraan Indra.

“Mulanya berjudi adalah permainan belaka bagiku. Sekadar melewatkan waktu luang dan variasi dari clubbing. Tapi lebih jauh kemudian, persaingan mulai berpengaruh, memunculkan ambisi. Dan, ambisiku untuk memenangkan setiap perjudian telah ‘mendikteku’ untuk terus berjudi. Mengesampingkan akal sehatku, bahwa pada kenyataannya, aku justru makin terpuruk jatuh dalam kekalahan!”

“Ya, kusadari kemudian, ambisi memberiku harapan, bahwa pada perjudian selanjutnya aku akan menang dan bisa melunasi kekalahan sebelumnya. Tapi, nyatanya? Aku justru kalah dan kalah lagi….”

“Sampai sekarang?”

“Itu tidak penting,” Indra menggeleng. “Apa yang perlu kamu lihat adalah, jangan membiarkan dirimu terjatuh makin jauh. Virgo akan terus memberimu harapan dan kamu akan terus terlena untuk mengikutinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar