Kamis, 22 April 2010

Yang Perlahan Bersemi (4)

Chapter 4
Lamunan Bima


Perasaan itu datang lagi. Membelai, merengkuh, mengusik sanubari yang terdalam. Perasaan yang lembut seperti kapas, yang semilir seperti angin, yang harum seperti mawar. Dan yang menggetarkan segenap kalbu dengan halusnya, dengan manjanya. Itu terjadi, bila sosok tubuh ramping Nayshila berpapasan dengannya. Apalagi, bila mata mereka bertemu .. uh, serasa ada yang mendesir di hatinya bagai senandung angin malam. Dan, Bima menjadi pusing karenanya. Ingin dia menyapa, mengajak bercakap-cakap atau memberi senyuman. Tapi .. oh mama, betapa susahnya. Betapa kelu lidahnya, betapa membanjirinya peluh membasahi kemeja putihnya.

Seperti yang terjadi pagi ini. Dari jauh ia sudah melihat Nayshila yang tampaknya akan ke perpustakaan dan pasti harus melewati kelasnya. Melewati dirinya yang berdiri diambang pintu kelas. Dan, detik-detik sebelum gadis itu lewat, dia sudah menyiapkan kata-kata teguran, sudah menyalakan api keberanian untuk melemparkan senyum manis.

Namun semuanya buyar. Sirna bak asap disapu angin. Ketika Nayshila semakin dekat seketika dia merasa malu. Malu karena kata-kata yang pernah diucapkannya tempo hari. Tentu Aurel sudah menyampaikannya pada Nayshila. dan Nayshila pasti membencinya. Dia pasti tidak mau membalas teguranku, desah hati Bima.

Bel tanda pelajaran dimulai berdering. Bima tersentak. Astaga, sudah berapa lama dia berdiri mematung disini. Sudah berapa menit dia bengong begini hanya karena seorang Nayshila. Hhh, untunglah tidak seorangpun kawan sekelasnya yang menegurnya atau menggodanya sebab melihatnya melamun diambang pintu kelas. Jika tidak … o, betapa malunya. Ya, mungkin mereka tahu siapa dia, seorang introvert yang tidak suka bergaul dan lebih senang duduk menyendiri memerhatikan kupu-kupu, lalat, burung-burung kecil yang entah apa namanya atau hewan lainnya yang berkeliaran di halaman sekolah.

Masih dengan pikiran galau. Bima melangkah ke tempat duduknya yang paling belakang. Tepat, ketika dia baru saja duduk, pak Burhan, guru bahasa Indonesia masuk ke kelas. Sesudah mengucapkan selamat pagi, beliau langsung cuap-cuap menerangkan materi pelajaran. Bima meletakkan tangan kirinya di dagu mendengarkan tanpa minat. Bayang Nayshila menari-nari di pelupuk matanya.

Bima menghela napas. Dia tak mengerti mengapa dia bisa mempunyai perasaan seperti ini? Mengapa dia bisa rindu setengah mati pada seorang gadis? Mengapa dia sangat membutuhkan Nayshila? Padahal, selama ini dia tidak membutuhkan siapa pun. Dia selalu merasa bahagia dengan kesendiriannya. Tapi sekarang…akh, betapa dia mulai merasa sepi, merasa ingin ditemani.

Dan lucunya, dia hanya ingin ditemani Nayshila. Ingin membagi suka dan duka, membagi cerita hanya pada gadis itu. Padahal, dulu-dulu dia selalu menikmati dunianya yang sunyi. Jangankan mendambakan seorang gadis, pada kawan prianya saja dia enggan bergaul. Entah apa sebabnya? Bima sendiri tak dapat menjawab.

Banyak yang mengira dia pernah patah hati atau mengalami problem dalam keluarganya. Tapi … semua dugaan umum itu salah. Dia tak punya masalah apa pun, apalagi patah hati. Dia hanya suka menyendiri. Itu saja. Tetapi, setelah membaca surat Nayshila tempo hari, dia mulai terbangun dari kesepiannya. Dia mulai merasakan kehampaan hari-harinya. Dan itu baru disadarinya setelah dia melempar kalimat menyakitkan pada ...

“Bima!!”

Uf, Bima tersentak. Sepasang mata elang pak Burhan menikamnya. Cepat dia menunduk.

“Malam minggu masih lama, Bima! Jangan melamun terus!!” sindir pak Burhan. Bersamaan dengan itu bel tanda istirahat berbunyi. Bima menarik napas lega. Dia tak dapat membayangkan bila bel tidak berbunyi, tentu masih ada sindiran yang lebih sadis dari pak Burhan. Guru satu ini memang terkenal pintar membuat merah telinga anak didiknya yang tidak memerhatikan pelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar