Sabtu, 24 April 2010

Sebuah Kecupan Di Keningku (5)

Chapter 5
Kalung Dari Fabian


Sungguh! Sebenarnya aku tak rela jika harus membiarkan Fabian pergi, tetapi aku juga tidak ingin merebut mimpi-mimpinya. Dia telah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa itu. Dia berhak meraihnya. Toh, menyayanginya tidak harus membuatnya selalu ada didekatku. Membiarkan mencapai yang terbaik, itulah hakikat sayang yang sebenarnya. Waktu berjalan terlalu cepat. Seperti berlari mengejar rotasi waktu. Hari ini, dibandara ini, mungkin akan menjadi saksi terakhir persahabatanku dengan Fabian. Sirene pesawat mulai berbunyi, operator pun mulai mengingatkan agar penumpang segera masuk kedalam pesawat, karena pesawat sebentar lagi akan berangkat.

“Aku akan kembali Carissa..” ucap Fabian terakhir kalinya. Meyakinkanku.

“Aku percaya.” Jawabku yakin. Fabian mencium keningku. Untuk pertama-kalinya, dan mungkin juga yang terakhir, karena setelah hari ini, aku tak bisa memastikan apakah waktu masih bersedia mempertemukan kami lagi.

Gemuruh suara mesin pesawat seakan membuat jantungku terasa hampir lepas. Mataku terasa berat, dan darinya kemudian menetes butiran-butiran salju bening, membasahi wajahku. Kupandangi pesawat yang semakin menjauh. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Fabian. Selama ini kami hanya berteman, bersahabat! Tapi setelah hari ini, aku merasakan sesuatu yang hilang. Padahal belum ada lima menit Fabian pergi dari kehidupanku, tapi rasanya Fabian telah meninggalkanku entah berapa puluh abad. Aku kembali pulang kerumah. Sesampainya dirumah, kulihat ibu yang sedang menyelesaikan jahitannya. Yach! Setelah ayah tidak ada lagi, ibu mengisi waktunya untuk menerima pesanan jahitan dari tetangga. Dan hasilnya yang tak seberapa itu digunakan untuk biaya kehidupan kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolahku, meskipun terkadang tidak cukup, dan ibu terpaksa harus mengutang pada tetangga yang lain. Aku langsung menghampiri ibu. Membantunya memasang kancing-kancing baju yang telah selesai dijahit.

“Sudah berangkat Fabian, Ris?” tanya ibu.

“Sudah Bu. Tadi sewaktu Carissa mengantarnya ke Bandara, Fabian memberikan kalung ini untuk Carissa Bu. .,” tuturku, sambil menunjukkan sebuah kalung berliontin hati dileherku. Ibu tersenyum.

“Kamu mencintainya?” tanya ibu. Aku terdiam. Lalu tersenyum kecut.

“Tidak!” jawabku.

“Dia mencintaimu?” tanya ibu lagi.

“Tidak mungkin Bu.” Jawabku lagi. Ibu menepuk bahuku.

“Kamu sudah dewasa Carissa, mencintai dan dicintai itu hak mu. Yang terpenting kamu harus paham posisimu. Kita bukan orang kaya, jadi jangan terlalu banyak bermimpi Ris. Karena jika nanti kamu terbangun dari mimpi-mimpi itu, kamu hanya akan mengeluh.” Nasehat ibu.

“Carissa paham Bu.” Jawabku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar