Kamis, 22 April 2010

Maka Biarkan Aku Menangis (1)

Chapter 1
Rasa Cintaku


Tak bolehkah aku menangis? Mengeluarkan ratusan bahkan ribuan air dari kelopak mataku yang sayu?

Tak bolehkah aku menangis hingga meraung-raung? Meratapi setiap keadaan yang hadir karena cinta.

Ya, karena cinta karena ada kamu. Alvian Erlangga. Laki-laki tampan yang membuat aku rapuh. Membuat aku kehilangan arah. Kehilangan akal sehat. Dan kamu yang mampu membuat aku mengukir satu kata di hatiku yang terdalam. Kesetiaan. Aku akan setia buat kamu seorang. Tapi sampai kapan?

“Percuma, Ra, Lo ngejaga hati buat setia sama dia. Di mata Alvian, elo tuh cuma buat having fun. Dia kasihan sama elo, dia ngga mau sakitin elo, gue juga kasihan sama elo. Yang mau-maunya nungguin orang kayak dia. Forget him, Ra... forget him!"

Kata-kata itulah yang aku dengar dari Rizal. Dia adalah sahabat dekatnya Alvian. Ketika itu aku main di tempat kami biasa nongkrong. Sebuah Gazebo mungil yang letaknya di ujung gang. Anak-anak cowok yang lain asyik bermain gitar. Tampak mereka tidak peduli pada raut wajahku yang pucat pasi mendengar vonis Rizal.

Forget him?!

"Kenapa sih elo bisa cinta mati sama Alvian?" tanya Rizal.

"Apakah jatuh cinta dengan seseorang harus selalu punya alasan?" jawabku pelan.

"Gue Cuma jatuh cinta tanpa alasan."

"Ra, elo harus inget. Alvian sudah menunggu Melati selama tiga tahun. Sekarang lo pikir dong, kalau Alvian udah dapetin Melati kenapa dia harus ninggalin pacarnya itu demi elo seorang. Alvian setia sama Melati, elo jangan coba-coba buat merusak hubungan mereka," cecar Rizal sambil kemudian menghisap rokok putihnya dalam-dalam.

"Zal, gue ngga ganggu hubungan mereka. Gue cuma mencintai Alvian, apa ngga boleh? Apa itu dilarang? Cinta itu anugrah, Zal," aku mencoba membela diri.

"Tapi elo mencintai seseorang yang salah dan di waktu yang salah!" tegas Rizal. Lelaki kurus itu menatap mataku tajam seolah memberi ketegasan atas setiap perkataannya. Aku menahan tangis. Mengigit bibir bawah.

Tatapan mata Rizal semakin tajam seperti menghakimiku untuk segera melupakan sosok Alvian. Tapi bagaimana aku bisa melupakan dia?! Katakan padaku bagaimana caranya? Aku cuma mau dia tahu kalau aku mencintai dia. Tapi kenapa begitu sulit?

"Rizal... gue mau nangis," setelah kalimat itu meluncur, air mataku deras mengalir di pipi. Rizal berdecak kesal. Ia memalingkan wajah.

"Buat apa sih elo tangisin? Nangis ngga akan merubah keadaan!"

Dan sejak saat itu aku takut menangis di depan Rizal bahkan mungkin di depan teman-teman lelakiku yang lain. Rizal membentakku dan meninggalkanku begitu saja.

"Jangan buang air mata elo buat orang yang ngga cinta sama elo! Emangnya dia pernah nangisin elo?"

Dan aku semakin kuat menangis.

Aku benar-benar ingin menangis. Menumpahkan semua beban ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar