Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (8-End)

Chapter 8
Akhir Dari Segalanya


“Jangan, kamu tidak perlu minta maaf untuk kejujuran yang telah kamu lakukan. Karena sesungguhnya, itulah keutamaan yang harus kita punya. Kejujuranmu telah menuntunku untuk tahu dimana aku seharusnya menempatkan diri.”

“Jangan terburu-buru mengambil keputusan, Tasya. Kamu sedang emosi. Aku paham, kamu tentu kecewa atas sikapku semalam.”

“Sungguh tidak, Virgo. Aku justru sangat rasional saat ini.”

“Tasya please, dengarkan aku…,” Virgo memohon penuh harap.

Tasya menggeleng. Sekuat tenaga ia mengeraskan hati. “Bukan hal yang mudah memang untuk melupakan kebersamaan kita,” katanya, mempertahankan diri. “Tapi, bila diteruskan, kita akan terluka lebih dalam lagi. Dan akhirnya, akan jatuh salah satu korban.”

“Aku tidak akan mampu melakukan ini….”

“Mungkin tidak sekarang, tapi waktu akan membantumu. Apalagi nanti, sesudah anakmu lahir, dia tentu membawa kehidupan baru bagimu dan Beby. Dan setelah itu, baru kamu sadari, aku telah menjadi sekadar kenang-kenangan belaka bagimu.”

“Tidak akan!” Virgo bersikeras. “Aku tidak mungkin melupakanmu!”

Tasya menghela napas panjang. Ditepuknya lembut jemari Virgo di atas meja. Gerakannya lebih mirip seperti seorang ibu yang menenangkan anaknya. “Terserah apa katamu. Lihat saja bagaimana waktu akan mengubahmu!”

“Aku akan tetap mencintaimu.”

“Terima kasih, tapi maaf, aku tidak bisa menyimpan cinta itu lebih lama lagi.” Tasya memandang arlojinya. Batas waktu yang ditetapkan Indra hampir berakhir.

“Waktumu sudah habis,” katanya, mengingatkan. “Aku meminta Indra untuk menemani Beby selama satu jam, jadi sekarang tentu dia sudah mulai gelisah mencarimu.”

“Tidak, Tasya. Keputusan itu tidak datang dari hatimu!” tolak Virgo, bertahan.

Bukankah kamu pernah mengatakan akan melakukan apa pun yang kuinginkan?” tantang Tasya. “Nah, sekarang, aku memintamu untuk pergi. Pergilah….”

Tatap mata mereka bertemu. Lama. Bagai saling mempertahankan keinginan diri. Masing-masing mengeraskan hati. Beberapa detik berlalu. Pada detik berikutnya, Virgo menyerah. Dia menyadari, Tasya kukuh pada keputusannya itu. Sinar mata Tasya menampakkan tekad yang tak tergoyahkan. Dan, mau tidak mau, Virgo harus menghargai keputusan itu.

“Baiklah, aku pergi,” kata Virgo kemudian, nyaris tak terdengar. Perlahan dia beranjak. Di ambang pintu langkahnya terhenti. “Bolehkah aku memelukmu, Tasya?” tanyanya, tercekat.

Tasya berpaling, menyembunyikan matanya yang membasah. Tidak, jangan lakukan itu, pintanya dalam hati. Atau langkahmu akan tertunda selamanya.


Akhir

Tasya membuka mata. Secercah cahaya matahari sore menerobos tirai jendela yang terbuka. Cahaya itu menyentuh lembut mata Tasya, mengakhiri tidur siang gadis itu.

Perlahan Tasya mengumpulkan kesadaran diri. Cukup lama juga dia tertidur, sekarang sudah menjelang petang. Sebentar lagi kapal akan berlabuh di pelabuhan terakhir, Singapura. Jadi, dia harus segera berkemas.

Baru saja disibakkannya selimut ketika dilihatnya ada sesuatu di atas bantal. Seikat bunga rumput dengan pita putih. Sederhana rangkaian itu, namun begitu menyentuh hati. Kelopak bunganya yang mungil tampak segar dengan percikan air. Ada sehelai kartu yang menyertainya. Tasya membaca kartu itu tanpa suara.

Terima kasih.
Hari-hari bersamamu sungguh mengesankan.
Selamat tinggal.
(Indra)


Tasya mengedarkan pandang meneliti kamar. Segala sesuatunya telah rapi. Jadi benar, Indra telah berkemas dan pergi. Tanpa sadar digigitnya bibir. Pedih menekan ulu hati. Lalu, entah dari mana datangnya, ada rasa kehilangan yang menyergap. Semalam rasa itu sudah melukainya, tak disangka hari ini pun ia harus kembali merasakan luka itu. Bedanya, semalam ia telah siap. Tapi, kehilangan yang sekarang ini menyerangnya, sama sekali tidak ia duga. Dia, Indra, menorehkan luka yang baru.

Tasya mengambil sesuatu dari tas. Lembar foto mereka waktu di Pandewa tempo hari. Mereka bertiga di dalam foto itu. Indra, Tasya, dan Mentari. Masing-masing dengan ekspresi bahagia, tawa yang lepas. Sekilas tampak seperti sebuah keluarga muda yang sempurna. Suami, istri, dan seorang anak balita yang manis.

Tasya menghela napas, menyimpan kekecewaan di lubuk hati. Pedih menekan ulu hatinya. “Kamu belum mendengar impianku yang satu ini,” katanya, sendirian, “bahwa telah kumiliki satu tujuan, yaitu mewujudkan kebahagiaan seperti dalam foto ini. Aku ingin bertemu seseorang dan bersamanya menemukan Mentari-ku sendiri. Seseorang yang bersama diriku bisa saling memiliki secara utuh penuh….”

“Ya… ya, kamu pergi terlalu dini, Indra. Meninggalkan satu bagian cerita yang belum selesai. Ah, sudahlah….” Tasya mengakhiri kekecewaannya. Ditumbuhkannya sedapat mungkin semangat dalam dirinya. Dengan segera ia bangkit dan berkemas. Daratan sudah dekat, di depan mata.

Antrean panjang terjadi di tangga kapal. Masing-masing penumpang ingin segera sampai di dermaga. Begitu banyak tangga tersedia, namun semuanya penuh dengan antrean yang berdesakan.

Tasya menghentikan langkah. Dia tidak ingin terbawa dalam arus itu. Dia tidak harus mengejar sesuatu, masih ada banyak waktu tersisa untuk dirinya. Karena itu, segera didorongnya travel bag ke arah lain, melepaskan diri dari arus yang berdesakan itu. Dicarinya tempat leluasa untuk menikmati hembusan angin laut di saat-saat terakhir.

Baru beberapa menit menikmati desiran angin, nalurinya mengatakan, bahwa ada seseorang sedang mengawasinya. Tasya menoleh, mencari arah tatapan itu. Detik itu juga, Tasya tertegun. Jantungnya berdesir mendadak. Perlahan, namun makin lama makin keras degubnya. Indra berdiri di ujung koridor kapal!

“Hai,” sapa Indra, melangkah mendekat.

“Hai,” balas Tasya, mengendalikan desiran hati. Mereka seperti dua orang asing yang baru saling mengenal. Tiba-tiba Tasya teringat sesuatu. Ditunjuknya rangkaian bunga rumput dalam genggamannya, “Bungamu, terima kasih.”

“Kamu suka?”

“Ya,” Tasya mengangguk.

“Bunga sederhana,” kata Indra, pelan. “House keeping tak lagi punya persediaan bunga di hari terakhir pelayaran, hanya itu yang tersisa. Itu pun harus kusimpan di lemari pendingin supaya tidak layu. Jadi, jangan bandingkan dengan mawar cantik tempo hari yang kamu terima dari Virgo!”

“Aku suka bunga rumput,” Tasya menghentikan kalimat Indra, “bunga yang sederhana, tidak banyak menarik perhatian orang.”

“Benarkah?”

“Ya….”

Mata mereka bertemu sesaat lamanya. Masing-masing bagai ingin mengatakan sesuatu yang tak terungkapkan. “Kukira kamu sudah turun dari kapal,” kata Tasya kemudian, mengalihkan tatapan.

“Tadinya sih, begitu. Tapi, aku berubah pikiran. Aku sengaja menunggumu,” Indra tidak melepaskan tatapannya.

“Oh, ya?” desiran di hati Tasya semakin kuat.

“Tidurmu begitu pulas, aku tidak sampai hati untuk membangunkanmu. Tapi, sesudah itu, aku jadi khawatir. Bagaimana kalau kamu tidak terbangun dan terbawa lagi dalam pelayaran berikutnya?” Indra tertawa kecil.

“Dan, bertemu teman sekamar yang baru?” Tasya ikut tersenyum.

“Upss, jangan! Bertemu orang separah aku, satu kali cukuplah bagimu.”

“Sama, aku pun tidak ingin menjalani peran separah ini lagi.”

Keduanya menyimpan senyum dan tertawa bersama. Sejurus kemudian Indra berkata pelan, ”Tapi, aku tidak menyesal. Aku bahagia bertemu denganmu, Tasya….”

Pernyataan yang sangat mengejutkan akhirnya keluar dari mulut Indra. Tasya terpaku dalam diam. Dengan perasaan gamang, dia mendengar ucapan Indra selanjutnya, “Ada yang ingin kukatakan, tepatnya kuminta, kalau kamu tidak berkeberatan….”

“Apa?” Tasya menahan debaran hatinya.

“Foto kita di Pandewa tempo hari.”

“Untuk apa?” Tasy tak mampu membendung rasa ingin tahunya.

“Aku…,” kalimat Indra terhenti. Dia tampak kesulitan mengatakan sesuatu.

“Ya?” Tasya menunggu.

“Mentari…,” ucapan Indra terhenti lagi. Ditariknya napas, berusaha keras menyusun kalimat. Perlahan kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “Gadis kecil itu telah mengajarkan padaku arti penting sebuah tujuan. Bahwa adanya tujuan yang positif akan membuat kita melakukan hal-hal yang positif pula, membuat kita tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Terus terang saja, selama ini tujuan yang kupunya tidak jelas, memberiku harapan semu….”

“Apa tujuan barumu, Indra?” Tasya memburu. Dia jadi makin ingin tahu.

“Hmm, bagaimana aku harus mengatakannya padamu? Aku khawatir kamu tidak akan suka mendengarnya.”

“Kenapa?” Tasya mendesak.

“Karena, mmm… apakah kamu benar-benar ingin tahu?” Indra ragu-ragu.

“Ya!”

“Sekalipun kamu tidak akan suka mendengarnya?”

“Mungkin….”

“Baiklah,” Indra mengangkat bahunya. “Kalaupun itu akan membuatmu marah, itu hakmu, dan aku pantas menerimanya!”

“Katakan saja, Indra. Ayolah…,” Tasya makin penasaran.

Indra terdiam sejenak. Ia tampak ragu. Setelah menarik napas panjang beberapa kali, akhirnya keluar juga kalimat dari mulutnya, “Foto itu memberiku semacam harapan, Tasya. Andai saja, ya, andai saja kutemukan seseorang seperti dalam foto itu, yang mau berbagi beban hidup dan menghadirkan Mentari-Mentari kecil bagiku….”

Senja terpana. Keharuan dan keterkejutan menyergapnya dalam waktu yang bersamaan. Harapan dan impian itu, mengapa begitu mirip? Mungkinkah foto itu penyebabnya? Atau, doa tulus dari ibu Mentari?

“Tapi, aku tahu, Tasya. Aku bukan seorang pria yang terbaik untukmu. Aku tidak lebih baik dari Virgo,” gumam Indra perlahan, nyaris tak terdengar.

“Aku tidak bisa memberikan foto itu padamu,” Tasya menggelengkan kepala dan menahan getar suaranya.

“Kenapa?” Ada sinar kekecewaan di mata Indra.

“Karena ternyata aku memiliki impian dan harapan yang sama denganmu!” Tasya tak mampu lagi menahan getaran dan debaran hatinya.

Hening sesaat. Masing-masing kehilangan kata-kata.

“Kalau tujuan kita sama, mengapa kita tidak mencoba untuk bersama mewujudkannya, Tasya?” tiba-tiba Indra berkata lembut.

“Apa yang akan kita jalani tidak akan mudah, Indra.”

“Ada pepatah mengatakan, seribu langkah pun tidak akan pernah sempurna bila tidak dimulai dengan langkah yang pertama, Tasya.”

“Ya, benar juga. Dan, kita sudah memulainya selama empat hari,” Tasya tersenyum tipis.

“Jadi?” Mata Indra menyinarkan asa. Dan, itu segera ditangkap Tasya.

“Mari kita selesaikan langkah selanjutnya bersama-sama, Indra. Kamu dan aku,” Tasya tertawa lembut.

“Yap, kamu dan aku!” Indra ikut tertawa. Dia mengulurkan tangan dengan jemari terbuka. Tasya menyambut uluran itu. Jemari mereka bersatu dalam genggaman erat.

Antrean di tangga kapal sudah usai. Jalan menuju dermaga lapang terbuka, menyambut langkah mereka.




TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar