Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (3)

Chapter 3
Pertemuan Tasya Dengan Beby


Keheningan menyelinap. Langit senja berganti langit malam yang pekat. Sunset boulevard mulai lengang. Para penumpang yang menikmati indahnya matahari terbenam satu per satu mulai beranjak pergi. Tasya membenahi letak selendangnya.

“Selendang itu tidak sengaja kutemukan di lorong kabin. Malam hari udara di laut pasti dingin, jadi kupikir kamu tentu memerlukannya.” Indra mengamati gerakan Tasya dengan cermat.

“Aku tidak kedinginan….”

“Bibirmu biru.”

Tasya mendengus dingin.

“Bingung juga mencarimu, kapal sedemikian besar dengan begitu banyak ruang dan penumpang. Untung saja ‘petugas kapal’ mengatakan, bahwa di senja hari hampir semua penumpang menikmati mentari terbenam di sunset boulevard.”

“Sudahlah, hentikan basa-basimu!” hardik Tasya habis kesabaran.

“Aku akan berterima-kasih untuk selendang ini dan usahamu menemukan aku. Tapi, untuk selanjutnya kamu tidak perlu mencoba berbaik hati. Kita hanyalah dua orang asing yang kebetulan sekamar, anggap saja seperti penumpang di kendaraan umum, bus, pesawat, atau apa saja, yang kebetulan setujuan tanpa harus saling kenal atau bertegur sapa. Jelas?”

Indra tertegun. Tak menyangka reaksi Tasya sekeras itu. Hati-hati diamatinya gadis itu. Betapa dingin matanya. Menusuk dengan ketajaman yang luar biasa.

“Baiklah, aku pergi,” gumamnya kemudian mengundurkan diri.

Tasya berdiri kaku. Dengan ekor mata diikutinya langkah Indra menghilang dari pandangannya.

Awal yang buruk. Hari pertama dilalui dengan pertengkaran. Padahal, masih ada beberapa hari lagi yang harus dilalui bersama!

Malam itu Tasya melewatkan makan malam. Alunan musik dari dinner lounge sempat memacu rasa laparnya, tapi keengganan untuk beranjak lebih menguasai, dan memupus selera makannya.

Sesungguhnya apa yang sudah membunuh rasa laparnya? Pertengkarannya dengan Indra? Oh, bukan! Sesungguhnya, lebih karena keengganan untuk bertemu seseorang. Ya, ini jamuan makan malam pertama di kapal. Pastilah tidak ada seorang penumpang kapal pun yang melewatkan acara makan malam begitu saja. Apalagi, seorang istri yang hamil muda dan memang mengidam naik kapal pesiar bersama suaminya! Bisa dipastikan pasangan itu ditemukannya di sana.

Ah, sudah siapkah Tasya menghadapi mereka? Tidak! Oleh karena itu, dilewatkannya santapan makan malam begitu saja. Saat menjelang dini hari, terdengar ketukan halus pada pintu kamar. Tasya terjaga. Pintu kamar terbuka.

“Di mana Tasya?” tanya Virgo berbisik.

“Sedang tidur, dia…” jawab Indra dengan suara mengantuk.

Belum tuntas Indra menyelesaikan jawabannya, Virgo menerobos masuk dan langsung menghidupkan lampu, membuat ruangan terang-benderang.

“Malam sekali kamu datang,” gumam Tasya, memicingkan mata menahan silau lampu.

“Sayang…,” Virgo mengecup Tasya dengan lembut.

“Ayo, ikut aku!“

“Ke mana?”

“Bulan sedang purnama. Seperti yang kujanjikan, kita akan menikmati malam terindah di tengah laut bersama sinar bulan dan bintang-bintang.”

“Benarkah?”

“Tentu saja, ayo!“ Virgo meraih selendang, diselimutkannya pada bahu Tasya. Dia membimbing gadis itu untuk mengikuti langkahnya.

Tasya tersenyum. Sisa kantuknya habis begitu saja. Dipasrahkannya diri mengikuti langkah Virgo. Hatinya terjerat sudah! Tentu saja, wanita mana mampu mengelak dari jerat seromantis itu? Menikmati malam berdua, berteman cahaya bulan dan bintang-bintang, diiringi alunan ombak dan semilir angin laut di atas sebuah kapal mewah. Sempurna!

Di ujung ruangan, Indra termangu dalam diam. Perlahan, dia mematikan lampu kamar.


Hari Kedua
Tasya menikmati sarapannya pada sebuah meja di teras terbuka. Langit begitu cerah, biru bertabur awan putih, sementara laut begitu biru bening. Pasti segar andai bisa berenang di dalamnya.

“Boleh aku duduk di sini?” sebuah suara menyapa Tasya.

Tasya mengangkat wajah. Di depannya, Benteng menatapnya dengan mata menyiratkan harapan yang tak tersembunyikan. Astaga, betapa segar wajahnya pagi ini! Rambutnya setengah basah, dan aroma segar sabun mandi menyertainya.

“Silahkan,” kata Tasya kemudian. Nadanya kaku, menyisakan kemarahan semalam.

Indra ragu. Kekakuan suara itu terdengar jelas olehnya.

“Kamu masih marah,” kata Indra, dengan rasa bersalah.

“Memang bukan hal mudah melupakan kesalahanku semalam. Baiklah, ada baiknya aku tidak menganggu selera makanmu, permisi….”

Tasya menghela napas. Memang tidak mudah melupakan kesalahan seseorang. Apalagi kelancangan Indra semalam sungguh terlalu! Tapi, dia adalah bagian dari skenario kamuflase ini. Apa jadinya kalau orang lain atau petugas kapal, melihat mereka sebagai pasangan dalam satu kamar, tapi masing-masing makan sendirian pada meja yang berbeda? Lagi pula, pelayaran ini masih akan berlanjut beberapa hari lagi, haruskah kekakuan Tasya dipertahankan selama itu?

“Tunggu,” Tasya segera menentukan sikap, dicegahnya langkah Indra.

“Duduklah, please.”

Indra mengangkat alis, isyarat untuk memastikan. Tasya mengangguk dan tersenyum mencairkan suasana. “Kamu bilang tidak suka bangun pagi, tapi nyatanya kamu bahkan bangun lebih pagi dariku,” sambungnya kemudian.

“Berenang,” jawab Indra sembari duduk.

“Kamu lihat, air laut begitu segar! Sungguh sayang kalau tidak dinikmati.”

Jadi dia suka berenang, pikir Tasya mengamati Indra sekilas. Pantas badannya Tinggi, tegap dengan bahu dan dada yang bidang.

Indra menuangkan krim pada kopinya. Caranya unik. Poci krim digerakkan melingkar membentuk garis putih pada kepekatan kopi. Tasya melihat tidak ada sendok kecil pada tatakan cangkir, maka diulurkannya sendok pengaduk.

“Terima-kasih, tapi aku tidak mengaduk kopiku,” Indra menghirup kopinya dengan nikmat.

“ Kenapa ?”

“Aku suka paduan rasa kopi dan krim, tapi bukan campuran keduanya. Tanpa mengaduknya, kamu bisa merasakan masing-masing perbedaan rasa pahit kopi dan gurih krim pada saat yang bersamaan secara bergantian pada lidah. Rasanya sangat unik dan selalu berbeda dari waktu ke waktu. Berbeda bila diaduk, rasanya monoton, cenderung selalu sama!”

“Ughh, kamu punya cita rasa tersendiri,” Tasya meneguk jusnya.

“Baru kali ini kutemukan cara minum kopi seperti itu.”

“Setiap kali menikmati kopi dengan cara ini, mengingatkanku pada realitas kehidupan. Kadang pahit, kadang manis, berganti-gantian. Padaku lebih banyak pahitnya. Barangkali karena itu aku lebih menyukai kopi yang pekat.”

Tasya tertegun. Nada suara Indra sungguh menyiratkan kepahitan. Seakan ada luka yang membayang di sana. Sepahit itukah kehidupannya, hingga memaksa dirinya untuk menerima ‘skenario gila‘ ini? Lalu, aku? Baru saja Tasya akan mengatakan sesuatu, ketika mendadak dia menghentikan niatnya. Pandang matanya menangkap kedua sosok yang membuat napasnya bagai berhenti sesaat.

Indra menangkap reaksi itu dan dengan cepat diikutinya arah pandang Tasya. Beberapa meter dari mereka, Virgo melangkah mendekat. Pada pelukannya, Beby bergelayut manja. Perut beby menyembul samar, menampakkan kehamilannya.

“Hai, Indra, kamu di kapal ini juga?” sapa Virgo dengan akting sempurna.

“Dengan siapa?“

Indra terperangah. Tampak sangat tidak siap. Sungguh tidak diduganya, Virgo menyapanya di depan Beby. “Ini…,” jawabnya gugup, kehilangan kata-kata.

“Pacarmu?” Virgo membantunya.

“Cantik sekali. Pacar baru, ya?”

Tasya membuang muka. Muak dan pedih mendadak bersamaan menusuk ulu hatinya.


“Kenalin, dong!” sambung Beby tersenyum pada Tasya, lalu ditepuknya pundak Indra.

“Kamu tidak pernah cerita punya pacar secantik ini!”

“Namanya Tasya,” Indra sigap menguasai keadaan dan segera melaksanakan improvisasi skenario tanpa skrip. Dibimbingnya Tasya untuk berkenalan,

“Tasya, mereka ini temanku, Virgo dan Beby.”

Dengan kaku Tasya menempatkan diri pada skenario palsu itu. Diulurkannya tangan menyambut salam mereka. Sekilas sempat dilihatnya Virgo mengedipkan mata.

“Sering berlayar?” tanya Beby masih dengan senyumnya.

“Tidak juga,” Tasya berusaha membalas senyum itu dengan susah-payah.

“Sama, dong! Ini juga pelayaran pertamaku, hadiah dari suami,” Beby mengerling manja pada Virgo.

“Suatu malam aku bermimpi naik kapal pesiar dan ketika kuceritakan mimpi itu, dia langsung saja memesan tiket! Manis sekali, bukan?”

Tasya nyaris tersedak. Dadanya bagai terhujam sesuatu, sungguh amat menusuk. Indra menangkap gelagat buruk itu, dan dengan sigap segera dilakukannya tindakan penyelamatan.

“Oh, begitu?” katanyanya untuk menutupi reaksi Taysa, “Ternyata Virgo suami yang romantis, ya?”

“Kadang-kadang, tapi akhir-akhir ini dia selalu pulang larut malam. Lembur melulu!” keluh Beby, jujur.

“Maklumlah, boss besar,” Indra tertawa, masih dalam upaya untuk menyelamatkan situasi. “Tapi Beby, pipimu merah sekali terkena sinar matahari. Lupa membawa topi?”

“Benarkah?” Beby terkejut meraba pipinya.

“Tasya juga lupa membawa topinya,” sambung Indra. “Ah, kalian ini bagaimana? Bukankah wanita selalu melindungi diri dari sinar matahari? Bagaimana mungkin kalian meninggalkan kamar tanpa topi?”

“Oh,ya! Aku lupa!” seru Beby.

“Tasya juga. Ayo, Sayang, kuantar ke kamar mengambil topi.” Indra menarik lembut lengan Tasya, menyelamatkan gadis itu dari jebakan situasi.

“Wow, Indra! Sayang sekali kamu pada pacarmu,” goda Beby sembari melambaikan tangan. “Nanti ketemu lagi, ya?”

“Tentu,” salam Indra sembari menjauh bersama Tasya.

Di tempatnya berdiri Virgo membuang pandang. Dia sungguh tidak suka melihat Indra membawa Tasya menjauh. Sungguh tidak rela. Tapi, apa ada pilihan lain?

"Terima-kasih,” gumam Tasya kemudian.

“Untuk apa?” Indra melepaskan genggaman lembutnya pada lengan gadis itu.

“Kamu telah menolongku.”

“Aku hanya menyelamatkan situasi sesaat, selanjutnya kamu sendiri yang mampu menolong dirimu sendiri.”

Begitukah? Tasya bertanya tanpa suara. Lalu, apa yang harus kulakukan untuk menolong diriku? Haruskah aku mengakhiri semua ini? Kalau jawabannya ya, harus dengan cara bagaimana? Semuanya terjadi begitu saja, mengalir bagai air tanpa kusadari, bahwa aliran itu menghanyutkanku begitu jauh entah ke mana!

Semuanya bermula pada suatu hari….

Tasya sedang menjaga toko pernak-perniknya ketika menyadari, bahwa seorang pembeli sudah lebih dari setengah jam berputar-putar di tokonya tanpa menemukan apa pun juga untuk dibeli. Pembeli itu pria berpostur tinggi dengan pantalon rapi, ciri khas eksekutif muda. Tasya mengamati. Tidak biasanya pria tipe begini ada di dalam tokonya. Pada umumnya, pelanggannya adalah ABG terutama gadis-gadis belia. Tapi, pria itu juga bukan tipe pengutil yang layak dicurigai!

“Memerlukan sesuatu?” tanya Tasya kemudian mendekati tamu aneh itu.

Pria itu terkejut. “Oh, ya, ya! Aku sedang bingung sekali!”

“Ya?” Tasya menunggu.

“Ibuku ulang tahun dan belum kutemukan hadiah yang bagus.”

“Apa yang disukainya ? Biasanya kaum ibu suka perhiasan….”

“Tidak, terima-kasih. Koleksi perhiasan Ibuku tidak perlu ditambah lagi.”

“Jadi?”

“Aku memerlukan sesuatu yang berkesan, bisa dipakai dan akan selalu mengingatkannya padaku.”

Tasya tersenyum. Itu ciri khas keinginan semua orang ketika mencari kado. Pada beberapa orang, bahkan perlu ditambah beberapa hal, yaitu murah, tahan lama, dan bla…bla…bla.…

“Coba ceritakan tentang ibumu,” pinta Tasya kemudian.

“Hmm, usianya 60 tahun. Masih aktif dan sehat, meskipun ada gangguan pada punggungnya. Hobinya nonton televisi, terutama drama serial Korea….”

“Apa judul serial favoritnya ?”

“Entahlah, mana aku tahu, pokoknya yang sedih-sedih.”

“Tunggu sebentar!” Tasya mengisyaratkan sesuatu, lalu berkeliling sebentar mengamati koleksi tokonya. Sesaat kemudian dia kembali dengan sebuah bantal kursi mungil, bersarung katun berenda dengan sulaman bunga ungu muda.

“Seseorang yang mengalami gangguan punggung selalu memerlukan sandaran yang nyaman untuk duduk. Bantal ini bisa dipakainya bersandar sembari nonton televisi,” Tasya menjelaskan sembari meraih serumpun kecil bunga lavender kering. Dirangkainya rumpun bunga itu dengan ranting kering dan diikat pita warna natural. Cantik rangkaian itu, meski sederhana. Lalu disematkannya pada salah satu ujung bantal.

“Manis, bukan?” Tasya memperlihatkan kreasinya. “Seingatku, pernah diputar drama serial Korea berjudul Lavender. Kalau ibumu menyukainya, tentu hadiah ini akan berkesan di hatinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar