Sabtu, 24 April 2010

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (1)

Chapter 1
Salon 8 Dewa


Davina menginjak rem mobilnya untuk belok ke kiri sambil celingak-celinguk mencari alamat yang ditulisnya di kertas 'post it' kuning menyala itu.

"Kencana Ungu I...," gumamnya. "Ini sudah Kencana Ungu, tapi kok tidak jelas I atau 100, ya?" Dengan agak sebal ia menghubungi sahabatnya sekaligus yellow pages persalonan, Silvia.

"Sil, benar nih aku belok kiri setelah rumah sakit bersalin ‘Buah Hati’?" tanyanya begitu Silvia menjawab telepon selularnya.

”Yes, Honey. Belok kiri, terus belokan kanan kedua kamu belok kanan, terus lurus saja. Salonnya ada di kiri. Aku sudah daftarkan atas nama kamu. Kalau hari Sabtu begini, ramai sekali, Non."

"Oke, deh. Thanks, ya?"

Klik. Percakapan selesai.

Davina agak bersungut saat memarkir mobilnya karena ternyata salon tersebut terletak di daerah perumahan yang jalannya agak sempit. Dan benar kata Silvia, hari Sabtu ramai pengunjung. Di depan rumah berpagar coklat itu ada tiang yang atasnya bergantung papan hitam dengan tulisan merah Salon 8 Dewa. Di baris pertama dan di baris kedua tertulis, Hari Senin tutup. Hm, Davina agak ragu memasuki salon itu. Kurang meyakinkan, begitulah kesan pertama Dara.

"Siang, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" tanya seorang gadis dengan rambut jingga menyala standar pegawai salon.

"Hm, saya sudah daftar, Mbak... atas nama Davina. Mau gunting dan highlight," jawab Davina sambil mengintip daftar pengunjung yang sudah booking di buku folio besar macam buku akuntansi.

"Oh iya... tunggu sebentar ya, Mbak. Masih menunggu satu orang lagi dipotong rambutnya. Silakan duduk dulu," ujar si Rambut Jingga sembari menunjuk kursi lipat hitam di sudut kiri.

Davina duduk, melipat kaki dan tangan dengan anggun seperti yang pernah dipelajarinya di John Robert Power sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling salon. Ih, kalau bukan Silvia yang merekomendasikan salon ini, tidak bakalan ia mengunjungi dan memasrahkan rambutnya di tempat berukuran ala kadarnya, dengan kursi-kursi standar dengan dua kipas angin sebagai penyejuk macam ini.

Bagaikan langit dan bumi dengan salon yang biasa ia kunjungi untuk creambath. Salon elit yang harga potong rambut saja bisa ratusan ribu. Mungkin satu paket dengan aroma terapi yang dibakar terus menerus demi kenyamanan pelanggan salon agar tidak jenuh saat menunggu.

"Pokoknya, kamu percaya saja, Vin," kata Silvia meyakinkan dua hari lalu. "Yang motong rambut adalah Si Dewa sendiri, yang punya salon. Yang dulu di salon Lafayette itu, lho." Dengan wajah penuh promosi Silvia melanjutkan, "Dewa itu dulu tangan kanannya Si Enrique-penata rambut yang terkenal itu dan pelanggannya yang paling banyak. Terus mereka ada selisih paham, akhirnya Dewa buka salon sendiri di rumahnya. Banyak langganannya yang pindah nyari Dewa." Silvia jeda sejenak, menelan ludahnya yang sedikit berbusa-busa. "Potongannya keren habis. Dia bisa mengkombinasikan antara jenis rambut, warna kulit dan bentuk wajah kita! Harga terjangkau pula."

Davina melihat sekelilingnya, dan sekali lagi berusaha meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah mengambil keputusan. Secara ia ingin tampil mencengangkan, mempesona, mengundang decak kagum, dan berbagai kosa kata lainnya dari orang-orang yang bakal melihat penampilannya nanti. Terlebih, ia dapat tampil paling mentereng di acara ulangtahun Rossa malam Minggu ini. Dan yang pasti, ia bakal membuat Farel, mantan pacarnya beserta kekasihnya yang barunya itu, terperanjat oleh pesona dari dirinya yang tampil bak Cinderella.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar