Chapter 5
Kecemburuan Virgo
Indra dan Tasya baru saja menyelesaikan makan malam dan sedang berjalan menikmati angin malam di dek 12, ketika terdengar suara musik di dance lounge mengalunkan lagu.
Coz there's something in the way you look at me
It's as if my heart knows you're the missing piece
You make me believe that there's nothing in this world I can't be
I'd never know what you see
But there's something in the way you look at me
“Lagunya bagus, berdansalah denganku,” pinta Tasya, perlahan.
“Aku tidak bisa berdansa,” jawab Indra, jujur.
“Ah, mudah, ikuti saja langkahku!”
“Nanti kakimu terinjak.” Indra menatapnya ragu.
Tasya tersenyum. “Ayolah, Indra,” katanya, sembari mengulurkan tangan. Akhirnya Indra menerima ajakan Tasya untuk berdansa. Suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya!
Mereka melangkah ke tengah ruangan yang menjadi arena dansa. Tasya menuntun tangan kiri Indra untuk memeluk pinggangnya, sementara jemari yang lain saling berpegangan. Kemudian diayunkannya langkah mengikuti irama lagu.
Perlahan Indra mengikuti irama langkah gadis itu. Langkah ke depan, ke samping, ke belakang, ke samping, ke depan lagi. Mereka begitu dekat. Tasya seolah berada dalam pelukan Indra. Terasa tubuhnya begitu mungil, sehingga sesekali dahinya menyentuh dagu Indra. Dan, setiap kali itu pula tercium wangi yang samar dari helaian rambutnya, lembut membelai seirama hembusan angin.
“Kamu jenius, punya bakat berdansa,” bisik Tasya, menyimpan senyum.
“Tergantung siapa dulu pengajarnya,” sahut Indra, membalas senyum Tasya.
“Besok kapal singgah di Pandewa?” Tasya mengalihkan percakapan.
“Ya, ada waktu dua jam untuk berkeliling. Kamu mau ikut denganku?” ajak Indra.
“Kemana?”
“Geneva Hill’s, itu tempat yang sangat menarik! Sebuah bukit dengan sisa benteng Portugis di sekelilingnya, namanya Alferindo.”
“Hanya itu?” Tasya mengernyitkan alis.
“Ada juga Danau Wizard, dan Taman Century Flower…”
“Taman?” Tasya memotong cepat. Ia tampak mulai tertarik.
“Ya, taman itu dibangun di atas bukit. Sangat inspiratif! Sebagian dinding air mancurnya sudah berlapiskan lumut, bangku-bangkunya terbuat dari kayu tua berusia puluhan tahun,” Indra menghentikan ceritanya. Di depannya, Tasya terdiam. Tatapan matanya kosong, menampakkan kesunyian yang panjang.
“Hei, kamu melamun!” Indra menyentuh bahunya.
“Aku sudah lama ingin ke Danau Wizard (Danau yang punya legenda, kalau siapa pun yang mengucapkan permintaan di danau itu akan terkabul) itu,” bisik Tasya, nyaris tak terdengar. Cahaya matanya mendadak muram. Gerakannya yang semula bersemangat, menyusut perlahan.
Indra menyadari perubahan itu. Tapi, sebelum sempat bereaksi lebih jauh, Tasya sudah menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia mendadak tampak begitu rapuh dan sendirian. Indra menghela napas panjang. Nalurinya mengatakan, gadis itu layak untuk dilindungi. Hati-hati kemudian diterimanya gadis itu dalam pelukannya.
Mendadak kemudian sebuah dorongan kasar merenggut gadis itu dari pelukannya. Dan, sebelum Indra sadar apa yang terjadi, sebuah pukulan keras menghantam rahangnya. Indra terhuyung beberapa langkah dan terjatuh. Jeritan tertahan terdengar memenuhi ruangan. Iringan musik terhenti tiba-tiba.
“Bangsat!” maki Virgo, tak terkendali. Dengan marah diburunya Indra.
“Virgo, apa yang kamu lakukan?” teriak Tasya, menghadang.
“Minggir!” hardik Virgo. “Seujung jari pun ia tidak berhak menyentuhmu!”
“Aku yang memintanya menemaniku berdansa,” bela Tasya, mencoba meredakan kemarahan Virgo.
Berpuluh pasang mata mengawasi insiden itu. Beberapa orang tampak membantu Indra untuk berdiri.
“Murahan! Benar-benar tidak pantas!” Virgo masih memaki.
Tasya terhenyak. Tidak disangkanya Virgo akan memakinya setajam itu.
“Aku membayarmu tidak untuk melakukan ini! Aku harus memberimu pelajaran!” Kemarahan Virgo tak terkendali. Dicengkeramnya leher Indra dan bersiap untuk menghujamkan pukulan kembali.
“Jangan!” Tasya berusaha melerai.
“Biar saja, biarkan dia melakukan apa yang dia mau,” jawab Indra datar, sembari menyeka darah di ujung bibirnya. “Anggap saja ini bagian akhir dari skenario itu, sehingga Beby bisa melihat apa yang terjadi dan kita tidak perlu berpura-pura lagi!”
Virgo terhenyak, mendadak seperti tersadar dari sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya ke deretan ‘penonton’ di sekeliling ruangan. Tapi, sosok yang dicarinya tak ada. Selamat! Beby tidak berada di sana! Sesaat baru disadarinya, Beby tentu sudah tertidur pulas di dalam kamarnya, Junior suite balcony di dek 9. Di dalam kamar nyaman itu, bisa dipastikan Beby tidak akan bangun hingga besok pagi! Ya, mudah-mudahan begitu….
Menyadari dirinya menjadi tontonan banyak orang, Virgo menahan diri. Dilepaskannya cengkeramannya, lalu bergegas menyelamatkan diri. Ditariknya Tasya untuk mengikuti langkahnya. Untuk menghindari kericuhan muncul kembali, Tasya tidak membantah keinginan Virgo. Sebelum beranjak, diisyaratkannya pada Indra untuk tidak mengikuti langkahnya.
Tasya tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sesudah itu. Yang tidak dilupakannya adalah bahwa Virgo marah besar dan ia harus menerima kemarahan itu tanpa syarat.
Menjelang dini hari, Tasya terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar. Setengah sadar ditemukannya dirinya tertidur di sofa. Dengan mata mengantuk ditelitinya sekeliling ruangan. Kosong, tak ada orang lain. Di mana Virgo? Oh, tentu dia sudah kembali ke kamar istrinya! Entah jam berapa ia meninggalkan Tasya semalam. Lalu, Indra?
Ketukan terdengar lagi, lebih keras. Bergegas Tasya mengenakan kimono dan membuka pintu. Seorang petugas kapal menyambutnya dengan wajah cemas.
“Maaf Bu, terpaksa membangunkan Ibu dini hari begini, tapi suami Ibu…,” katanya terbata.
Suami? Tasya terkejut. Nyaris digelengkannya kepala membantah petugas itu dan menyangkanya salah kamar. Tapi, detik berikutnya ingatan tentang skenario kamuflase itu membuatnya mengurungkan bantahan.
“Ya, ada apa?” tanyanya kemudian. “Apa yang terjadi pada suami saya?”
“Hujan turun semalaman, tapi suami Ibu bersikeras tidak mau masuk ke kabin. Sejak insiden pemukulan itu, dia berada di Promenade, kehujanan sepanjang malam!”
“Di mana dia sekarang?” Tasya bertanya cemas. Dia baru menyadari semalaman Indra tidak kembali ke kamarnya.
“Medical centre….”
Di klinik, Tasya menemukan Indra menggigil kedinginan dalam balutan selimut handuk. Diulurkan tangannya, meraba dahi pria itu. Panas tinggi!
“Dokter sudah memeriksanya, Bu, tapi Bapak tidak mau minum obat,” petugas medis menjelaskan sembari menyerahkan sejumlah obat.
“Aku tidak sakit!” sergah Indra. “Aku cuma kedinginan….”
“Suhu badanmu tinggi, itu artinya kamu demam.”
“Tidak! Aku hanya….”
“Ssst, sudahlah,” Tasya menghentikan bantahan Indra. “Sakit itu sesuatu yang alami, bisa datang pada siapa saja, dan dalam situasi apa pun. Untuk apa kamu sibuk membantahnya?”
Indra terdiam. Dia tak membantah ketika Tasya memapahnya kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Tasya mengulurkan obat dan botol air mineral. “Ayo, minumlah,” katanya lembut, tapi dengan nada tak terbantah. “Lalu buka bajumu….”
“Untuk apa?”
Tasya menunjukkan obat gosok yang dibawanya. “Punggungmu perlu dioles obat ini, supaya hangat, dan membuatmu bisa beristirahat.”
“Obat gosok itu?” Indra ragu-ragu .“Aku tidak pernah menggunakannya.”
“Lakukan saja apa yang kukatakan. Hasilnya bisa kamu lihat besok pagi!”
Indra tak mampu membantah lagi. Perlahan dibukanya baju dan menyediakan punggungnya dengan pasrah.
Tasya mengerjapkan mata mengamati punggung yang terbuka itu. Begitu bidang punggung Indra! Dengan otot bahu yang kokoh serta garis urat yang terlihat jelas, seakan menampakkan ketangguhan dan kekerasan menghadapi kehidupan. Ya, kehidupan keras macam apakah yang telah dijalaninya? Tasya mengusir beribu tanya dalam benaknya. Segera dioleskannya obat penghangat pada punggung Indra sembari dilakukannya sedikit pijatan pada bahu pria itu.
“Tidak kusangka, kamu pintar memijat! Nyaman sekali rasanya!” Indra memejamkan matanya.
“Anggap saja ini bonus dariku,” sahut Tasya, tersenyum, buru-buru menyelesaikan pijatannya. “Kalau boleh tahu, kebodohan apa yang sudah kamu lakukan semalaman? Mengapa tidak masuk kamar?”
“Ada Virgo bersamamu…,” suara Indra terdengar geram.
“Tapi, tidak seharusnya kamu berhujan-hujanan begini. Ada perpustakaan, games centre, cafe, bar, atau apa sajalah yang bisa menghindarkanmu dari terpaan air hujan!”
“Aku sedang ingin menghukum diriku sendiri,” gumam Indra, lebih pada dirinya sendiri.
“Untuk apa?” Tasya mengernyitkan alis, tak mengerti.
“Untuk semua kesalahan yang telah kulakukan.”
“Maksudmu, kecanduanmu berjudi?”
“Ya, antara lain…”
“Kamu pikir apakah itu sebuah solusi? Apakah dengan melakukan hukuman itu, utangmu menjadi lunas?”
“Tidak juga…,” Indra menggelengkan kepalanya.
“Itulah!” potong Tasya, cepat.
Indra kehilangan kata-kata. Sejurus kemudian, dihelanya napas panjang sembari membaringkan tubuh. “Barangkali aku sedang putus asa,” gumamnya, memejamkan mata pelan-pelan.
Tasya mengambil selimut untuk menutupi tubuh Indra. “Kamu pernah mengatakan padaku, hanya aku yang mampu menolong diriku sendiri, sekarang sepertinya kalimat itu berbalik padamu,” katanya, tegas.
“Seperti bumerang, senjata makan tuan.” Indra tersenyum pahit.
Kecemburuan Virgo
Indra dan Tasya baru saja menyelesaikan makan malam dan sedang berjalan menikmati angin malam di dek 12, ketika terdengar suara musik di dance lounge mengalunkan lagu.
Coz there's something in the way you look at me
It's as if my heart knows you're the missing piece
You make me believe that there's nothing in this world I can't be
I'd never know what you see
But there's something in the way you look at me
“Lagunya bagus, berdansalah denganku,” pinta Tasya, perlahan.
“Aku tidak bisa berdansa,” jawab Indra, jujur.
“Ah, mudah, ikuti saja langkahku!”
“Nanti kakimu terinjak.” Indra menatapnya ragu.
Tasya tersenyum. “Ayolah, Indra,” katanya, sembari mengulurkan tangan. Akhirnya Indra menerima ajakan Tasya untuk berdansa. Suatu hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya!
Mereka melangkah ke tengah ruangan yang menjadi arena dansa. Tasya menuntun tangan kiri Indra untuk memeluk pinggangnya, sementara jemari yang lain saling berpegangan. Kemudian diayunkannya langkah mengikuti irama lagu.
Perlahan Indra mengikuti irama langkah gadis itu. Langkah ke depan, ke samping, ke belakang, ke samping, ke depan lagi. Mereka begitu dekat. Tasya seolah berada dalam pelukan Indra. Terasa tubuhnya begitu mungil, sehingga sesekali dahinya menyentuh dagu Indra. Dan, setiap kali itu pula tercium wangi yang samar dari helaian rambutnya, lembut membelai seirama hembusan angin.
“Kamu jenius, punya bakat berdansa,” bisik Tasya, menyimpan senyum.
“Tergantung siapa dulu pengajarnya,” sahut Indra, membalas senyum Tasya.
“Besok kapal singgah di Pandewa?” Tasya mengalihkan percakapan.
“Ya, ada waktu dua jam untuk berkeliling. Kamu mau ikut denganku?” ajak Indra.
“Kemana?”
“Geneva Hill’s, itu tempat yang sangat menarik! Sebuah bukit dengan sisa benteng Portugis di sekelilingnya, namanya Alferindo.”
“Hanya itu?” Tasya mengernyitkan alis.
“Ada juga Danau Wizard, dan Taman Century Flower…”
“Taman?” Tasya memotong cepat. Ia tampak mulai tertarik.
“Ya, taman itu dibangun di atas bukit. Sangat inspiratif! Sebagian dinding air mancurnya sudah berlapiskan lumut, bangku-bangkunya terbuat dari kayu tua berusia puluhan tahun,” Indra menghentikan ceritanya. Di depannya, Tasya terdiam. Tatapan matanya kosong, menampakkan kesunyian yang panjang.
“Hei, kamu melamun!” Indra menyentuh bahunya.
“Aku sudah lama ingin ke Danau Wizard (Danau yang punya legenda, kalau siapa pun yang mengucapkan permintaan di danau itu akan terkabul) itu,” bisik Tasya, nyaris tak terdengar. Cahaya matanya mendadak muram. Gerakannya yang semula bersemangat, menyusut perlahan.
Indra menyadari perubahan itu. Tapi, sebelum sempat bereaksi lebih jauh, Tasya sudah menyandarkan diri dalam pelukannya. Ia mendadak tampak begitu rapuh dan sendirian. Indra menghela napas panjang. Nalurinya mengatakan, gadis itu layak untuk dilindungi. Hati-hati kemudian diterimanya gadis itu dalam pelukannya.
Mendadak kemudian sebuah dorongan kasar merenggut gadis itu dari pelukannya. Dan, sebelum Indra sadar apa yang terjadi, sebuah pukulan keras menghantam rahangnya. Indra terhuyung beberapa langkah dan terjatuh. Jeritan tertahan terdengar memenuhi ruangan. Iringan musik terhenti tiba-tiba.
“Bangsat!” maki Virgo, tak terkendali. Dengan marah diburunya Indra.
“Virgo, apa yang kamu lakukan?” teriak Tasya, menghadang.
“Minggir!” hardik Virgo. “Seujung jari pun ia tidak berhak menyentuhmu!”
“Aku yang memintanya menemaniku berdansa,” bela Tasya, mencoba meredakan kemarahan Virgo.
Berpuluh pasang mata mengawasi insiden itu. Beberapa orang tampak membantu Indra untuk berdiri.
“Murahan! Benar-benar tidak pantas!” Virgo masih memaki.
Tasya terhenyak. Tidak disangkanya Virgo akan memakinya setajam itu.
“Aku membayarmu tidak untuk melakukan ini! Aku harus memberimu pelajaran!” Kemarahan Virgo tak terkendali. Dicengkeramnya leher Indra dan bersiap untuk menghujamkan pukulan kembali.
“Jangan!” Tasya berusaha melerai.
“Biar saja, biarkan dia melakukan apa yang dia mau,” jawab Indra datar, sembari menyeka darah di ujung bibirnya. “Anggap saja ini bagian akhir dari skenario itu, sehingga Beby bisa melihat apa yang terjadi dan kita tidak perlu berpura-pura lagi!”
Virgo terhenyak, mendadak seperti tersadar dari sesuatu. Dia mengedarkan pandangannya ke deretan ‘penonton’ di sekeliling ruangan. Tapi, sosok yang dicarinya tak ada. Selamat! Beby tidak berada di sana! Sesaat baru disadarinya, Beby tentu sudah tertidur pulas di dalam kamarnya, Junior suite balcony di dek 9. Di dalam kamar nyaman itu, bisa dipastikan Beby tidak akan bangun hingga besok pagi! Ya, mudah-mudahan begitu….
Menyadari dirinya menjadi tontonan banyak orang, Virgo menahan diri. Dilepaskannya cengkeramannya, lalu bergegas menyelamatkan diri. Ditariknya Tasya untuk mengikuti langkahnya. Untuk menghindari kericuhan muncul kembali, Tasya tidak membantah keinginan Virgo. Sebelum beranjak, diisyaratkannya pada Indra untuk tidak mengikuti langkahnya.
Tasya tidak sepenuhnya ingat apa yang terjadi sesudah itu. Yang tidak dilupakannya adalah bahwa Virgo marah besar dan ia harus menerima kemarahan itu tanpa syarat.
Menjelang dini hari, Tasya terbangun oleh ketukan keras di pintu kamar. Setengah sadar ditemukannya dirinya tertidur di sofa. Dengan mata mengantuk ditelitinya sekeliling ruangan. Kosong, tak ada orang lain. Di mana Virgo? Oh, tentu dia sudah kembali ke kamar istrinya! Entah jam berapa ia meninggalkan Tasya semalam. Lalu, Indra?
Ketukan terdengar lagi, lebih keras. Bergegas Tasya mengenakan kimono dan membuka pintu. Seorang petugas kapal menyambutnya dengan wajah cemas.
“Maaf Bu, terpaksa membangunkan Ibu dini hari begini, tapi suami Ibu…,” katanya terbata.
Suami? Tasya terkejut. Nyaris digelengkannya kepala membantah petugas itu dan menyangkanya salah kamar. Tapi, detik berikutnya ingatan tentang skenario kamuflase itu membuatnya mengurungkan bantahan.
“Ya, ada apa?” tanyanya kemudian. “Apa yang terjadi pada suami saya?”
“Hujan turun semalaman, tapi suami Ibu bersikeras tidak mau masuk ke kabin. Sejak insiden pemukulan itu, dia berada di Promenade, kehujanan sepanjang malam!”
“Di mana dia sekarang?” Tasya bertanya cemas. Dia baru menyadari semalaman Indra tidak kembali ke kamarnya.
“Medical centre….”
Di klinik, Tasya menemukan Indra menggigil kedinginan dalam balutan selimut handuk. Diulurkan tangannya, meraba dahi pria itu. Panas tinggi!
“Dokter sudah memeriksanya, Bu, tapi Bapak tidak mau minum obat,” petugas medis menjelaskan sembari menyerahkan sejumlah obat.
“Aku tidak sakit!” sergah Indra. “Aku cuma kedinginan….”
“Suhu badanmu tinggi, itu artinya kamu demam.”
“Tidak! Aku hanya….”
“Ssst, sudahlah,” Tasya menghentikan bantahan Indra. “Sakit itu sesuatu yang alami, bisa datang pada siapa saja, dan dalam situasi apa pun. Untuk apa kamu sibuk membantahnya?”
Indra terdiam. Dia tak membantah ketika Tasya memapahnya kembali ke kamar.
Di dalam kamar, Tasya mengulurkan obat dan botol air mineral. “Ayo, minumlah,” katanya lembut, tapi dengan nada tak terbantah. “Lalu buka bajumu….”
“Untuk apa?”
Tasya menunjukkan obat gosok yang dibawanya. “Punggungmu perlu dioles obat ini, supaya hangat, dan membuatmu bisa beristirahat.”
“Obat gosok itu?” Indra ragu-ragu .“Aku tidak pernah menggunakannya.”
“Lakukan saja apa yang kukatakan. Hasilnya bisa kamu lihat besok pagi!”
Indra tak mampu membantah lagi. Perlahan dibukanya baju dan menyediakan punggungnya dengan pasrah.
Tasya mengerjapkan mata mengamati punggung yang terbuka itu. Begitu bidang punggung Indra! Dengan otot bahu yang kokoh serta garis urat yang terlihat jelas, seakan menampakkan ketangguhan dan kekerasan menghadapi kehidupan. Ya, kehidupan keras macam apakah yang telah dijalaninya? Tasya mengusir beribu tanya dalam benaknya. Segera dioleskannya obat penghangat pada punggung Indra sembari dilakukannya sedikit pijatan pada bahu pria itu.
“Tidak kusangka, kamu pintar memijat! Nyaman sekali rasanya!” Indra memejamkan matanya.
“Anggap saja ini bonus dariku,” sahut Tasya, tersenyum, buru-buru menyelesaikan pijatannya. “Kalau boleh tahu, kebodohan apa yang sudah kamu lakukan semalaman? Mengapa tidak masuk kamar?”
“Ada Virgo bersamamu…,” suara Indra terdengar geram.
“Tapi, tidak seharusnya kamu berhujan-hujanan begini. Ada perpustakaan, games centre, cafe, bar, atau apa sajalah yang bisa menghindarkanmu dari terpaan air hujan!”
“Aku sedang ingin menghukum diriku sendiri,” gumam Indra, lebih pada dirinya sendiri.
“Untuk apa?” Tasya mengernyitkan alis, tak mengerti.
“Untuk semua kesalahan yang telah kulakukan.”
“Maksudmu, kecanduanmu berjudi?”
“Ya, antara lain…”
“Kamu pikir apakah itu sebuah solusi? Apakah dengan melakukan hukuman itu, utangmu menjadi lunas?”
“Tidak juga…,” Indra menggelengkan kepalanya.
“Itulah!” potong Tasya, cepat.
Indra kehilangan kata-kata. Sejurus kemudian, dihelanya napas panjang sembari membaringkan tubuh. “Barangkali aku sedang putus asa,” gumamnya, memejamkan mata pelan-pelan.
Tasya mengambil selimut untuk menutupi tubuh Indra. “Kamu pernah mengatakan padaku, hanya aku yang mampu menolong diriku sendiri, sekarang sepertinya kalimat itu berbalik padamu,” katanya, tegas.
“Seperti bumerang, senjata makan tuan.” Indra tersenyum pahit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar