Kamis, 22 April 2010

Yang Perlahan Bersemi (3)

Chapter 3
Pengakuan Aurel


Tangan Nayshila yang sedang memegang ‘Cuek-Cuek Cinta’ Ditta Wahab mendadak tak bertenaga. Novel yang baru dibacanya itu tergeletak di lantai yang berkarpet. Mata gadis itu membelalak kaget. Bibirnya menguak diliputi rasa tak percaya.

“Rel, kamu tidak sedang bercanda kan?” tanyanya galau.

“Tidak, aku memang pengirim misterius itu.”

“Oh, kenapa kamu melakukannya Rel? Kenapa?” Suara Nayshila pelan. Ada rasa malu menghantamnya. Ah, betapa tidak, selama ini dia berharap kalau Bima-lah si pengirim misterius itu. Pantas, Bima tidak mengaku karena memang bukan dia yang mengirim kartu itu. Tapi, dia telah memaksanya bahkan sampai menulis surat. O, betapa memalukan.

“Nayshila, sebelumnya maafkan aku. Aku pernah membaca diarymu,” kata Aurel sambil duduk di sisi adiknya. “Tapi, aku tidak sengaja. Aku menemukannya tergeletak di atas meja belajar kita. Kebetulan sekali, aku membaca halaman yang berisi rahasia hatimu.

“Di situ kamu menulis tentang perasaanmu pada Bima, tentang keingianmu mengungkapkan isi hati pada Bima. Tetapi, kamu bilang hal itu tidak mungkin karena kodratmu sebagai seorang wanita melarangnya. Semua perasaanmu kamu pendam rapat, dan akhirnya kamu merasa tersiksa didera rindu dan cinta,” Aurel berhenti beberapa jenak. Disentuhnya lengan Nayshila.

“Kalimat yang kamu tulis begitu menyentuhku,” Ujarnya. “Lalu, aku mencari akal untuk membantumu memecahkan problemmu. Aku tidak ingin melihatmu tersiksa lebih lama lagi. Maka suatu ketika aku menemukan cara yang kupikir jitu, mengirim kartu ultah dengan memakai nama Bima. Aku tahu kamu pasti akan mengucapkan terima kasih pada Bima setelah menerima kartu itu. Dan, aku berharap Bima akan tertarik padamu setelah melihat betapa cantiknya gadis yang tiba-tiba datang menyatakan terima kasih.”

“Kupikir sikap Bima yang dingin dan angkuh akan sirna, bila berhadapan denganmu. Tapi nyatanya …Hh, aku memang bodoh Nay,” Aurel menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa. “Aku terlalu ceroboh sehingga tidak memikirkan apa yang akan terjadi. Aku tidak menyangka kalau Bima … “

“Dia kenapa, Rel?” tanya Nayshila merasa heran dengan kalimat Aurel yang menggantung. “Kamu sudah memberikan surat itu? Apa katanya? O, semestinya aku tidak menulis surat itu, tapi .. kamu juga kan yang menyuruhku .. “

“Ya, ya aku telah melakukan kesalahan dua kali,” kilah Aurel. “Aku menyuruhmu menulis surat dengan maksud mengetuk hati Bima untuk yang kedua kalinya. Entah mengapa, aku merasa yakin dia pasti akan mengejarmu setelah membaca suratmu.”

“Dan ternyata tidak kan?” sembur Nayshila. “Oh, kamu hanya membuatku malu .. “ Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Aurel menghela napas sambil menyesali diri. Dipandanginya adik satu-satunya itu dengan sedih.

“Tapi dia tidak bilang apa-apa, Nay” katanya kemudian. “Dia cuma berpesan agar mengatakan padamu bahwa dia tidak pernah mengirim kartu itu. Jadi kamu tidak usah malu. Kamu toh, tidak menulis surat cinta.”

“Iya, tapi rasanya tidak enak ‘kan memaksa seseorang untuk mengakui suatu perbuatan yang ternyata tidak dilakukannya?”

“Sudahlah, nanti aku yang akan meminta maaf atas namamu karena menuduhnya tanpa bukti,” Aurel membelai rambut hitam Nayshila. Nayshila diam saja. Tanpa berkata apa-apa, dia bangkit dari duduknya melangkah masuk ke kamar.

Aurel memandang punggung adiknya. Maafkan aku, Nay, bisik hatinya. Aku terpaksa membohongimu karena aku tak ingin ada pisau menorah hatimu, bila kamu tahu apa saja yang dikatakan Bima. Yah, berbohong demi kebaikan adakalanya perlu juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar