Rabu, 21 April 2010

Dilema Yasmine (2)

Chapter 2
Menghapus Luka


Yasmine mengisi hari-hari buramnya di USA bersama Fabian. Tak mudah melalui waktu dua tahun di Amrik. Tak mudah menghapus duka dalam tempo waktu yang singkat, dua tahun itu waktu yang begitu singkat bagi Yasmine untuk menghapus luka. Dengan waktu yang singkat itulah Yasmine melakukan perubahan dan memandirikan sifatnya yang selalu menyusahkan Carissa dan Dewa.

Ia telah kembali seperti dahulu. Ia telah pergi dari luka lama. Ia dapat menikmati kembali dunia. Dapat merasakan diri tidak lagi dilanda pahitnya sakit hati. Yang lebih tepatnya untuk sebuah pengkianatan rasa, cinta.

“Kita jadi balik ke Indonesia, Yas?”

“Tentu, aku akan meleburkan rasa pengkianatan ini.”

“Kamu yakin?”

“Ya …”

Yasmine menyatukan hasratnya untuk kembali ke Indonesia. Gadis itu ingin dapat kembali menatap wajah seorang Dewa. Yasmine begitu rindu pada Carissa. Hanya dia seorang yang ia kenal secara akrab. Papa dan mamanya yang terlalu sibuk dengan perkerjaannya masing-masing tak lagi ia kenal. Semua bayangan Carissa mengiris batinya. Kembali pikirannya tertuju pada Carissa.

Seolah-olah hanya dia yang dapat menenangkan kembali jiwanya yang terlupakan. Benih cinta dari Dewa. Yasmine sungguh bodoh. Ia tak tahu kalau Carissa lah penyebab dari berubahnya perasaan Dewa yang sakit hati padanya.

Karena dialah, Carissa, Dewa menjadi bimbang dan memutuskan tali cinta itu. Tapi karena kebutaan itu telah menjadi bagian dari memori lama. Yasmine tidak akan pernah menguakannya kembali.

Bagian dari cerita yang tak akan pernah terkuakan(lagi). Tertimbun mati. Tatapanya sekarang kosong, mobil yang sedang dikemudikan Fabian menembus jantung kota Jakarta. Mata Yasmine sempat berkaca-kaca, namun sebuah kejadian ini membuatnya kehilangan akal sehatnya, betul-betul tidak bisa diterimanya dengan akal sehat.

Dia merasa pernah menjumpai lelaki itu. Bukan hanya menjumpai, akrab dan pernah memeluknya saat cinta bersemi kala itu. Saat cinta belum tersakiti. Saat cinta belum mengenal rasa pengkianatan.

Batin Yasmine bergejolak, terus berkecamuk. Jantungnya pun berdebar tak beraturan, darahnya mengalir cepat bagikan petir di siang hari. Tiba-tiba mobil itu berhenti tepat di depan sosok yang sejak tadi telah dilirik Yasmine dan Fabian. Fabian terbata, tentu ia juga pernah mengenalnya dalam sebuah ikatan persahabatan. Yasmine dan Fabian terdiam kaku. Tak dapat seulas suara merespon apa yang telah di lihatnya. Seorang lelaki tak waras duduk, tertawa sendiri, di depan jalan. Sesekali pria gila itu menangis lalu tertawa kembali.

“Dewa…..”

“Kamu masih sayang sama Dewa, Yas?”

“……..”

Yasmine tak membalas pertanyaan itu. Bukannya tak sanggup, tapi lidahnya kelu mengucapkan kata iya, ataupun sebuah anggukan, ia tak bisa lakukan. Tapi Yasmine membalasnya dengan sebuah anggukan yang bertanda mengiyakan, ketika ia kuatkan dirinya untuk menggerakan kepalanya.

“Walau dalam pengkhianatan cinta, Yas?”

“Tentu!”

“Kamu wanita terbaik yang pernah kutemui. Aku salut padamu. Seandainya Dewa tak hadir mengisi relung hatimu, aku siap…”

“Untuk apa?”

“Mencintaimu!”

“Benarkah?”

“Aku ingin kamu hadiahkan senyumanmu untukku, Yas. Hanya itu yang aku inginkan.”
Senyum manis melingkar dan menyabit di sisi bibir Yasmine. Sebuah senyum yang manis. Senyuman itu bukan lagi milik pria tak waras itu. Ia kembali menatap pria gila itu sinis. Untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu mobilnya melaju meninggalkan jejak langkah sang penghkianat cinta. Untuk sebuah rasa yang tertinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar