Sabtu, 24 April 2010

Candu Facebook (3)

Chapter 3
Facebook?? Ampun Deh…


Sudah hampir tiga minggu Olivia kecanduan dengan Facebook, dan selama itu pula beberapa kegiatan les yang biasa diikutinya tidak dihadirinya. Dimulai dari les Balet, les Bahasa Perancis, hingga ke les Piano. Hebatnya lagi, Olivia kini sudah pintar mencari-cari alasan untuk menghindari semua kegiatan tersebut jika ibunya menanyakan kabar semua kegiatannya. Alasannya antara lain; “Guru-guru les balet semuanya sedang ke Paris karena disana sedang ada festival pertunjukan Balet, sekolahnya diliburkan sampai bulan depan” atau “Guru pianonya sedang sakit karena jari-jarinya ketiban tangga sewaktu mencoba naik ke atas genteng, jadi beliau tidak bisa mengajar selama sebulan dan mereka tidak punya guru pengganti” dan masih banyak segudang alasan yang bisa diberikan kepada ibunya.

Bagi Olivia, bukan masalah lagi deh kalau harus ngasih alasan-alasan sederhana yang seperti itu. Yang terpenting dia bisa Facebook-an ria selama yang dia suka. Sejak sepulang sekolah, dia sudah nongkrong di warnet. Pulang ke rumahnya, sudah Facebook-an lagi dengan laptop. Jam tidur pun tidak bisa dilewatkan begitu saja, handphone ditangan pun jadi sasaran untuk ber-Facebook ria.

“Wueleh... wueleh... kamu bener-bener sudah nyandu ya dengan Facebook.” Suara Tiara tiba-tiba menyeruak di dekat telinga Olivia yang saat itu sedang duduk sendiri di kantin sekolah.

Olivia diam saja tak bergeming dari tempatnya.

“Ternyata kamu lebih gila dari aku, Liv. Sekarang gantian aku yang kamu cu-ek in.” ujar Tiara cemberut sambil menepuk halus pundak Olivia yang saat itu sedang asik mengutak atik handphonenya.

Olivia menoleh pada Tiara dan tersenyum, “ Sorry ya, Sis. Soalnya Facebook ini bikin aku penasaran terus setiap waktu. Selalu aja ada kabar atau gosip terbaru dari temen-temen. And yang pasti aku jadi bisa tahu dong kegiatan Arya dan dengan siapa saat ini Arya berhubungan.”

“Hmm... Arya ya?” Tiara termenung sesaat.

“Ada apa? Ada yang salah dengan Arya?” tanya Olivia curiga.

“Eeh, enggak! Aku cuma bingung. Kata kamu Arya sudah jadi pacarmu, tapi kok aku sering melihat dia jalan dengan Rossa? Kamu lagi marahan dengannya ya?” desak Tiara.

Wajah Olivia berubah pucat. Tampak sekali dia agak kurang suka mendengar kabar yang satu ini.

Memang beberapa minggu ini sejak Olivia mengenal Facebook, Olivia tidak pernah terlihat bersama-sama lagi dengan Arya. Padahal Arya sudah berulang kali mencoba menghubunginya – setiap Arya menghubunginya pada saat itu pula Olivia selalu sedang berkonsentrasi dengan Facebook-nya – selalu ditanggapi Olivia dengan nada yang datar-datar saja. Beberapa kali pula Arya mencoba mengajaknya pergi ke suatu tempat, tetapi Olivia selalu menolaknya dengan halus. Saat itu Olivia lebih memilih Facebook dibandingkan Arya.

“Olivia, kamu kenapa sih enggak mau jalan lagi denganku?” tanya Arya suatu kali.

“Duh, bukannya aku gak mau jalan sama kamu Arya. Aku cuma lagi malas pergi kemana-mana karena baru datang tamu di hari pertama nih!” jawabnya segan.

“Mungkin besok aku bisa menemani kamu pergi. Bagaimana?” pinta Olivia dengan sedikit memberi harapan pada Arya.

“Baiklah! Besok, aku tunggu disini, di warung Mie Ayam ‘Pak Kumis’. Tapi kamu jangan sampai lupa ya, Liv.” Arya tersenyum senang karena merasa mendapat harapan dari Olivia.

“Pasti dong!” jawab Olivia mantap sambil mengacungkan jempol.

Ternyata harapan tinggal harapan, Arya sudah terlalu lama menunggu kedatangan Olivia di warung Mie Ayam ‘Pak Kumis’. Dengan langkah gontai dia meninggalkan warung tersebut dengan perasaan kecewa, sedangkan Olivia sudah lupa dengan janjinya pada Arya dan tetap asik ber-Facebook ria dengan Tiara.

Sejak saat itu Arya tak pernah lagi mencoba menghubungi ataupun mengajak Olivia pergi. Arya pun kadang berkomentar biasa-biasa saja jika Olivia ber say hello padanya di Facebook.

Suara Tiara membuyarkan lamunan Olivia, “Sis, jangan terlalu memilih Facebook, dong? Bisa-bisa Arya kabur dengan cewek lain loh! Memangnya kamu sudah siap kehilangan dia?”

“Aku enggak kehilangan dia kok. Aku masih tetap berhubungan dengannya. Tuh lihat, aku selalu kontak dengannya melalui Facebook ini. Kamu lihat kan? Aku selalu memberikan komentar untuknya,” ujar Olivia miris seraya menodongkan handphone nya pada Tiara agar Tiara bisa melihat apa yang dia lakukan pada Arya.

“Aku sih percaya kalau kamu masih berhubungan dengannya, liv. Tapi, orang lain tanggapannya berbeda. Mereka pikir kamu sudah tidak ada hubungan lagi dengan Arya, dan Arya sekarang sedang jadi sasaran empuk cewek-cewek yang selalu mengincar dia sejak dulu. Arya kan cowok paling ganteng di sekolah kita, and pintar juga. Sudah pasti banyak yang suka sama dia. Enggak ada deh orang yang pantas bersama dia kecuali kamu. Karena kalian tuh pasangan ideal di sekolah bagiku,” celoteh Tiara tanpa henti. Dia ingin Olivia benar-benar mengerti akan maksud ucapannya.

Olivia hanya duduk terdiam menunduk dan memandangi handphone yang sedang dipegangnya. Tak terasa setetes air terjatuh mengenai handphone tersebut.

“Kalau kamu tidak menginginkannya, banyak yang akan mencoba mengambilnya darimu mungkin termasuk aku. Aku tahu Arya sudah terlalu baik buatmu, masa hanya dengan website seperti itu Arya bisa tergantikan dari sisimu,” ujarnya lagi.

Olivia tergugu (Susah bicara karena bingung/takut) dan meradang. Matanya mulai banjir dengan air mata.

Arya memang terlalu baik untuk Olivia. Olivia mencoba mengingat kembali pada saat itu dia sedang sakit cacar dan tidak bisa masuk sekolah selama beberapa hari. Padahal sebentar lagi akan ada ujian semester. Satu-satunya teman yang selalu memberi perhatian padanya hanya Tiara dan Arya.

Olivia baru mengenal Arya di kelas dua. Mereka masuk dikelas yang sama, jurusan IPA. Sejak awal masuk kelas itu Arya sudah menunjukkan perhatiannya pada Olivia. Apalagi disaat sakit seperti ini, dia lebih antusias lagi menunjukkan perhatiannya. Selama Olivia sakit, Arya selalu membawakan buku catatan pelajaran serta PR yang diberikan hari ini dari sekolah untuk Olivia. Dia berharap Olivia tidak akan ketinggalan pelajaran karena sudah mendekati ujian.

“Arya, kamu enggak perlu meminjamkan buku catatanmu untukku dong. Nanti kamu belajarnya dari mana jika buku ini ada bersamaku?”

“Tenang saja. Aku sudah menyiapkan copy-nya kok! Jadi kamu enggak usah khawatir ya?” jawab Arya santai.

Olivia tersenyum malu. Arya baik sekali mau menemaninya disaat seperti ini. Padahal tubuhnya penuh dengan cacar, dan Olivia sendiri takut melihat wajahnya di kaca. “Seperti monster, “ pekiknya dalam hati.

Kondisi Olivia saat itu benar-benar membuatnya sangat minder karena harus berhadapan dengan Arya dan Olivia juga takut Arya akan tertular penyakitnya ini. Akan tetapi Arya tampaknya tidak memperdulikan hal tersebut. Arya terkesan tidak merasa jijik dengan cacar yang menempel di tubuh Olivia.

Disaat orang lain menjauhi dirinya, justru Arya berusaha mendekatinya. Disaat orang lain membuang muka darinya, Arya menatapnya dengan penuh sayang. Disaat orang lain mencemooh penyakitnya, Arya memberinya kekuatan untuk menghadapi penyakit tersebut. Sungguh hal ini membuat Olivia menjadi terharu, karena Arya telah bersedia menemaninya disaat susah dan itu adalah perhatian yang tidak bisa dibayar dengan apapun.

“Sekarang waktunya minum obat, Non.” Celetuk Arya sambil menyodorkan beberapa pil untuk diminum Olivia.

Dada Olivia semakin terasa sesak karena mengingat kejadian tersebut. Olivia termenung lama sekali dan air mata masih membasahi pipinya.

“Aku... aku... tidak bermaksud menggantikan Arya dengan website ini, Ra. Aku tidak tahu mengapa hal ini bisa begitu menyita semua perhatianku. Aku sepertinya tidak sanggup untuk berhenti. Sudah kucoba menahan semua keinginan terbesarku untuk membuka Facebook, tetapi tetap saja aku selalu kalah dengan keinginan ini,” ujarnya menyesal.

“Aku tahu, kamu tidak akan pernah mencoba menggantikan Arya dengan yang lain Liv. Konsentrasimu hanya terfokus pada candu Facebook ini saja.” Tiara mengusap pundak sahabat karibnya.

“Sekarang aku harus bagaimana? Arya mungkin sudah tidak mau menemuiku lagi.” Katanya sedih.

“Yah, kita berusaha dulu. Jangan cepat mengambil kesimpulan negatif dulu dong. Tetap optimis, Sis! Oke?” Tiara mengepalkan tinjunya ke udara.

“Oke!”

Keduanya tersenyum riang dan saling berpelukan.

“Satu lagi yang ingin aku ceritain ke kamu, Ra.” ujar Olivia tiba-tiba.

“Apa lagi?”

“Aku kena marah ibuku gara-gara Facebook juga,” kata Olivia malu.

“Wah, itu sudah pasti. Aku sudah bisa menebaknya kok! Terus bagaimana ceritanya?” tanya Tiara antusias.

“Seluruh guru lesku menelpon ke rumah. Sialnya, yang menerima telepon mereka itu adalah ibuku. Ibuku marah hebat ketika menerima laporan ketidak hadiranku dari mereka, apalagi setelah tahu tagihan telepon membengkak – karena sering internetan – termasuk tagihan handphoneku.”

“Lalu?” selidik Tiara penasaran.

Dengan wajah lesu Olivia menimbang-nimbang Handphone ditangannya. “Pulsaku dibatasi, uang jajanku pun dibatasi, dan Pak Cipto-supirku sekaligus menjadi bodyguardku deh.”

“Haa... Bodyguard? Yang bener, akh!” seru Tiara kaget tak percaya.

“Bodyguard untuk apa?” tanyanya kemudian setelah kagetnya hilang.

“Bodyguard untuk menjagaku supaya tidak bolos les lagi,” seru Olivia kesal.

“Ha ha ha, sudah nasibmu kali ya? Terima and pasrah saja deh. Itu juga kan gara-gara ulahmu sendiri.”

“Daripada Pak Cipto yang jadi Bodyguardnya, lebih baik Arya saja yang menjadi bodyguardku,” gerutu Olivia.

Tiara terkikik geli karena melihat ulah Olivia. “Pak Cipto tuh sudah tua, Sis. Kamu pergi dengan berlari kemana pun dia gak akan bisa ngikutin kamu. Napasnya pasti sudah ngos-ngosan sebelum sampai sepuluh langkah mengejarmu. So, ga ada masalah dong kalau dia jadi bodyguardmu. Toh, kamu tetep bisa kabur dari les.”

Perkataan Tiara seperti membuahkan ide baru ke otak Olivia.“Hei, bener juga tuh omonganmu!”

Tapi Olivia kemudian berpikir ulang kembali. “Akh, tapi enggak deh. Aku takut dosa sama orang tua. Hei, lebih baik kita cari Arya sekarang. Kamu mau kan menemaniku mencarinya?” pinta Olivia dengan wajah memohon.

“Dengan sepenuh hatiku, Sis.” Tiara pun merangkul bahu Olivia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar