Kamis, 22 April 2010

Yang Perlahan Bersemi (1)

Chapter 1
Kartu Ucapan Bima


Nayshila, seorang gadis manis berjalan menghampiri Bima yang tengah menikmati belaian angin pagi. Waktu itu, sekolah masih sepi. Hanya ada satu dua anak yang sudah datang. Bima duduk di bangku kayu yang terletak di depan kantin, seperti hari-hari yang lalu. Itu memang salah satu kebiasaannya, selain datang pagi-pagi sekali ke sekolah. Cowok cool itu memang sangat menyukai udara pagi yang belum diusik polusi.

“Bima … ,” tegur Nayshila yang kini sudah berdiri di hadapannya.

“Ya?” Dengan gayanya yang tak acuh. Bima menatap Nayshila. Sepasang mata bening balas menatapnya. Tapi tak lama, mata itu mengarah ke lantai. Sekilas, Bima seperti melihat rona merah di sejoli pipi si gadis. Namun dia tak merasakan adanya suatu keanehan. Padahal, mestinya dia bertanya dalam hati, apa makna rona merah yang mendadak muncul itu? Atau, paling tidak dia merasa senang karena bukankah itu berarti ada apa-apanya? Ya, barangkali saja semacam perasaan malu, atau lebih dari itu.

Tapi, dasar Bima! Dia terlalu angkuh. Dingin dan tak peduli terhadap mahluk yang bernama cewek. Bahkan, terhadap teman sejenisnya pun dia jarang bergaul. Entah mengapa, dia lebih suka menyendiri. Tidak seperti cowok-cowok lain yang suka bergerombol di kantin sambil melahap mie ayam, dan sesekali terbahak karena mendengar lelucon lucu. Dia juga tidak suka memamerkan kekayaan papanya yang pengusaha sukses. Padahal, di SMA tempatnya bersekolah masing-masing siswa saling adu kekayaan meskipun tidak terang-terangan.

Dan, yang membuat Bima lain dari yang lain ialah… Dia tidak pernah memedulikan teman-teman putrinya. Jadi, tidak heran bila anak-anak putri di sekolahnya enggan mengajak Bima bercakap-cakap. Meski, pada mulanya ada juga satu dua yang menunjukkan keinginan untuk bersahabat dengan Bima. Tetapi, satu persatu mereka mundur melihat sikap Bima yang sedingin salju kutub. Maka, adalah sesuatu yang langka bila pagi ini Bima ditegur seorang gadis.

“Bima … ,” suara halus Nayshila terdengar lagi. Matanya kini mulai berani menatap mata Bima.

“Ya?” Kali ini Bima tidak menatapnya. Dia lebih tertarik memperhatikan seekor lalat yang hinggap di pahanya yang berbalut celana panjang abu-abu. Reflek, Bima menepis lalat itu. Sang lalat terbang menjauh ketakutan.

“Bima … aku ingin mengucapkan terima kasih …” Suara halus itu berkata pelan. Bima menatapnya lagi.

“Terima kasih?” Katanya dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”

“Kartu ini,” Tangan Nayshila merogoh saku roknya dan sebuah kartu mungil diberikannya pada Bima. “Dari mana kamu tahu tanggal lahirku, Bim?” tanyanya. Bima memerhatikan kartu warna merah muda itu yang bergambar seikat mawar putih. Ketika mata Bima menangkap kalimat yang tertera di bagian dalam, dia terkesiap. Apa-apan ini? Ditelitinya kalimat yang di ketik itu.

“Hari terindah bagi seorang gadis adalah saat dia berulang tahun yang ke 17, tapi … adakah sesuatu yang indah menggayut di kalbumu saat kau menerima kartu ini, Nay?”

Dari sepotong hati
Bima


“Aku tidak pernah mengirim kartu ini,” cetus Bima dingin. Dikembalikannya kartu itu.

“Oh ... , “ Nayshila terkejut. “Kamu tidak bohong, Bim?” Dia meneliti mata Bima.

Bima mendengus kesal, “Untuk apa membohongimu?!” Katanya balik bertanya.

Nayshila bingung, “Jadi … siapa ya yang mengirim kartu ini?” tanyanya pada diri sendiri, namun dari nada bicaranya dia bertanya pada Bima.

“Mana aku tahu,”Bima mengangkat bahu. Mata bening Nayshila menatapnya. Ada pendar luka di sana. Bima sempat tersentuh melihatnya, tapi tak lama. Sikap tak acuhnya timbul kembali. Lalu … tahu-tahu saja, Nayshila telah berlari dari hadapan Bima dengan hati yang … terluka.

Kartu mungil itu tergeletak di atas meja belajar. Nayshila menatapnya lama-lama dengan benak penuh tanya. Siapa yang telah mengirimkan dirimu padaku, kartu manis? Siapa? Andai, kau bisa bicara, maukah kau mengatakannya? Ya, aku yakin kau pasti mau. Kau tentu tidak ingin melihatku penasaran seperti ini, bukan?

Perlahan, Nayshila meraih kartu itu, menyimpannya dalam laci meja lalu beranjak dari duduknya. Gadis itu berjalan menuju jendela. Angin malam menyentuhnya lembut. Ditatapnya langit yang tak berbintang. Ada bayang Bima di sana. Oh, betapa bekunya tatapan mata elang itu. Nasyhila mendesah menyibak bayang samar Bima.

“Belum tidur, Nay?” Pintu kamar terbuka. Nayshila tersentak. Dilihatnya Aurel melangkah masuk dengan tangan memegang sebuah majalah. “Kaget?” tanya Aurel tertawa. “Habis melamun ya?” lanjutnya sambil merebahkan tubuh jangkungnya ke ranjang.

“Aku sedang bingung,” Nasyhila duduk di bibir ranjang. Diraihnya guling dan memeluknya.

“Masih soal kemarin itu?” Aurel membolak-balik majalahnya.

“Ya, “ Angguk Nayshila, “Aku penasaran sekali. Siapa sih yang telah memakai nama Bima untuk mengirim kartu itu padaku?.”

Aurel berhenti membalik majalah. Seolah tidak mendengar ucapan Nayshila, dia mulai membaca.

“Kira-kira siapa ya, Rel?” Nayshila melempar guling ke samping Aurel. “Bantu aku dong menebak si pengirim misterius itu,” pintanya seperti memaksa.

“Aku sih mau saja membantumu,” Aurel meletakkan majalahnya, “Cuma, gimana caranya?”

“Aku sendiri tidak tahu. Otakku buntu sekali,” Nayshila mengeluh.

“Nah, kalau begitu cuek aja lah.”

“Mana bisa … aku hampir nggak bisa tidur gara-gara mikirin soal ini.”

“Aku tahu kamu sudah jatuh cinta pada pengirim misterius itu. Ya kan?”

“Jatuh cinta?” Nayshila tertawa. “Kamu pikir aku sinting, Rel? Masa mencintai orang yang tidak kukenal sama sekali.”

“Lha, habis kamu penasaran banget.”

Aku memang penasaran sekali, batin Nayshila. Karena nama yang tertera di kartu itu … Bima. Ah, kenapa mesti dia? Mengapa tidak memakai nama lain? Sepertinya pengirim gelap itu tahu apa yang selama ini mengusik hatiku. Tapi, bukankah rahasia itu hanya aku dan Tuhan yang tahu? Bukankah aku tidak pernah mengatakannya pada orang lain. Atau, memang Bima yang mengirim kartu itu tapi tidak mau mengakuinya karena malu. Uh, kalau benar demikikan … alangkah pengecutnya dia. Padahal, seandainya dia mau mengaku, aku pasti tidak akan marah. Tapi, rasanya bukan Bima. Dia terlalu angkuh untuk mengirimi seorang gadis sebuah kartu ulang tahun. Ya, ya pasti ada orang lain yang telah sengaja menulis nama Bima untuk menyembunyikan identitasnya. Hhh, aku tidak mengerti apa maksud orang itu?

“Sudah Nay?”

“Eh, apa?” Nayshila bertanya terkejut.

“Sudah selesai melamunnya?” Aurel tersenyum nakal.

“Aku tidak melamun, cuma berpikir.“

“He, memangnya matematika?”

“Aku serius Rel … “

“Aku juga,” kilah Aurel, “Sudahlah aku ada usul nih. Bagaimana kalau kamu tulis surat pada Bima meminta kejujurannya?”

“Kamu yakin dia, Rel?”

“Ya, delapan puluh lima persen!”

“Tidak, aku tidak kuat menghadapi sikapnya yang dingin, Rel … “

“Tapi cuma itu satu-satunya cara agar dia mau mengaku.”

“Kalau ternyata bukan dia?”

“Sudah kubilang delapan puluh lima persen pasti di … “

“Oke, oke … “Nayshila merebahkan tubuhnya di samping Aurel, “Akan kucoba saranmu,” Katanya seraya memejamkan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar