Kamis, 22 April 2010

Maka Biarkan Aku Menangis (2)

Chapter 2
Hati Yang Terluka


Satu setengah bulan ini aku mencoba melupakan Alvian. Mencari kesibukan di organisasi atau memfokuskan diri untuk membuat sebuah karya tulis yang bisa menghasilkan uang. Tapi begitu sulit membuang bayangan Alvian jauh-jauh.

Tiba-tiba selembar fotoku yang sedang berdua dengan Alvian terjatuh dari salah satu koleksi album fotoku, ketika aku mencari-cari sebuah buku untuk kujadikan bahan tulisanku. Aku terduduk lesu di pinggir kasur. Menatap dua pasang senyum yang merekah itu. Senyumku dan senyum Alvian.

"Al, boleh minta foto berdua?" pintaku ketika itu.

Setelah Alvian bertanding sepak bola di sebuah event.

Tidak ada jawaban. Alvian hanya memandangku tanpa kesan. Ia melengos.

"Alvian? Halo? Boleh minta foto berdua?" ulangku.

"Ayo... deh, Al... foto dong! Kasihan Aira udah beli kamera baru cuma buat motoin elo seorang!" serta merta Rizal mendorong bahu Alvian agar bisa berdiri sejajar denganku. Ia hanya tersenyum tipis. Nyaris tanpa lengkungan.

"Sini, Ra, biar gue ambil foto lo berdua," Rizal mengambil kamera yang sebelumnya kugenggam erat. Aku tersenyum senang. Berdiri di samping Alvian. Merasakan napas Alvian yang lelah setelah bermain bola. Degup jantungku memburu cepat. Aku harap aku bisa berada di samping Alvian selamanya.

"Al... senyum dong! Ngga asik lo kalo jutek kayak gitu!" tegas Rizal. Dia belum juga mengambil gambar kami berdua sampai Alvian benar-benar senyum lebar. "Nah... gitu dong, bro! Kan bagus tuh! Senyumm....."

Blassh!

Indah. Seindah hasil di foto itu. Kenangan indah bagiku bersama Alvian yang mungkin hanya dianggap angin lalu saja oleh dia. Alvian selalu saja bersikap dingin dan tidak ramah kepadaku. Karena dia tahu kalau aku jatuh cinta kepadanya. Segala perhatianku tidak dia gubris. Segala pemberianku hanya diletakkan saja di ruang tamunya. Tanpa disentuhnya sama sekali. Setiap sms yang aku kirim selalu hanya dijawab dengan 'iya' atau 'tidak'. Dan setiap kali aku meneleponnya ia selalu diam saja sambil terus menghela napas. Membiarkan aku mengoceh terus sampai lelah. Kenapa sih, Al? Apa aku salah kalau mencintaimu? Kenapa sikapmu seperti itu padaku?

Tanpa aku sadari air mataku menetesi foto itu. Bergegas aku mengelapnya dengan kaos yang aku kenakan. Aku tak mau foto itu rusak. Karena selama ini foto itu selalu baik-baik saja. Tapi ternyata kristal bening terus saja mengaliri pipiku. Seolah tak mau berhenti bahkan aku samapi tersedu. Dadaku sesak hingga susah mengambil napas. Oh... aku menjadi begitu melankolis.

"Ra! Kenapa lo?" itu adalah suara Sheila, teman baikku sejak kecil.

Ia sudah biasa keluar masuk kamarku. Kami memang bertetangga.

"Ra? Kok elo nangis sih?" Sheila melirik ke arah foto yang aku pegang, "oh... nangisin Alvian? Yaelah, Ra, hari geeniii getoh nangisin cowok. Gue aja yang udah jomblo setahun masih santai-santai aja tuh. Udah deh ngga usah nangis. Cengeng lo!"

"Kenapa sih elo sama Rizal ngga suka banget liat gue nangis? Gue kan cuma mau mencurahkan isi hati gue, mau keluarin semua beban dan kesedihan gue lewat air mata!"

"Tapi, Ra, mengeluarkan masalah di hati bukan harus selalu dengan tangis," Sheila duduk di sampingku. Merangkul bahuku hangat. "Terkadang kita butuh ketawa lebih banyak, Ra. Biar kita tahu kalau ketawa itu bikin bahagia. Meskipun tawa itu berdiri di atas duka. Air mata cuma bikin elo rapuh...."

Aku menyingkirkan tangan Sheila dari bahuku. Mengelap air mata di pipiku. Menarik ingus yang turun mengalir di hidungku. Pasti aku terlihat sangat jelek.

"Kalau nangis sekali-sekali, ngga apa-apa dong," lagi-lagi aku membela diri.

Sheila tergelak.

"Masalahnya elo nangisnya ngga sekali-sekali. Setiap kali gue ke sini pasti elo selalu nangisin Alvian. Basi lo!"

"Gue cuma mau Alvian tahu kalau gue benar-benar cinta sama dia, air mata ini jadi saksi," ujarku setengah terisak.

"Aira jangan bodoh! Alvian mana peduli sama elo. Dia cuma setia sama pacarnya, Melati. Berkali-kali elo nangis pun ngga berguna, Alvian mana tahu kalau elo selalu nangisin dia. Kecuali kalau elo nangis di depan dia mungkin dia bakalan ngerti tentang patah hati elo itu."

Aku mendorong bahu Sheila kesal dan berdiri. Meninggalkan dirinya di kamar sendirian.

"Biarkan gue menangis!"

"Ra... mau kemana lo?"

"Mau cari Alvian! Gue mau nangis di depan dia... gue mau kasih lihat air mata ini di depan matanya sampai dia mau mengerti kalau gue cinta sama dia!"

"Eh... gila lo! Serius, Ra?!"

Aku berlari keluar kamar. Melewati ruang tamu dan keluar rumah. Ternyata di luar sudah hujan deras. Tapi aku tidak peduli. Aku kesal dengan omongan Sheila, kesal dengan omongan Rizal. Kenapa aku tidak boleh menangisi orang yang aku cintai?! Aku berlari melawan deras hujan. Ke arah rumah Alvian yang hanya berbeda beberapa blok dari tempat tinggalku. Di sudut mataku aku melihat Sheila yang tergopoh menyusul. Ia memakai payung, kepayahan berlari mengejarku.

"Aira... nanti elo sakit kalau hujan-hujanan!"

Aku terus saja berlari. Sambil menangis. Membayangkan segala keangkuhan wajah Alvian. Wajah yang tak pernah tersenyum tulus kepadaku. Wajah yang selalu tegas dalam berkata-kata. Seolah dialah pria paling kuat di jagat raya ini. Wajah yang membuat aku ingin selalu memandangnya.

Aku terus saja berlari. Biarkan aku menangis bebas seperti ini dengan ditemani air hujan dari atas langit. Aku menengadah. Merentangkan kedua tanganku ke samping. Menikmati kucuran air yang menampar-nampar wajahku. Setelah itu aku berlari kembali. tepat di depan rumah Alvian aku berhenti. Di depan pintu gerbang. Tangisanku semakin deras kontras dengan volume hujan yang mulai berkurang.

Belum saja aku membuka mulut hendak memanggil Alvian. Seseorang sudah terlebih dahulu menepuk pundakku dari belakang. Jantungku berdetak cepat. Aku berbalik badan.

Wajah itu... wajah tercintaku... berdiri di depan mataku! Air hujan perlahan berhenti. Dan mendung sedikit demi sedikit menyingkir membiarkan sinar masuk sejenak untuk memantulkan wajah tercintaku itu. Wajah seorang Alvian.

"Kenapa, Al? ... kenapa menangis?" ujarku gugup.

Mata tajam itu. Mata yang selalu menyorot tanpa keramahan itu kini terlihat merah. Aku bisa melihat ada butir-butir air mata menetes di pipinya. Aku bisa melihat jelas bahwa air di pipinya itu bukan air hujan. Tapi air mata! Yang masih saja keluar perlahan-lahan dari ujung matanya.

Apakah dia juga menangisiku seperti halnya aku menangisi dia?

Melihat aku memandanginya dengan heran. Alvian segera menghapus air matanya. Ia memalingkan wajah malu.

"Melati... selingkuh dengan cowok lain..." desisnya pelan.

Dug! Dia menangisi Melati?

"Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar mencintainya, Ra? Apa dia tidak tahu kalau aku benar-benar mencintainya... mencintai Melati!" kalimat-kalimat itu meluncur cepat dari mulut Alvian. Meruntuhkan segala harapan kalau-kalau saja Alvian juga mencintaiku.

Aku menggenggam tangan kananku erat. Menahan sakit hati yang sangat. Aku sadari ada sesuatu yang sedari tadi aku genggam. Ternyata selembar fotoku bersama dengan Apri. Foto yang selalu aku jaga dari basah dan rusak kini harus berantakan terkena air hujan. Dengan menggigil dingin aku membuka lembaran foto yang sudah lusuh tergenggam. Aku memandangi gambarnya yang sudah luntur. Seiring cintaku yang diiris-iris oleh luka.

"Al?" tak lama kemudian sosok Sheila hadir di antara kami. Dengan payungnya yang lumayan besar ia mencoba melindungi kami dari sisa-sisa hujan.

"Al? Kenapa elo nangis?" Lanjutnya.

"Jangan komentar, biarkan gue menangis. Gue juga manusia," jawab Alvian dingin. Dia membuka pintu gerbang rumahnya dan menutupnya cepat. Tanpa rasa bersalah masuk ke dalam rumah.

Meninggalkan aku dan Sheila basah kuyup oleh hujan.

"Bagaimana melarang hujan turun ketika ada awan? Bagaimana melarang daun jatuh ketika ada angin? Bagaimana melarang aku jatuh cinta ketika ada engkau?"

Kukulum kata-kata terakhir itu dalam sepi. Karena Alvian tak pernah mempersilahkan aku untuk mengatakan di depannya.

Maka biarkan aku menangis.... untuk kemudian menciptakan tegar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar