Rabu, 21 April 2010

Dilema Yasmine (1)

Chapter 1
Luka Ini…


Yasmine meneruskan langkah tak berartinya dengan bantuan tongkat. Kebutaan yang di alaminya membuat ia harus meraba-raba ketika ia hendak berjalan. Terkadang ia harus merasakan sakitnya rasa sakit itu sendiri.

Setidaknya hanya lamunan yang terus mengusik pikirannya. Seolah kebutaan ini hal besar yang selalu mengganggu, benar-benar selalu berkecamuk di benaknya. Yasmine kembali ke depan teras untuk menemani Dewa yang telah menunggunya untuk menghadiri pesta ulang tahun temannya bersama dirinya. Memang sebuah kenyataan yang pahit didapatkannya, ketika mengetahui seseorang yang buta seperti dirinya harus datang ke pesta, betapa susah dan merepotkan. Yasmine berjalan terbata.

“Kamu ini lelet banget sih, benar-benar merepotkan!”

Yasmine mengerenyitkan dahinya pada Dewa, sebuah kalimat yang sebetulnya tak pantas diucapkan Dewa, kekasihnya, atas keadaan dirinya. Ia tak mengerti.

Ia kembali berjalan gontai dalam hati yang gusar. Ia menghadap ke arah Dewa, yang sedari tadi termenung. Terpaku. Lamunannya pun buyar ketika Yasmine mendekat. Ia kalut, tak berkutik. Ia tak mampu mengobati rasa Yasmine yang… entahlah.

Andai saja Yasmine bisa melihat pasti ia akan tahu kalu Carissa, adik Yasmine, menduai kakaknya. Perasaan Carissa pada Dewa lebih dari cinta Dewa kepada Yasmine. Carissa juga asyik dengan tatapan beku dan sayunya. Sesekali ia terjaga dan balik memandang Yasmine. Yasmine tak tahu semua kebohongan yang di alamatkan padanya. Yasmine meneruskan langkah-langkah kecilnya dengan bantuan tongkat yang selalu setia menemaninya.

Dewa memanfaatkan kesempatan besar ini untuk menduakan Yasmine. Sebelum Yasmine kehilangan kornea matanya ia sampai bertekuk lutut untuk mendapatkan secuil cinta Yasmine untuknya. Begitu juga dengan adiknya menggunakan kesempatan ini agar dapat memiliki Dewa, seolah menambah kemelut yang terus dipikul Yasmine.

“Ambil minum dong Yas, aku haus nih!”

“…”

“Kenapa? Kamu nggak bisa, gimana mau jadi pendampingku nanti.”

Yasmine sejenak terdiam. Ia tak mampu melepaskan cinta matinya pada Dewa. Dewa di anggapnya pria sempurna dan terbaik untuknya. Ia juga menganggap Dewa adalah pengisi singgasana cintanya yang telah lama kosong.

Yasmine perempuan lemah yang patut di sayangi. Kecelakkan pesawat yang dialaminya bulan lalu adalah mimpi terburuk yang pernah ia rasakan sepanjang usianya.
Yasmine buta total. Hari penuh kecerianya tak lagi terkuak. Hanya ada kelam, hitam yang betul-betul legam ketika ia memandang.

Ia berjalan meraba-raba dengan tongkatnya, mengambilkan sebotol minuman kaleng di dapur rumahnya. Yasmine masih memberikan bukti kalu ia masih sayang pada Dewa. Sampai kapanpun. Mungkin sampai akhir hayatnya.

Di teras rumah, Carissa mendekat ke pangkuan Dewa. Dipandangnya lekat pria itu dan di dekapnya erat, kuat. Carissa tak mau mengorbankan sedikit cinta Dewa pada kakaknya. Carissa benar-benar keterlaluan.

Saat Yasmine dapat memandang dunia, cinta Dewa hanya untuk Yasmine. Bukanlah seorang Carissa. Carissa memandang kakaknya begitu lemah. Gadis buta yang serba menyusahkan. Ia memanfaatkan kesempatan besar ini untuk mendapatkan ketulusan cinta Dewa padanya. Dewa dan Carissa memang pengkhianat. Keduanya terdiam setelah Yasmine kembali.

Carissa tak menghindar ketika Yasmine datang. Carissa malah asyik duduk berduaan dengan Dewa. Apapun yang dilakukannya pasti tak akan dapat di lihat oleh Yasmine, kakaknya.

“Kita putus aja, Yas!”

“Kenapa?”

Sejenak hanya ada diam. Sepi. Sangat sepi. Tak ada kata yang mengalir.

“Kamu benci setelah aku mengalami kebutaan ini? Belakangan ini kamu banyak berubah, Wa.”

“……”

“Saat mataku masih normal kamu ….”

“Memang, dulu bukanlah sekarang... dan jangan kamu hubung-hubungkan antara dulu dengan sekarang..!”

Setetes air dari kelopak mata Yasmine jatuh begitu saja. Matanya berkaca-kaca. Barangkali nanti akan sembab. Carissa tertawa geli melihat kakanya di sakiti begitu saja oleh Dewa.

Seraya kemudian Yasmine beranjak menghapus laranya. Ia mencoba mengusirnya sendiri. Sejurus kemudian berlalu, Carissa dan Dewa menghilang dan hengkang dari rumah. Ia tak merasakan kepedihan yang tengah di rasakan Yasmine. Kepedihan yang di rasakan Yasmine yang sungguh lemah di leburkannya dengan keceriaan yang bercampur baur dengan kemesraan, dan tentang kesedihan Yasmine mereka tak rasakan, sedikitpun.

“Ris, kamu nggak kasihan sama Yasmine?” Tanya Dewa pada Carissa.

“Buat apa, bukankah saat-saat seperti ini yang kita tunggu-tunggu.”

Keduanya bersatu dalam satu rasa. Berpadu dalam pelukan mesra berdua yang di selingi tawa genit. Keduanya mampu tertawa diatas kepedihan hati seorang Yasmine. Yasmine larut dalam tangis. Ia tengkurap di atas tempat tidurnya. Ia tak tahu kepada siapa ia membagi kelaraan hatinya. Ingatanya hanya pada Fabian. Teman yang telah di kenalnya semenjak SMU dulu.

Ia meraih koper yang berada di sudut ruangan kamar tidurnya. Ia memasukan semua pakaiannya sembarangan dan memencet nomor telepon agar ia dapat terhubung dengan Fabian.

Ia berusaha meraba-raba angka pada gagang telepon. Dalam kehampaan rasa Yasmine berusaha tegar. Ia tak mau hancur dalam kepahitan rasa yang telah mati. Nomor Fabian pun tersambung. Keduanya pun meninggalkan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar