Chapter 1
Kelabu Di Hatiku
Aku masih menatap langit-langit malam dengan tatapan kosong. Aku mencoba membaca seberkas sinar yang terbias diaksara waktu. Berulangkali aku mendesah, menutup mata, dan mencoba berlari dari kenyataan. Namun tak bisa. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku, dan duduk disebelahku. Aku sempat menoleh kearahnya, namun sebentar, dan kemudian kembali membiarkan mataku menatap pemandangan gelap.
“Seharian ibu lihat kamu duduk diam dikursi bambu ini, Ris. Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya ibu padaku. Sekilas, kutatap wajah ibu dan tersenyum padanya, lalu kuhela nafas dalam-dalam.
“Didalam panas Bu. Carissa tidak kenapa-kenapa kok.” Jawabku. Ibu menggeleng sambil tersenyum, seolah beliau tahu apa yang sebenarnya kusembunyikan.
“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu Ris, tidak juga matamu. Kamu ingin menangis kan? Menangislah Ris. Jika kamu ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kamu berhak mencurahkan air mata Ris..,” Ucap ibu lagi.
Kutatap wajah ibu dalam-dalam. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa paham dengan apa yang kurasakan, padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya jauh di lubuk hatiku yang terdalam. Mataku tiba-tiba terasa berat, ada genangan yang hampir tumpah disana, namun aku tetap berusaha membendungnya. Bibirku bergetar, seakan ingin bicara banyak pada ibu. Tapi lidahku keluh, sekeluh tanda tanya dihatiku. Kupeluk tubuh ibu erat-erat, sangat erat bahkan! Ibu membalas pelukanku. Lama. Aku dan ibu berpelukan, lalu melepas pelukan itu pelan-pelan, sambil menumpahkan air mata yang tak mampu kubendung lagi. Kulihat mata ibu yang juga memerah, namun tak mengeluarkan butiran salju bening setetespun. Mungkin ia berusaha membendungnya dalam-dalam, sama seperti yang kulakukan tadi.
“Hidup ini realita Ris. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit Ris, tapi jika kamu hadapi dengan ikhlas, kamu akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kamu terbangun dari mimpi-mimpimu, kamu akan berontak pada kenyataan. Namun jika kamu telah berani untuk bermimpi, kamu harus siap untuk terbangun esok hari.” Ucap ibu lagi, seraya mencium keningku.
Aku masih terdiam bisu, mendengarkan gurauan jangkrik yang semakin merdu terdengar. Kubiarkan langkah kaki ibu yang semakin menjauh, meninggalkanku dikeheningan malam. Langit semakin tampak hitam! Kelam! Ibu benar! Semakin aku bermimpi, semakin sakit rasanya kehidupan yang kulalui. Tapi tanpa mimpi-mimpi itu, aku seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada harapan yang bisa kubangun. Sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya aku memejamkan mata, membaca kata-kata kelabu dihatiku.
Kelabu Di Hatiku
Aku masih menatap langit-langit malam dengan tatapan kosong. Aku mencoba membaca seberkas sinar yang terbias diaksara waktu. Berulangkali aku mendesah, menutup mata, dan mencoba berlari dari kenyataan. Namun tak bisa. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku, dan duduk disebelahku. Aku sempat menoleh kearahnya, namun sebentar, dan kemudian kembali membiarkan mataku menatap pemandangan gelap.
“Seharian ibu lihat kamu duduk diam dikursi bambu ini, Ris. Apa yang sedang kamu pikirkan?” Tanya ibu padaku. Sekilas, kutatap wajah ibu dan tersenyum padanya, lalu kuhela nafas dalam-dalam.
“Didalam panas Bu. Carissa tidak kenapa-kenapa kok.” Jawabku. Ibu menggeleng sambil tersenyum, seolah beliau tahu apa yang sebenarnya kusembunyikan.
“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu Ris, tidak juga matamu. Kamu ingin menangis kan? Menangislah Ris. Jika kamu ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kamu berhak mencurahkan air mata Ris..,” Ucap ibu lagi.
Kutatap wajah ibu dalam-dalam. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa paham dengan apa yang kurasakan, padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya jauh di lubuk hatiku yang terdalam. Mataku tiba-tiba terasa berat, ada genangan yang hampir tumpah disana, namun aku tetap berusaha membendungnya. Bibirku bergetar, seakan ingin bicara banyak pada ibu. Tapi lidahku keluh, sekeluh tanda tanya dihatiku. Kupeluk tubuh ibu erat-erat, sangat erat bahkan! Ibu membalas pelukanku. Lama. Aku dan ibu berpelukan, lalu melepas pelukan itu pelan-pelan, sambil menumpahkan air mata yang tak mampu kubendung lagi. Kulihat mata ibu yang juga memerah, namun tak mengeluarkan butiran salju bening setetespun. Mungkin ia berusaha membendungnya dalam-dalam, sama seperti yang kulakukan tadi.
“Hidup ini realita Ris. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit Ris, tapi jika kamu hadapi dengan ikhlas, kamu akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kamu terbangun dari mimpi-mimpimu, kamu akan berontak pada kenyataan. Namun jika kamu telah berani untuk bermimpi, kamu harus siap untuk terbangun esok hari.” Ucap ibu lagi, seraya mencium keningku.
Aku masih terdiam bisu, mendengarkan gurauan jangkrik yang semakin merdu terdengar. Kubiarkan langkah kaki ibu yang semakin menjauh, meninggalkanku dikeheningan malam. Langit semakin tampak hitam! Kelam! Ibu benar! Semakin aku bermimpi, semakin sakit rasanya kehidupan yang kulalui. Tapi tanpa mimpi-mimpi itu, aku seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada harapan yang bisa kubangun. Sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya aku memejamkan mata, membaca kata-kata kelabu dihatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar