Chapter 6
Gadis Kecil Bernama Mentari
Tasya menangkap kepahitan itu. Sekilas bagai bercermin. Dirasakannya kepahitan yang sama pada dirinya sendiri. “Kamu sudah mengantuk. Tidurlah, Indra,” katanya, kemudian membenahi selimut Indra.
“Ya….” Indra memejamkan mata. Ia seperti anak kecil yang amat menurut pada ibunya.
Tasya mematikan lampu. Dalam gelap diamatinya tidur pria itu. Indra benar, seperti komitmennya semula ketika akan menempati kamar ini bersama Tasya. Ia tidak mendengkur!
Ya, Indra, kita berdua adalah pecundang. Tasya ‘berkata-kata’ sendiri dalam kesunyian. Aku membiarkan diri terhanyut dalam dosa perselingkuhan, sementara kamu terjebak dalam perjudian demi mengejar ambisi untuk menang dan mendapatkan materi yang kamu harapkan! Sekarang bagaimana caranya kita mengakhiri semua ini? Mungkinkah kita mendapatkan kesempatan? Kesempatan untuk berhenti dari semua kepahitan ini, lalu memilih jalan lain, dan menjadi sosok yang ‘baru’ di kemudian hari?
Perlahan Tasya menghela napas panjang. Disimpannya pertanyaan itu dalam benaknya. Dia pun memejamkan matanya. Rasanya seluruh tubuhnya lelah sekali . Di luar, langit dini hari masih gelap gulita.
Hari Ketiga
Kapal berlabuh di ‘Pandewa’ (sebuah pulau indah di negara Milton), sebuah kota tua berjarak 120 km di arah tenggara ‘Milton’. Indra sudah mempersiapkan diri sejak pagi. Jins biru, T-shirt putih, dan sepatu kanvas. Tampak segar dan sedikit bergaya seperti ABG.
“Kamu benar-benar akan pergi?” Tasya meyakinkan.
“Ya, kenapa tidak?” jawab Indra, antusias.
“Tapi, kamu masih sakit….”
“Apakah menurutmu aku masih tampak sakit?”
Tasya mengangguk. “Ya, sedikit….”
“Apakah dengan alasan sesepele itu aku harus tidur di kabin sepanjang hari, dan melewatkan kesempatan menikmati keindahan Negara Milton?”
“Tapi…,” Tasya ragu-ragu.
“Ayolah,” Indra menarik lengan Tasya. “Tidur bisa kulakukan di mana saja dan kapan saja. Sungguh bodoh bila aku harus melewatkan Geneva Hill`s hanya dengan berbaring di ranjang!”
“Yap!” akhirnya Tasya menyambut uluran tangan itu dengan semangat penuh.
Taman Century Flower berdiri di atas bukit. Ada banyak pepohonan hijau di sekitarnya. Teduh, menawarkan kedamaian pada setiap orang. Pagar-pagar yang mengeliliingi Taman Century Flower sebagian besar sudah mengelupas, menampakkan besi berkarat berlapis lumut alami. Di bagian dalam, ada berbagai macam bunga dengan Air Mancur di beberapa sudut. Deretan bangku-bangku tua berjajar rapi, siap menyambut siapa pun yang datang.
Di bagian bawah bukit, benteng Alferindo, sisa benteng Portugis, berdiri kokoh mengelilingi Taman, seakan mengamankan dan memberi perlindungan bagi bangunan tua itu. Semuanya menjanjikan rasa damai pada setiap orang.
Tasya berdiri di ambang Danau Wizard. Berdiri mematung beberapa saat. “Aku ingin sendirian…,” katanya kemudian.
“Baiklah, aku tunggu kamu di benteng bawah.” Indra mengangguk maklum tanpa bertanya lebih jauh. Ia lalu berjalan-jalan sendiri mengitari kawasan itu. Tidak banyak turis yang datang saat itu. Hanya ada beberapa pengunjung asing, selebihnya adalah pengunjung berparas Melayu. Barangkali penduduk setempat.
Di pelataran benteng, Indra menemukan seorang ibu sedang sibuk memperbaiki roda kereta dorong anaknya. Tapi, dari apa yang dilakukannya, terlihat bahwa ia sama sekali tidak berpengalaman. Naluri Indra segera tergerak.
“Ada yang bisa saya bantu, Ibu?” katanya, menawarkan bantuan.
“Ini roda tak mau berpusing, Saye tak tahu kenape,” keluh ibu itu dengan logat Melayu yang khas.
“Akan saya coba memperbaikinya,” Indra mengambil alih kereta dorong itu. Ditelitinya sesaat dan ditemukannya satu sekrup pengunci roda yang terlepas. Bila sekrup penggantinya tidak ditemukan, terpaksa harus dicari alternatif lain.
“Darimane awak ni’?” tanya ibu pemilik kereta dorong itu, sembari menggendong anaknya yang masih kecil.
“Indonesia,” Indra menjawab pendek.
“Pelancongkah?”
“Ya,” Indra mengangguk.
“Dengan siape pergi?”
“Seorang teman,” Indra menunjuk ke arah bukit. “Dia sedang berada di sana sekarang.”
Di saat yang sama terlihat Tasya menuruni tangga bukit dan berjalan mendekat ke arah mereka.
“Diakah?” tanya ibu itu, menatap Tasya lebih lama.
“Ya,” Indra menegaskan.
“Elok kali’, tentulah bukan teman biase,” tukas ibu itu lagi, tersenyum.
Indra mendadak tersipu. Ia menjadi kehilangan kata-kata. Ketika langkah Tasya semakin mendekat, Indra menyibukkan diri dengan kereta dorong yang sedang diperbaikinya.
“Hallo,” Tasya memberi salam.
Ibu itu membalas salam Tasya. “Maaf ye, awak mesti tunggu. Teman awak ni’ sedang memperbaiki kereta bayi saye.”
“Oh, tidak masalah,” Tasya tersenyum. Dibelainya anak dalam pelukan ibu itu. “Ini putri Ibu? Berapa umurnya? Cantik sekali….”
“Baru lima belas bulan. Namanya Mentari.” Ada nada bangga dalam suaranya.
“Ayo, Mentari, mau ikut Makcik berjalan-jalan?” ajak Tasya, tertawa melihat betapa lucunya si kecil.
“Ye, dia lagi masa belajar jalan,” sang ibu menurunkan Mentari dari pelukannya. “Tapi, anak ini teruk kali malasnya. Dia tak mau melangkah bila tak ada sesuatu yang menarik hatinya. Dia baru mau melangkahkan kaki dan berjalan sendiri bila menginginkan sesuatu. Akibatnya, sampai sekarang dia belum lancar berjalan sendiri!”
“Begitukah? Kalau begitu, tunggu sebentar.” Tasya beranjak dan membeli beberapa balon aneka warna. Sesaat kemudian, dengan balon itu dirayunya gadis kecil itu untuk berjalan ke arahnya.
Berhasil! Mentari kecil bersorak melihat balon warna-warni. Sigap diulurkannya tangan mencoba menjangkau balon-balon itu. Langkah kecilnya tertatih-tatih mendekati Tasya. Setiap kali tangannya hampir meraih balon, Tasya menjauh, sehingga memacu Mentari untuk terus melangkah mendekat. Begitu terus hingga beberapa putaran. Dan, gadis kecil itu tidak putus asa. Dengan semangat penuh terus dikejarnya Tasya dan mencoba meraih balon yang diinginkannya. Ibunya dan Tasya terus memanggil-manggil namanya untuk memberi semangat.
Sesaat kemudian tampak langkah gadis kecil itu makin membaik. Keseimbangannya terjaga, membuat langkah kecilnya makin mantap dan tidak goyah. Di belakangnya, sang ibu mengikuti langkah putrinya sembari bertepuk tangan gembira. Indra mengamati adegan itu dari kejauhan. Rupanya dia sudah selesai memperbaiki kereta dorong itu.
Sebentar kemudian, Tasya menghentikan langkah. Ditungguinya Mentari dengan sabar. Sigap, gadis kecil itu meraih balon impiannya dan bersorak kegirangan. Tasya tertawa dan meraih gadis kecil itu dalam pelukannya.
“Saye ada kamera semula jadi. Mari saye foto kalian, nanti gambarnya bise kalian bawa pulang sebagai kenang-kenangan,” kata ibu Mentari, meraih kamera dari dalam tasnya. Tanpa diduga ia mendorong Indra ke arah Tasya dan Mentari untuk ikut berfoto.
Dengan langkah ragu-ragu, Indra menempatkan diri di samping Tasya.
“Ah, mana boleh begitu? Kalian ni’ kan sepasang kekasih! Haruslah tampak mesra!” seru wanita itu.
Mendengar itu, mendadak pipi Indra dan Tasya merona merah. Mereka tampak tersipu dan salah tingkah. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, ibu Mentari berlaku layaknya juru foto profesional. Diaturnya lengan Indra sedemikian rupa, memeluk Tasya dan Mentari. Salah tingkah keduanya makin menjadi, tapi instruksi ‘sang pengarah gaya’ sungguh tidak dapat ditolak. Mereka terpaksa pasrah mengikuti arahan ibu Mentari.
“Kalian ni’ kekasih, tapi nampak malu-malu. Aneh sekali!” komentar ibu Mentari sembari beraksi dengan kameranya.
Beberapa saat kemudian beberapa lembar foto tercetak sempurna. Begitu bagus adegan dalam foto itu. Indra memeluk Tasya yang sedang menggendong Mentari. Ketiganya tertawa lepas menampakkah kebahagiaan, di latar belakang balon warna-warni melengkapi gambaran kebahagiaan itu.
“Foto yang bagus! Kalian nampak seperti keluarga muda yang bahagia!” komentar ibu Mentari melihat hasil karyanya. Diambilnya sehelai foto untuk dirinya sendiri. Selebihnya diberikannya pada Tasya. “Akan saye simpan sebagai kenangan, siape tahu kita boleh bersua lagi.”
“Terima kasih,” Tasya menerima foto itu, tersipu.
“Kali ini bolehlah kupinjamkan Mentari-ku pada kalian, tapi suatu saat di masa nanti kalian akan berfoto dengan Mentari kalian sendiri,” ibu Mentari mengerling penuh arti.
Tasya tercenung. Kalimat itu menyentuhnya. Mentari kalian sendiri? Mungkinkah aku memiliki seorang gadis kecil dalam hidupku di masa nanti?
Mereka lalu berpisah. Ibu itu pamit dan menjauh. Dari dalam kereta dorongnya, Mentari melambai-lambaikan tangannya.
“Gadis kecil yang bersemangat,” gumam Tasya, membalas lambaian itu. Disimpannya diam-diam kesedihan berpisah dari gadis kecil itu.
“Kamu yang mengubah gadis kecil itu,” kata Indra, mengamati Mentari yang makin menjauh. “Bertemu denganmu, kemalasannya berubah menjadi semangat yang luar biasa!”
“Sebenarnya dia bukan anak pemalas, hanya saja dia baru mau melakukan sesuatu jika ada tujuan tertentu yang akan diraihnya. Mentari bukan tipe anak yang mau melakukan sesuatu tanpa alasan.”
“Ya, dia bukan tipe anak yang mau melakukan sesuatu dengan sia-sia. Tidak seperti kita!”
“Kita melakukan sesuatu dengan sia-sia, menjalani hidup tanpa arah.”
“Kita tidak punya tujuan, bahkan tidak tahu apa yang sesungguhnya kita inginkan!”
“Jadi?”
“Jadi, kita ini tidak lebih pintar dari anak usia lima belas bulan!”
Keduanya berpandangan, saling mengangkat bahu, dan akhirnya tertawa terbahak bersamaan. Lebih untuk menertawakan diri sendiri. Tawa yang pahit dan getir!
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar