Chapter 2
Cowok-Cowok Keren
Sebenarnya alasan Davina ingin tampil cantik bukan karena ia masih ingin Farel kembali padanya. Toh memang mereka sudah tidak cocok. Namun seperti biasa, penyakit yang timbul setelah putus pacaran adalah tidak rela kalau mantan pacar lebih cepat dapat pengganti. Jadi, untuk menaikkan harga dan kepercayaan pada diri sendiri, Davina berniat untuk tampil lebih dan beda.
"Silakan, Mbak. Rambutnya dicuci dulu, ya?" Kali ini pria gemulai berambut ala salah satu penyanyi F4 menyapanya santun. Jemarinya yang lentik sesekali membenarkan mengibaskan rambutnya yang berwarna coklat layaknya besi berkarat. Ia menunjukkan tempat keramas.
"Wah, rambutnya bagus sekali, Mbak. Sering creambath, ya?" tanya si Rambut coklat serupa besi berkarat.
Hampir saja Davina menjawab, 'Ah, tidak... cuma pakai shampo, kok,' seperti iklan shampo di stasiun tv. Tidak jadi sebab kepalanya sudah dibenamkan di bak cuci salon.
Tidak terlalu lama, rambutnya pun sudah dibilas bersih. "Sudah, Mbak," ujar si Rambut coklat serupa besi berkarat sambil membelitkan handuk putih tipis ke kepalanya.
Sekarang Davina sudah duduk di depan cermin. Ia menatap bayangan dirinya. Wajah oval khas Indonesia, alis tebal rapi dan hidung kecil bangir. Juga sepasang mata yang membuat para perias berdecak kagum, ditambah rambut tebal hitam bak mayang melambai. Terus terang, memang sudah lama sekali ia tidak memotong rambutnya karena Farel lebih suka cewek berambut panjang, dan Davina memilih mengalah demi menyenangkan cowok yang pernah mengisi hati dan hari-harinya itu.
"Mau dipotong model apa, Mbak?" tanya seorang pria lain. Kali ini ia lebih maskulin, hitam manis dan bertampang rupawan.
Oh, ini toh Si Dewa itu, batin Davina. Mau dipotong model apa ya? Aha!
"Model bobnya Britney Stewart ya, Mas. Terus, disemir warna merah dan coklatnya Britney juga," kata Davina bersemangat.
Si Dewa meneliti rambut Davina sambil sesekali memandang wajah Davina melalui cermin. Lalu perlahan tapi pasti ia menggunting rambut panjang legam sehitam gulita malam tak berbintang, tak berbulan dan mati lampu! (Hihihi... Si Davina kadang-kadang puitis, dan menggambarkan fenomena alam ke dalam bentuk puisi yang selalu sukses ditolak oleh majalah yang dikiriminya untuk dimuat!)
Hasilnya memang di luar dugaannya. Oke banget! Davina kelihatan sesegar buah dan sayur mayur yang baru dipetik dari perkebunan di lereng gunung. Sekarang tinggal proses pewarnaan yang membosankan.
Davina merasa ada yang memperhatikan dirinya. Ia melihat ke sebelah kiri. Tampak dua anak muda jebolan fitness center dengan wajah yang bisa membuat kepala menoleh dan menoleh lagi. Cowok dengan t-shirt biru muda dan celana warna natural tersenyum lebih dahulu. Kulitnya putih, rambutnya di-spike, giginya terawat bak model pasta gigi yang ia pakai. Duh, keren!
Davina membalas senyumnya, kemudian berpura-pura konsentrasi kembali ke Novel Twilight yang sengaja dibawanya.
Tapi, kok sepertinya ada yang memperhatikan lagi. Ia melirik lagi ke kiri. Kini yang menatapnya tanpa berkedip adalah cowok yang satunya. Si Spiky sudah di tempat cuci rambut. Cowok yang ini berkaos putih, celana jeans belel—kulit agak kecoklatan, mata elang, dan senyum yang tak kalah menawan dengan pemuda yang tadi. Davina tersenyum bahagia lagi sambil berharap detak jantungnya tidak terdengar. Boleh dong, sekali-kali ge-er! batinnya. Ia mencoba membaca halaman yang sejak tadi sudah dibaca berulang-ulang, tanpa konsentrasi dan lebih pada kepura-puraan.
Pemanas rambut berbentuk helm raksasa itu sudah hampir duapuluh menit mengeluarkan uap di atas kepala Davina. Menurut mereka, Davina mesti melewati proses pemanasan yang lebih intensif berhubung rambutnya belum tersentuh pewarna rambut sebelumnya. Juga, agar penyerapan zat warna pada bilah-bilah rambutnya dapat terkontaminasi dengan baik. Akhirnya, meski bosan mengeram seperti induk ayam, akhirnya ia memasrahkan dirinya juga demi tercapainya perwujudan putri cantik ala Cinderella.
Cowok-Cowok Keren
Sebenarnya alasan Davina ingin tampil cantik bukan karena ia masih ingin Farel kembali padanya. Toh memang mereka sudah tidak cocok. Namun seperti biasa, penyakit yang timbul setelah putus pacaran adalah tidak rela kalau mantan pacar lebih cepat dapat pengganti. Jadi, untuk menaikkan harga dan kepercayaan pada diri sendiri, Davina berniat untuk tampil lebih dan beda.
"Silakan, Mbak. Rambutnya dicuci dulu, ya?" Kali ini pria gemulai berambut ala salah satu penyanyi F4 menyapanya santun. Jemarinya yang lentik sesekali membenarkan mengibaskan rambutnya yang berwarna coklat layaknya besi berkarat. Ia menunjukkan tempat keramas.
"Wah, rambutnya bagus sekali, Mbak. Sering creambath, ya?" tanya si Rambut coklat serupa besi berkarat.
Hampir saja Davina menjawab, 'Ah, tidak... cuma pakai shampo, kok,' seperti iklan shampo di stasiun tv. Tidak jadi sebab kepalanya sudah dibenamkan di bak cuci salon.
Tidak terlalu lama, rambutnya pun sudah dibilas bersih. "Sudah, Mbak," ujar si Rambut coklat serupa besi berkarat sambil membelitkan handuk putih tipis ke kepalanya.
Sekarang Davina sudah duduk di depan cermin. Ia menatap bayangan dirinya. Wajah oval khas Indonesia, alis tebal rapi dan hidung kecil bangir. Juga sepasang mata yang membuat para perias berdecak kagum, ditambah rambut tebal hitam bak mayang melambai. Terus terang, memang sudah lama sekali ia tidak memotong rambutnya karena Farel lebih suka cewek berambut panjang, dan Davina memilih mengalah demi menyenangkan cowok yang pernah mengisi hati dan hari-harinya itu.
"Mau dipotong model apa, Mbak?" tanya seorang pria lain. Kali ini ia lebih maskulin, hitam manis dan bertampang rupawan.
Oh, ini toh Si Dewa itu, batin Davina. Mau dipotong model apa ya? Aha!
"Model bobnya Britney Stewart ya, Mas. Terus, disemir warna merah dan coklatnya Britney juga," kata Davina bersemangat.
Si Dewa meneliti rambut Davina sambil sesekali memandang wajah Davina melalui cermin. Lalu perlahan tapi pasti ia menggunting rambut panjang legam sehitam gulita malam tak berbintang, tak berbulan dan mati lampu! (Hihihi... Si Davina kadang-kadang puitis, dan menggambarkan fenomena alam ke dalam bentuk puisi yang selalu sukses ditolak oleh majalah yang dikiriminya untuk dimuat!)
Hasilnya memang di luar dugaannya. Oke banget! Davina kelihatan sesegar buah dan sayur mayur yang baru dipetik dari perkebunan di lereng gunung. Sekarang tinggal proses pewarnaan yang membosankan.
Davina merasa ada yang memperhatikan dirinya. Ia melihat ke sebelah kiri. Tampak dua anak muda jebolan fitness center dengan wajah yang bisa membuat kepala menoleh dan menoleh lagi. Cowok dengan t-shirt biru muda dan celana warna natural tersenyum lebih dahulu. Kulitnya putih, rambutnya di-spike, giginya terawat bak model pasta gigi yang ia pakai. Duh, keren!
Davina membalas senyumnya, kemudian berpura-pura konsentrasi kembali ke Novel Twilight yang sengaja dibawanya.
Tapi, kok sepertinya ada yang memperhatikan lagi. Ia melirik lagi ke kiri. Kini yang menatapnya tanpa berkedip adalah cowok yang satunya. Si Spiky sudah di tempat cuci rambut. Cowok yang ini berkaos putih, celana jeans belel—kulit agak kecoklatan, mata elang, dan senyum yang tak kalah menawan dengan pemuda yang tadi. Davina tersenyum bahagia lagi sambil berharap detak jantungnya tidak terdengar. Boleh dong, sekali-kali ge-er! batinnya. Ia mencoba membaca halaman yang sejak tadi sudah dibaca berulang-ulang, tanpa konsentrasi dan lebih pada kepura-puraan.
Pemanas rambut berbentuk helm raksasa itu sudah hampir duapuluh menit mengeluarkan uap di atas kepala Davina. Menurut mereka, Davina mesti melewati proses pemanasan yang lebih intensif berhubung rambutnya belum tersentuh pewarna rambut sebelumnya. Juga, agar penyerapan zat warna pada bilah-bilah rambutnya dapat terkontaminasi dengan baik. Akhirnya, meski bosan mengeram seperti induk ayam, akhirnya ia memasrahkan dirinya juga demi tercapainya perwujudan putri cantik ala Cinderella.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar