Chapter 3
Kado Dari Dewa
Aku menutup jendela kamar dan menyalakan lampu belajar.
Lampu kamar sengaja tak kunyalakan. Aku ingin lebih berkonsentrasi, minggu depan ada ujian semester. Rumus-rumus matematika memenuhi otakku.
Aku mencoba membahas soal-soal akhir semester di buku terbitan Erlangga. Ah, kali ini aku tak akan kalah dari dia.
***
Waktunya penerimaan rapor....
Jantungku berdebar-debar. Bintang itu bersinar, rembulan berkedip padaku. Doaku terkabul. Aku, Yasmine Artalyta, si juara kelas itu. Rasanya berbunga-bunga. Tapi tunggu, aku menangkap sepasang mata tajam menatapku.
Itu…, Dewa? Dia berpaling dan berbalik meninggalkan ruangan aula. Pandanganku terhalangi teman-teman yang sibuk mengucapkan selamat atas prestasiku.
Duduk di kelas tiga SMA bukanlah perkara yang sepele. Tak banyak waktu untuk bermain dan menikmati kebersamaan dengan teman-teman karena kecerobohan pada UN bisa berakibat buruk pada masa depan kami semua.
Aku dan Tasya duduk di kantin membicarakan rencana belajar kelompok. Tiba-tiba, Beby, adik kelasku menghampiri dan menepuk pundakku lembut.
"Kak Yasmine, ada sesuatu yang mau kukasih ke Kakak."
"Apa tu?"
"Nih.." Beby menyodorkan kotak kecil bersampul kuning muda.
Seperti de ja vu, pikirku.
Sebelum Beby berlalu, aku langsung menyambar pundaknya.
"Dari mana, Beby? Dari siapa?"
"Beby nggak tahu nggak, Kak. Ini tadi ada di laci meja Beby. Karena ada nama Kakak, makanya Beby anterin langsung."
Aku tertegun sambil tersenyum hambar. Itu kado yang dititipkan lewat Tasya waktu ulang tahunku yang ke tujuh belas di kelas II IPA 3.
***
Dunia serasa berputar di kamarku yang berbentuk balok dengan panjang, lebar, dan tinggi yang nyaris sebanding.
Aku duduk menerawang di sudut ranjang di kamarku yang remang. Lampu kap berbentuk kucing bercahaya di meja sebelah temapt tidur. Alunan musik instrumen "romantic piano" membelai syahdu dari speaker komputer yang monitornya padam sendiri.
Aku memandang kado bersampul kuning muda itu. Sedikit lusuh karena aku membiarkannya tergeletak menyudut di laci meja selama berbulan-bulan.
Aku heran, kenapa bisa selupa itu?
Kini, aku mulai menguliti sampulnya, dan mendapati kotak persegi empat beludru. Kubuka, dan musik gemerincing mengiringi penari balet di dalam kotak itu, berputar, membungkuk, dan berputar lagi. Aku mengamatinya dengan tidak sabar.
Pada akhir gerakan, penari balet itu bersembunyi di balik tirai. Dan di tirai itu terselip selembar kertas. Aku membukanya dan mulai membaca.
"Selamat ulang tahun.. temui aku di café Lavender di sore hari. Aku akan menunggu sampai kamu sempat."
Seperti yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, aku telah mengabaikan sesuatu yang… ah, tapi aku tidak tahu ini penting atau tidak, dan entah dari siapa. Tapi, tak ada salahnya untuk dicoba, kan? Toh, tak ada ruginya.
Sore itu, aku menyempatkan diri mampir ke Café Lavender, suatu pengalaman yang cukup asing. Di sini, tidak ada pasangan muda mudi. Hanya ibu-ayah, dan anaknya, atau kesatuan keluarga yang lainnya.
Aku berusaha berpikir keras untuk menebak pengirim kado misterius itu. Aku sama sekali tidak terkejut saat seorang perempuan yang kira-kira usianya sepuluh tahun lebih tua dariku menghampiri dan mengulurkan tangannya.
Ia tersenyum menatapku, dan memperkenalkan diri dengan nama Olivia. Aku tersenyum ragu, "Yasmine".
Dia memulai pembicaraan.
"Ternyata kamu Yasmine…, oh ya, dan pasti kamu mencari Dewa?", matanya menatapku, menunggu jawaban.
Kali ini aku benar-benar tersambar mendengar nama Dewa, seperti guntur yang menggelegar dalam kepalaku.
"Dewa? Y.. ya?", aku tak tahu harus bagaimana dan harus berkata apa.
"Ya, tentu. Dewa selalu menantimu setiap sore di kafe ini, bahkan hingga larut malam. Tapi tentu saja,... dia bekerja paruh waktu di sini."
Aku tertegun-tegun mendengar ceritanya, jemariku dingin. Tapi kucoba untuk menguasai diri.
"Hm, begitukah? Kenapa dia harus bekerja? Oh, hm, kalau begitu, bisakah saya bertemu dengan dia sekarang?"
Sekali lagi dia melempar senyum padaku.
"Dia memang mengagumkan, begitu mandiri. Tapi sayang, semenjak kelas 3 SMA, dia tak pernah ke kafe ini lagi, apalagi bekerja di sini. Apa kamu tidak tahu? Oh ya, tapi dia memang sedikit tertutup ya? Jarang sekali dia mau berbagi masalah pribadinya dengan orang lain."
Aku hanya bisa mengangguk-angguk.
"O ya, dia juga menitipkan ini untukmu. Katanya, tolong berikan kado ini untuk putri cantik jelita yang duduk sendiri menanti kedatanganku... Oh, manis sekali, dia romantis ya? Apa dia pacarmu?"
Kali ini jantungku berdegup kencang, aneh. Aku hanya menggeleng, nyaris tak bisa bicara.
"Ayolah,.. dia tampan ya?"
Aaargh…! Aku minta diri untuk segera pulang dengan alasan takut kesorean.
Apa-apaan ini semua?
Aku tak mengerti. Dasar orang aneh itu, orang aneh yang berprilaku aneh, dan menciptakan kesan-kesan aneh. Sekarang, dia malah meninggalkan hadiah aneh untukku?
Biarlah, bahkan aku tak sudi mencarinya.
Forgetting Sarah Marshall
14 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar