Chapter 2
Surat Dari Nayshila
Dua ekor burung kecil entah apa namanya hinggap di halaman sekolah yang berumput. Kaki mungil mereka melompat-lompat lincah. Bima mememerhatikan mahluk mungil itu dengan geli. Sesekali kakinya sengaja diselonjorkan ke arah mereka. Dan, tubuh-tubuh kecil itu terbang menghindar sambil mencicit ketakutan. Tapi tidak lama kemudian kedua ekor burung itu kembali bermain-main di rerumputan.
“Bima.”
Bima mengangkat wajahnya. Dua ekor burung kecil itu terbang ketakutan. Sepasang kaki berbalut sepatu Converse mengejutkan mereka.
“Bim, ada surat untukmu,”Aurel mengulurkan sepucuk surat. “Dari Nayshila,” katanya sebelum Bima sempat bertanya. Bima mendengus mengambil surat bersampul biru lembut itu. Tanpa mengucapkan terima kasih, dia segera merobek tepi amplop surat itu dan membacanya.
Bim, aku ingin kejujuranmu. Berterus teranglah bila memang kamu yang mengirim kartu itu. Aku tidak akan marah kok. Justru sebaliknya aku malah senang karena ada yang mengingat hari ulang tahunku.
NAYSHILA
Bima meremas surat itu. Kejujuranku. Bah! Rupanya dia terlalu yakin dengan dugaannya. Seenaknya saja menuduhku. Apa dia pikir aku tertarik padanya, lalu mengirim kartu ulang tahun? Oho, perbuatan tolol yang sia-sia!
“Katakan pada adikmu,” Bima berucap dingin. “Aku tidak sebodoh itu mengirim kartu pada seorang gadis. Buang-buang energi saja!” Dilemparnya surat itu ke dalam tong sampah yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Aurel terkejut.
“Terlalu kamu Bim!” Desisnya, “Apa tidak ada kalimat lain yang lebih ramah?”
Bima mendengus, “aku tidak pernah bisa ramah pada gadis-gadis genit yang agresif!”
“Bima!” Aurel menatap Bima dengan mata menyala. “Kamu pikir Nayshila mengejar-ngejarmu? Tidak, Bim!” Dia menggeleng. “Nayshila tidak serendah itu. Dia hanya ingin tahu apakah benar … “
“Aku sudah bilang ‘kan. Bukan aku yang mengirim,” potong Bima.
“Ya, tapi dia tidak yakin. Dia masih menduga kamulah pengirimnya.”
“Lalu menulis surat ini?” tukas Bima. Aurel mengangguk.
“Kalau begitu, maaf atas kata-kataku tadi,” Bima berkata tanpa rasa sesal. “Dan katakan padanya, jangan mendesakku lagi untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan,” Berkata begitu Bima beranjak meninggalkan Aurel yang termangu.
Nayshila, kamu salah mencintainya, batin Aurel. Dia tidak akan membalasnya. Dia terlalu angkuh dan aku … akh, seharusnya aku tidak melaksanakan rencana itu … sia-sia saja. Bima begitu dingin. Beku. Tapi semua telah terjadi. Sudah terlambat untuk memperbaikinya. Yang penting sekarang adalah berterus terang pada Nayshila.
Surat Dari Nayshila
Dua ekor burung kecil entah apa namanya hinggap di halaman sekolah yang berumput. Kaki mungil mereka melompat-lompat lincah. Bima mememerhatikan mahluk mungil itu dengan geli. Sesekali kakinya sengaja diselonjorkan ke arah mereka. Dan, tubuh-tubuh kecil itu terbang menghindar sambil mencicit ketakutan. Tapi tidak lama kemudian kedua ekor burung itu kembali bermain-main di rerumputan.
“Bima.”
Bima mengangkat wajahnya. Dua ekor burung kecil itu terbang ketakutan. Sepasang kaki berbalut sepatu Converse mengejutkan mereka.
“Bim, ada surat untukmu,”Aurel mengulurkan sepucuk surat. “Dari Nayshila,” katanya sebelum Bima sempat bertanya. Bima mendengus mengambil surat bersampul biru lembut itu. Tanpa mengucapkan terima kasih, dia segera merobek tepi amplop surat itu dan membacanya.
Bim, aku ingin kejujuranmu. Berterus teranglah bila memang kamu yang mengirim kartu itu. Aku tidak akan marah kok. Justru sebaliknya aku malah senang karena ada yang mengingat hari ulang tahunku.
NAYSHILA
Bima meremas surat itu. Kejujuranku. Bah! Rupanya dia terlalu yakin dengan dugaannya. Seenaknya saja menuduhku. Apa dia pikir aku tertarik padanya, lalu mengirim kartu ulang tahun? Oho, perbuatan tolol yang sia-sia!
“Katakan pada adikmu,” Bima berucap dingin. “Aku tidak sebodoh itu mengirim kartu pada seorang gadis. Buang-buang energi saja!” Dilemparnya surat itu ke dalam tong sampah yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk. Aurel terkejut.
“Terlalu kamu Bim!” Desisnya, “Apa tidak ada kalimat lain yang lebih ramah?”
Bima mendengus, “aku tidak pernah bisa ramah pada gadis-gadis genit yang agresif!”
“Bima!” Aurel menatap Bima dengan mata menyala. “Kamu pikir Nayshila mengejar-ngejarmu? Tidak, Bim!” Dia menggeleng. “Nayshila tidak serendah itu. Dia hanya ingin tahu apakah benar … “
“Aku sudah bilang ‘kan. Bukan aku yang mengirim,” potong Bima.
“Ya, tapi dia tidak yakin. Dia masih menduga kamulah pengirimnya.”
“Lalu menulis surat ini?” tukas Bima. Aurel mengangguk.
“Kalau begitu, maaf atas kata-kataku tadi,” Bima berkata tanpa rasa sesal. “Dan katakan padanya, jangan mendesakku lagi untuk mengakui perbuatan yang tidak pernah kulakukan,” Berkata begitu Bima beranjak meninggalkan Aurel yang termangu.
Nayshila, kamu salah mencintainya, batin Aurel. Dia tidak akan membalasnya. Dia terlalu angkuh dan aku … akh, seharusnya aku tidak melaksanakan rencana itu … sia-sia saja. Bima begitu dingin. Beku. Tapi semua telah terjadi. Sudah terlambat untuk memperbaikinya. Yang penting sekarang adalah berterus terang pada Nayshila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar