Chapter 3
Semangat Dari Fabian
Aku telah sampai disekolahku tercinta. Belum banyak yang datang dihari sepagi ini. Hanya ada aku dan Fabian, saingan beratku. Aku menyapanya dengan senyuman, dan dia pun membalasnya. Tidak seperti hari-hari biasanya. Begitu sampai dikelas, aku langsung membuka buku pelajaranku dan membacanya ulang. Hari ini kubiarkan saja tasku tergeletak didalam laci mejaku. Kulirik Fabian yang masih asyik dengan bacaannya. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum padanya.
“Seandainya aku berada diposisimu..” Bisikku dalam hati, dalam isyarat tak bernada. Fabian teman sebangkuku. Setiapkali pembagian raport, peringkatku dengannya selalu bersaing. Kalau bukan aku yang juara pertama, pasti Fabian. Begitu juga sebaliknya. Fabian tidak jauh lebih pintar dari aku, buktinya saja, nilai-nilai kami hampir sejajar. Tapi Fabian jauh lebih beruntung dariku. Dia terlahir dari keluarga yang berada. Tiba-tiba Fabian memandangku saat aku sedang melontarkan pernyataan-pernyataan keluh dihatiku.
“Hei.., kenapa tidak buka buku?” Tanyanya. Aku tersenyum.
“Untuk apa?” Tanyaku balik.
“Ya belajarlah. Bukannya biasanya seperti itu?” Tanyanya lagi. Aku diam saja.
“Apa kamu mau nilai-nilaimu dibawahku?” lanjutnya.
“Untuk apalagi aku belajar Bi? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,” Ungkapku.
“Kamu pesimis? Sejak kapan! Kamu bukan Carissa yang kukenal sekarang. Mana mimpi-mimpimu yang dulu! Yang selalu kamu ceritakan padaku? Mana!”
“Sudahlah Bi, bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.” Tuturku, seraya pergi meninggalkannya.
Siapa yang tidak ingin bermimpi? Siapa yang tidak ingin punya cita-cita! Aku! Dan orang-orang yang bernasib sama sepertikupun sebenarnya punya cita-cita. Namun garis tangan kami telah berkata lain. Mungkin tuhan telah memilihkan jalan terbaiknya lewat tangisan dan air mata kami.
Semangat Dari Fabian
Aku telah sampai disekolahku tercinta. Belum banyak yang datang dihari sepagi ini. Hanya ada aku dan Fabian, saingan beratku. Aku menyapanya dengan senyuman, dan dia pun membalasnya. Tidak seperti hari-hari biasanya. Begitu sampai dikelas, aku langsung membuka buku pelajaranku dan membacanya ulang. Hari ini kubiarkan saja tasku tergeletak didalam laci mejaku. Kulirik Fabian yang masih asyik dengan bacaannya. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum padanya.
“Seandainya aku berada diposisimu..” Bisikku dalam hati, dalam isyarat tak bernada. Fabian teman sebangkuku. Setiapkali pembagian raport, peringkatku dengannya selalu bersaing. Kalau bukan aku yang juara pertama, pasti Fabian. Begitu juga sebaliknya. Fabian tidak jauh lebih pintar dari aku, buktinya saja, nilai-nilai kami hampir sejajar. Tapi Fabian jauh lebih beruntung dariku. Dia terlahir dari keluarga yang berada. Tiba-tiba Fabian memandangku saat aku sedang melontarkan pernyataan-pernyataan keluh dihatiku.
“Hei.., kenapa tidak buka buku?” Tanyanya. Aku tersenyum.
“Untuk apa?” Tanyaku balik.
“Ya belajarlah. Bukannya biasanya seperti itu?” Tanyanya lagi. Aku diam saja.
“Apa kamu mau nilai-nilaimu dibawahku?” lanjutnya.
“Untuk apalagi aku belajar Bi? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,” Ungkapku.
“Kamu pesimis? Sejak kapan! Kamu bukan Carissa yang kukenal sekarang. Mana mimpi-mimpimu yang dulu! Yang selalu kamu ceritakan padaku? Mana!”
“Sudahlah Bi, bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.” Tuturku, seraya pergi meninggalkannya.
Siapa yang tidak ingin bermimpi? Siapa yang tidak ingin punya cita-cita! Aku! Dan orang-orang yang bernasib sama sepertikupun sebenarnya punya cita-cita. Namun garis tangan kami telah berkata lain. Mungkin tuhan telah memilihkan jalan terbaiknya lewat tangisan dan air mata kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar