Chapter 2
Aku Ingin Menangis
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, selesai shalat subuh, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Tinggal detik-detik terakhir, aku menjalani hari-hari dibangku SMU ini. Setelah hari ini dan beberapa hari esok, aku tak tau pasti rutinitas apalagi yang harus kujalani. Didepan cermin, sejenak kupandangi diriku yang berdiri tegak dengan seragam putih abu-abu. Kulihat bayanganku dalam cermin itu erat-erat.
“Tinggal beberapa hari lagi..” bisikku dalam hati.
Sebenarnya aku ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini kutumpahkan. Lagipula untuk apa aku menangis? Toh dengan menangis aku juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Sama seperti hari-hari biasanya. Aku harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, aku juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, aku tak pernah menjamah kantin selain karena dibayarin teman-teman. Yach!
“Tuhan itu maha adil”. Itulah kata-kata yang kerapkali diucapkan ibu padaku. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing”, itulah nasehat-nasehat ibu. Aku memang tidak punya uang saku, tapi teman-teman selalu mentraktirku dikantin.
Aku Ingin Menangis
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, selesai shalat subuh, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Tinggal detik-detik terakhir, aku menjalani hari-hari dibangku SMU ini. Setelah hari ini dan beberapa hari esok, aku tak tau pasti rutinitas apalagi yang harus kujalani. Didepan cermin, sejenak kupandangi diriku yang berdiri tegak dengan seragam putih abu-abu. Kulihat bayanganku dalam cermin itu erat-erat.
“Tinggal beberapa hari lagi..” bisikku dalam hati.
Sebenarnya aku ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini kutumpahkan. Lagipula untuk apa aku menangis? Toh dengan menangis aku juga tidak bisa menyelesaikan masalah. Sama seperti hari-hari biasanya. Aku harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, aku juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, aku tak pernah menjamah kantin selain karena dibayarin teman-teman. Yach!
“Tuhan itu maha adil”. Itulah kata-kata yang kerapkali diucapkan ibu padaku. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing”, itulah nasehat-nasehat ibu. Aku memang tidak punya uang saku, tapi teman-teman selalu mentraktirku dikantin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar