Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (2)

Chapter 2
Pemuda Itu Bernama Indra


Mata mereka bertemu. Tasya tertegun. Astaga! Mata pria itu bagai mata elang yang turun menukik ke bumi, tajam sekali! Tasya mendadak jengah. Secepat kilat dikerjapkannya matanya, menghindar.

Petugas kapal menghilang di balik pintu. Pria itu segera menguasai keadaan. Dia mengulurkan tangan kepada Tasya. “Namaku Indra,” katanya, dengan suara datar.

Senja menyambut salam itu dan menyebutkan namanya. Bagaikan opening credit title, pikir Tasya mengomentari acara perkenalan itu. Sebelum cerita dimulai, maka disebutkan dulu satu per satu sederet nama. Pelaku, penulis cerita, sutradara….

“Aku belum berbenah. Sengaja menunggumu agar bisa memilih tempat tidur yang kamu inginkan terlebih dulu,” Indra seolah menjelaskan, mengapa ia masih menyandang ransel di bahunya.

“Terima kasih,” gumam Tasya, canggung. Lalu ditunjuknya tempat tidur pilihannya. Sengaja dipilihnya posisi dipan yang tidak berdekatan dengan kamar mandi.

Indra meletakkan ranselnya pada dipan yang lain. Suasana hening. Aroma kecanggungan bertebaran di seluruh ruang kamar. Terlebih lagi Tasya. Tampak jelas ia salah-tingkah. Baru disadarinya ia terlibat dalam suatu permainan yang berbahaya!

Sesaat kemudian terdengar helaan napas panjang. Lalu terdengar suara Indra. Pria itu tampak berhati-hati dengan ucapannya. “Bolehkah aku bertanya satu hal?” katanya, mengejutkan Tasya.

“Apa?” jawab Tasya, nadanya penuh waspada.

“Apakah kamu benar-benar setuju dengan ide Virgo ini?”

“Kamu sendiri?” Tasya balik bertanya, lebih untuk melindungi diri.

“Aku tidak punya pilihan,” kata Indra, mengangkat bahu.

“Utang judiku tidak sedikit. Jadi, ketika Virgo menawarkan hal ini sebagai alternatif pelunasan, pastilah kuterima apa pun persyaratannya.”

“Jadi, apa lagi? Lakukan saja apa yang Virgo inginkan!”

“Bagaimana denganmu?”

“Tidak perlu kamu pedulikan aku!”

“Tapi, aku justru harus peduli padamu….”

“Tidak perlu!”

“Kenapa tidak? Aku perlu tahu apakah kamu benar-benar menerima ide ini dengan sadar atau karena ada tekanan yang membuatmu tidak punya pilihan lain? Aku tidak ingin keputusanku menerima ide ini mengkondisikanmu dalam keterpaksaan untuk menerimanya.”

Tasya tertegun. Kalimat itu adalah pernyataan seseorang yang peduli, yang bahkan Virgo pun tidak melakukannya.

“Kamu ragu-ragu,” lanjut Indra, menatap Tasya.

“Apakah kamu ingin membatalkan kesepakatan ini? Kapal belum berangkat, jadi belum terlambat bila….”

Suara sirene melengking panjang saat itu juga, menghentikan kalimat Indra. Terlambat! Itu adalah tanda keberangkatan kapal. Detik selanjutnya, terasa kapal mulai bergerak perlahan, lalu secara bertahap kecepatan bertambah. Kapal telah melaju membelah hamparan laut. Perjalanan hari pertama sudah dimulai. Sebentar lagi Milton akan membentang di depan mata.

“Kamu lihat?” ujar Tasya datar.

“Tidak ada kesempatan untuk mengubah keputusan. Kapal tidak mungkin berhenti hanya untuk menurunkan kamu ataupun aku!”

“Maaf terlambat, kalau saja tadi aku lebih dini mengatakannya….”

“Ah, sudahlah,” Tasya menghentikan penyesalan pria itu.

“Kalau begitu, karena kita berdua merupakan orang asing satu sama lain, tapi harus sekamar dalam beberapa hari ini, ada baiknya kita kompromikan dulu beberapa hal. Bagaimana?” Indra menawarkan.

“Misalnya?” Tasya mengernyitkan alis.

“Kita perlu saling tahu tentang apa yang kita suka atau tidak suka. Misalnya, dalam hal kerapian, kamu dan aku perlu saling menjaga kerapian itu. Setidaknya dengan tidak membiarkan pakaian kotor, makanan, atau apa saja yang tidak perlu, berserakan ke mana-mana.”

“Baik, aku setuju. Aku paling tidak suka melihat pakaian dalam bergelantungan, apalagi yang bekas pakai!”

“Sudah kusiapkan yang sekali pakai.”

“Tidak boleh membawa makanan di ruang ini, mengundang semut!”

“Aku tidur dalam gelap dan tidak suka bangun pagi, jadi jangan menghidupkan lampu atau membuka tirai jendela sebelum aku bangun!”

“Jangan mendengkur.”

“Kuusahakan….”

Tasya menyimpan senyum. Mana bisa? Pada pria, mendengkur lebih mirip sebagai kebiasaan atau bakat yang tidak bisa diganggu gugat. Virgo juga mendengkur, meskipun halus.

“Satu hal lagi, perlu kujelaskan bahwa aku pria normal, dalam arti bukan pencinta sejenis. Jadi, selama tinggal bersama dalam kamar ini, ada baiknya kita saling menjaga sikap. Indra melanjutkan.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku… maaf sebisa mungkin, tolong jangan melakukan hal-hal yang sekiranya bisa memancing imajinasiku melebar ke mana-mana….”

“Maksudmu imajinasi seksual?”

“Ya, semacam itulah!“

Seketika itu juga mata Tasya menyambar tajam. Wajahnya mengeras dengan gurat kemarahan. “Aku tahu batas-batas kewajaran,” desisnya, marah.

“Dan, aku akan berlaku dalam batas-batas itu, menurut penafsiranku. Kalau kemudian hal itu tidak sesuai dengan kehendakmu dan membuatmu menafsirkan lain, itu urusanmu sendiri! Aku tidak akan ambil peduli. Bagaimanapun, aku tidak akan tinggal diam bila kurasa penafsiranmu menggangguku!”

“Maaf, aku tidak bermaksud….”

“Jaga bicaramu!” potong Tasya, tajam.

“Sebentar, aku belum selesai dengan penjelasanku,” Indra membela diri.

“Kuutarakan hal itu karena aku perlu memperjelas posisi kita.”

“Bullshit, itu Cuma alasanmu saja!”

“Baik, terserah apa katamu!” Indra terlihat menahan diri.

“Tapi, penilaian macam apa yang kamu harapkan atas apa yang kamu lakukan ini? Virgo tidak menjelaskan apa pun tentangmu. Yang kutahu hanyalah bahwa kamu seorang wanita, bersedia tinggal dalam satu kamar dengan pria yang tidak kamu kenal untuk menjadi ‘kekasih gelap’ Virgo yang berlayar bersama istrinya yang sedang mengandung!”

Tasya terhenyak. Kalimat itu bagai tamparan yang menghantam pipinya. Bahkan, tidak hanya pipi, tapi seluruh tubuhnya, hingga membuatnya pecah berkeping-keping. Hancur sudah harga dirinya, luluh lantak!

Tasya merasa tak mampu bertahan lagi dalam situasi yang dihadapinya saat ini. Ingin dia membawa dirinya berlari menjauh. Tapi, berlari ke mana? Dia tidak tahu! Sesungguhnya, nalurinya mengatakan, ia ingin berlari dari dirinya sendiri. Sesungguhnya, ia tak sanggup melihat kenyataan itu. Ya, inilah dia… dirinya sekarang: seorang ‘kekasih gelap’! Lebih dari itu, ia bahkan rela menyediakan diri untuk tidur sekamar bersama seorang pria asing yang menyamar sebagai tunangannya. Dan, semua ini hanya untuk mengiringi pelayaran wisata seorang pria yang sudah beristri! Oh, alangkah tragisnya kenyataan itu!

Senja pertama di laut lepas. Matahari bulat dengan warna merah menyala bergerak turun perlahan-lahan di kaki langit. Senja pun berpendar, berbaur cahaya kuning tembaga. Sungguh lukisan alam yang luar biasa indahnya!

Di sunset boulevard dek delapan, Tasya menikmati keindahan lukisan alam itu. Angin berembus menerbangkan rambutnya yang terurai lepas. Udara dingin membelai bahunya yang terbuka. Ditautkannya kedua lengan untuk menghalau hembusan dingin itu. Memang tidak banyak membantu, tapi apa lagi yang bisa dilakukan? Selendang yang tadi dipakainya, entah ada di mana. Pastilah terjatuh waktu dia berlari meninggalkan kamar tadi!

Baru saja akan dieratkannya pelukan, ketika tiba-tiba rasa hangat menghampirinya. Seseorang melingkarkan sehelai selendang pada bahunya, selendang yang baru saja dicarinya. Tasya menoleh dan seketika itu pula darahnya mendidih , menggerakkannya untuk segera beranjak pergi.

“Jangan pergi,” pinta Indra lembut, menghadang langkahnya.

“Maafkan aku….”

Tasya berpaling.

“Aku bukan seseorang yang pintar merangkai kata, bukan pula orang yang mahir mengatur sikap,” lanjut Indra, dengan hati-hati.

“Terkadang apa yang kukatakan tidak selalu sesuai dengan apa yang kumaksud. Kalimatku tadi, aku tahu pastilah sangat menyakitkan. Kata-kataku tadi, tentulah tidak tepat. Tapi, sesungguhnya aku hanya ingin mengatakan, bahwa kamu tidak sepantasnya mengalami situasi ini.”

“Apa yang terjadi di antara aku dan Virgo bukan urusanmu!”

“Maaf…,” suara Indra terdengar mengambang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar