Sabtu, 24 April 2010

Cintaku Bersemi Di Salon 8 Dewa (3)

Chapter 3
Calon Model


Namun, ia mengernyitkan dahinya.

Lho, kok sepertinya ada yang memperhatikan ia lagi!

Dengan kepala yang terperangkap seperti itu agak susah Dara mengedarkan pandangan. Cowok kaos biru muda? Bukan. Cowok kaos putih? Bukan juga. Lho... mata Davina berhenti pada cowok berkacamata dan berkemeja coklat army yang ia lihat lewat cermin di depannya. Cowok itu mengangguk sopan. Davina menyungging senyum kecil. Ada apa sih hari ini? tanyanya dalam hati. Lalu dengan panik ia melihat bayangan dirinya di cermin.

'Jangan-jangan ada sesuatu nempel di muka aku!' pekik Davina dalam hati, lalu menghela napas lega setelah apa yang 'tidak-tidak', yang dibayangkannya tidak terjadi!

Aduh! Masih belum selesai juga, nih! Davina sudah mulai bosan. Kali ini ia yang mencuri pandang dan mencuri dengar ke arah dua pemuda keren tadi.

"Ryan, kamu sudah mencicipi ikan bakar Red Cafe belum?" Cowok bermata elang bertanya.

Davina memutar matanya, kembali ke depan cermin. Hm, Ryan...

Sekonyong-konyong Ryan sudah ada di sampingnya, dan mengambil salah satu majalah di meja cermin depan Davina. Mata mereka beradu, dan Ryan itu mengedipkan sebelah matanya dengan sikap menggoda.

Davina salting bukan main. Cepat-cepat meraih air mineral free of charge dari salon. Fiuh! Untung disediakan minum. Kalau tidak, ia bisa mati gaya.

"Ih, genit amat sih cowok itu," rutuk Davina, ngedumel dalam bisik.

Tidak lama kemudian, salah seorang pegawai salon Si Dewa datang dan membuka tangkup pemanas rambut pada kepalanya.

"Oke, Mbak, sudah selesai," ujar si Pegawai salon, masih si Rambut coklat serupa besi berkarat yang lebih kemayu ketimbang perempuan. "Dibilas dulu ya, Mbak?"

Dara agak lega setelah seperti menunggu selama seabat. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat dirinya lebih seksama pada cermin. Hasil semir warna pada rambutnya sungguh di luar dugaan!

"Lho?! Kok...!" Davina seperti kebakaran jenggot. Panik. Gugup luar biasa. "Mbak, eh Mas... Oom, eh... kok jadi warna merah menyala?! Seperti gulali pada poni panjangnya?!"

"Ya? Kenapa, Mbak?" tanya Mas Dewa yang ikutan panik melihat ekspresi Davina, segera menghampiri tempat duduk Davina yang tengah berteriak.

"Aduh... Mas! Kenapa warna merah yang zaman Britney Stewart masih sahabatan sama Jessica Grace?!" tanya Davina dengan suara tercekat, berusaha menahan tangis.

"Maksud, Mbak?" Mas Dewa mengerutkan keningnya.

"Mak-maksud aku, seharusnya merahnya adalah merah kecoklatan pas Britney lagi heboh-hebohnya mau cerai sama Justin Pattinson itu!"

"Merah yang bagaimana ya, Mbak?" tanya Mas Dewa bingung. Sementara itu si Rambut coklat serupa besi berkarat hanya terpana dan mematung dengan jari tergigit.

"Ya... merah agak coklat agak gelap tapi merah. Begitu, merah jablay begitu!" Davina bingung menjelaskannya, berdiri dan sedikit mengentakkan kakinya ke lantai karena kesal luar biasa. "Ada contoh warna tidak, sih?!" tanyanya lagi dengan nada marah.

Davina kesal sekali. Kenapa juga ia bodoh tidak memilih warna sejak awal. Begini deh jadinya!

Tergopoh-gopoh si Rambut coklat serupa besi karat berlari menuju meja kasir, lalu detik berikutnya ia sudah tiba di hadapan Davina dan mengangsurkan gumpalan sampel rambut sintesis yang tertempel di karton warna hitam dan putih itu pada Davina.

Duh, jangan sampai Mbak ini menangis sambil teriak di salon tempat ia baru bekerja dua minggu ini. Bisa-bisa rumor beredar di luaran bahwa Salon 8 Dewa mengecewakan pelanggan dan kemudian tutup, lantas akhirnya ia menganggur lagi. Uh, ia paham benar bagaimana lips to lips marketing and advertising lebih jitu ketimbang iklan di televisi.

Davina membolak balik semua lembaran contoh warna. Gila! Dari sekian banyak sampel, tapi tidak ada yang sesuai dengan selera warna yang diinginkannya. Tidak ada yang persis sama dengan warna rambutnya Britney Stewart-penyanyi solo papan atas Hollywood!

Dengan lunglai diletakkannya buku-buku besar itu ke atas meja. Yah, memang salahnya tidak membawa contoh majalah yang ada Britney dengan rambut breathtaking-nya itu. Apa boleh buat nasi telah menjadi kerak.

"Berapa, Mbak?" tanya Davina lemas, setelah ia lebih memilih untuk pulang dan menangis sepuas-puasnya. Hancur berantakan semua impian indahnya!

Namun ia membelalak tidak percaya setelah mendengar harga yang disebutkan. Alias murah banget! Ah, biar saja. Mungkin mereka merasa bersalah sehingga membanting harga sampai menyusur tanah alias korting irasional!

Begitu Davina keluar menuju mobilnya, ada langkah-langkah mengikutinya

"Maaf, Mbak, mengganggu sebentar. Hm, ini kartu nama saya." Ternyata cowok berkacamata dan berbaju coklat army tadi.

Dara baru sadar bahwa orang itu sejak tadi hanya duduk tapi tidak melakukan perawatan apapun di Salon 8 Dewa. Davina membaca tulisan yang tertera di kartu tersebut: 'Colours Model Company. Aditya Permadi. Director'.

"Saya sedang mencari talenta baru untuk iklan pewarna rambut, dan sejak tadi saya perhatikan Mbak. Maaf, nama Mbak siapa...."

Davina meneruskan. "Davina. Davina Rarasadya."

"Oya, Mbak Davina. Mbak Davina cocok sekali untuk diikutkan audisi untuk iklan produk kami. Warna rambut dan modelnya cocok sekali pada rambut Mbak Davina. Kapan bisa ikut sesi pemotretan?" desaknya dengan ekspresi serius.

davina melongo. Tidak salah dengarkah ia?! Hatinya mulai membuncah dengan bunga.

"Hm, saya lihat jadwal saya dulu ya Mas," sahut Davina berlagak profesional. "Nanti saya hubungi Mas...."

Pemuda bertampang officer itu cukup puas dengan jawaban Davina. "Oke, oke. Terima kasih ya, Mbak avina. Saya tunggu telepon dari Anda."

Davina kembali berjalan ke arah mobilnya ketika selesai menjabat tangan dengan pemuda itu. Namun lagi-lagi langkahnya terhenti ketika ada langkah-langkah berikutnya yang terdengar buru-buru diselingi panggilan santun.

"Permisi, Mbak. Tunggu sebentar!"

Ketika Davina menoleh, ia kembali bertanya pada dirinya. "Hari apa sih ini?"

Tiba-tiba saja, hari ini, ia dikerubuti oleh pemuda-pemuda keren. Kedua cowok yang tadi melirik-liriknya di dalam salon telah tiba di hadapannya. Sementara itu mobil pemuda bernama Aditya tadi sudah meninggalkan halaman parkir.

"Sorry, boleh kenalan tidak?" tanya si Mata Elang.

Davina membelalak tidak percaya.

Cowok itu melanjutkan, "Aku Satria, dan ini sepupuku, Ryan." Tangannya diulurkan mengajak salaman.

Sembari menyambut uluran tangan itu, Davina menyebutkan namanya. "Davina Rarasadya. Panggil saja Davina."

Lalu percakapan sambil berdiri di tengah jalan kompleks yang sempit itu berlanjut sampai tukar menukar nomor telepon. Ternyata Satria lebih simpatik ketimbang Ryan, bahkan jauh lebih keren dibandingkan pemuda bernama Aditya tadi. Setelah berkenalan, Davina pulang dengan hati bahagia. Tangisnya perlahan berubah menjadi senyuman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar