Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (1)

Chapter 1
Rencana Gila Virgo


Tasya membuka mata. Temaram bias malam menyambutnya. Dia menghela napas panjang. Berapa lama aku tertidur? Lalu didengarnya dengkur halus di sisinya. Sesosok tubuh masih tertidur pulas. Dadanya yang terbuka tampak bergerak naik-turun, seirama alunan napasnya.

Tasya menelusuri raut wajah itu. Alis matanya tebal memikat, saling bertaut pada pangkal hidung bertulang tinggi. Dan, mata yang terpejam itu, betapa menyimpan tatapan sempurna! Menabur sejuta pesona, sekaligus jerat yang tak terelakkan! Tasya terpaku dalam diam. Perlahan, jemarinya membelai dahi pria di sampingnya dengan lembut.

Detik berikutnya, kelopak mata di bawah alis itu terjaga. Tasya bergerak mencari tombol lampu, tapi sebuah rengkuhan menghentikan gerakan tangannya. Dalam sekejap, Tasya sudah berada dalam sebuah dekapan yang kokoh.

“Jangan dinyalakan, aku masih ingin memelukmu dalam gelap.” bisik Virgo, merangkulnya erat.

“Malam makin larut, sudah waktunya kamu untuk pulang,” bisik Tasya pelan, melonggarkan pelukan.

“Jam berapa sekarang?” suara Virgo terdengar malas.

“Hampir tengah malam.”

Pelukan Virgo terlepas dalam satu gerakan, lalu terdengar lenguhan dalam nada penuh keluhan. “Selarut itukah?”

“Ya,” jawab Tasya, sambil menekan tombol lampu. Kali ini Virgo tak menahan gerakan tangannya. Dan, cahaya membias terang.

“Mengapa waktu berlalu begitu cepat ketika bersamamu? Membuatku selalu kekurangan waktu, bagai orang yang dahaga.”

“Kalau begitu, pergilah ke kamar mandi. Hilangkan dahagamu dan mandilah yang bersih!”

“Mandi katamu? Tengah malam begini? Oh, terima kasih banyak,” tolak Virgo mentah-mentah, sembari meraih kemeja di sandaran kursi.

“Aroma tubuhku melekat di tubuhmu, itu bisa memancing kecurigaan Beby,” Tasya memperingatkan.

Gerakan Virgo yang tengah mengenakan kemeja terhenti. Ia berpikir sesaat, lalu dilepasnya kemeja itu. “Apakah semua wanita hamil seperti itu?” keluhnya.

“Hidung dan telinganya mendadak berubah sedemikian peka sehingga bagaikan mengetahui semua yang kulakukan….” Lanjutnya.

Naluri wanita. Tasya berkata dalam hati. Atau naluri janin?

“Mungkin pembawaan bayi dalam kandungannya,” kata Tasya, tanpa nada.

“Ngidam maksudmu? Bisa jadi! Beby jadi serba aneh akhir-akhir ini. Apa pun yang diinginkannya harus tersedia saat itu juga. Apa yang dia minta sekarang harus ada tanpa bisa ditunda lagi,” keluh Virgo, menumpahkan emosi.

“Kamu tahu gaya ngidam-nya yang terbaru?”

Tasya menggeleng pelan. Sebetulnya hatinya nyeri setiap kali mendengar cerita tentang Beby. “Dia ingin naik kapal pesiar ke Milton, melihat indahnya pulau Pandewa!”

“Oh, apa susahnya? Bukankah ada banyak kapal wisata ke sana?”

“Tapi sayang, lihat apa yang akan terjadi padaku! Tiga malam empat hari aku harus mendampingi Beby di kapal! Kamu kan tahu, semenjak hamil, dia rewel luar biasa ….”

“Itu kewajibanmu, bukan? Kehamilannya adalah ‘hasil karyamu’. Jadi, kenapa tidak kamu coba menikmatinya sebagai bulan madu kedua?”

“Kalau boleh memilih, aku lebih suka berlayar bersamamu,” bisik Virgo, sembari merengkuh Tasya yang segera berkelit dan menepis rengkuhan pria itu.

“Sudahlah, cepat mandi, Virgo. Beby sudah menunggumu di rumah….”

“Tunggu! Ini ide yang bagus! Aku sedang berpikir untuk membawamu serta dalam pelayaran itu,” kata Virgo, tertawa.

“Apa?” Tasya terlonjak.

“Kamu ingin menjadikan aku dayang-dayang Beby? Oh, please, Virgo, no way!”

“Dengarkan rencanaku,” kata Virgo, tampak berpikir keras. Sejurus kemudian ia berkata lagi, serius.

“Keikutsertaanmu harus dikemas rapi. Kamu bisa tampil tanpa berpotensi dicemburui istriku,” Virgo menjelaskan penuh semangat.

“Caranya, harus ada seseorang yang mendampingimu, entah sebagai tunangan, pacar, atau apalah! Pokoknya, seseorang yang berperan sebagai pasanganmu!”

“Ide gila! “Jawab Tasya.

“Sama sekali tidak, Tasya. Ini justru ide cemerlang. Suatu permainan yang menggairahkan. Bayangkan, kita berlayar bersama, menikmati cahaya bulan purnama di laut lepas, wow!”

“Maaf, aku tidak tertarik. Lagi pula, pasti tidak akan ada temanku yang sudi ikut berperan sebagai pelengkap penderita dalam permainan sandiwara yang kamu buat!” Tasya menolak jengkel.

“Tidak masalah. Aku sudah memiliki tokoh utama untuk kamuflase itu.”

Tasya tertegun. “Apa maksudmu?”

Virgo tersenyum lebar. “Tempo hari, ada seseorang yang kalah bertaruh. Dia berutang padaku dan aku tahu dia sedang tidak memiliki apa pun untuk membayarnya. Jadi, pasti dia mau melakukan apa saja untuk melunasi utangnya. Apalagi mendampingi gadis secantik kamu, meskipun hanya sandiwara.”

“Virgo!”

“Jangan cemas, Tasya. Kamu pasti tidak akan kecewa pada penampilannya. Dia tinggi dan tampan, kok. Kalau tidak demi rencana ini terlaksana, aku juga tidak akan rela melihatmu berdampingan dengannya. Apalagi memikirkan kalian harus tidur sekamar!” Virgo menggelengkan kepalanya.

“Cukup, Virgo! Hentikan khayalan gilamu itu!” bentak Tasya, habis kesabaran.

“Kau pikir aku ini apa? Menyuruhku berpasangan dengan pria yang tidak kukenal demi mendampingimu pesiar dengan istrimu?”

“Tapi Tasya, aku benar-benar ingin berlayar dan bercinta denganmu di bawah cahaya bulan. Kapan lagi kita akan mendapatkan kesempatan seperti ini?” Virgo merengek manja, seperti anak kecil.

“Kita bisa melakukannya kapan-kapan, Virgo. Hanya kita berdua,” ucap Tasya, tak tega mendengar keluhan Virgo.

“Tidak mungkin, Tasya. Kamu kan tahu, semenjak hamil, Beby tidak mengizinkanku pergi, ke luar kota sekalipun.”

“Tapi….”

“Sudahlah, kamu tidak usah takut. Aktor kita ini bukan seorang pria yang berwatak nakal, apalagi terhadap wanita. Lagi pula, aku akan memberinya persyaratan yang sangat ketat, sehingga kujamin kamu aman bersamanya. Dia pasti tidak berani melanggar persyaratanku. Selain itu, bukankah aku berada di kapal yang sama? Aku bisa segera berada di sisimu secepat yang kamu inginkan. I will be there for you Tasya!”

“Aku…,” Tasya ragu-ragu.

“Tenang saja. Besok akan kupesan tiket dan kita akan menikmati pelayaran ini seperti bulan madu pengantin baru. Ya?” bujuk Virgo, dengan tatapan manjanya.

Tasya mengerjapkan mata. Tatapan itu, mengapa ia selalu terjebak di dalamnya? Bagai mangsa yang terjaring laba-laba!


Hari Pertama

Seorang petugas kapal membantu Tasya menemukan kamarnya. Dengan sopan diketuknya pintu sebelum membuka pintu kamar. “Sudah ada yang menunggu Ibu di dalam, silakan….”

Langkah Tasya terhenti di ambang pintu. Keraguan mendadak menguasainya. Dia menyadari, bahwa ia tidak berlayar sendirian. Tasya tidak menempati sebuah private room, melainkan kamar umum. Ya, di kapal ini, statusnya adalah menjadi ‘tunangan’ seseorang. Dan, seseorang itu sosok yang asing baginya. Sekadar namanya pun ia tak tahu. Tasya sendiri merasa heran pada dirinya. Mengapa akhirnya ia mau saja menerima bujukan Virgo, menjalankan ide gila di dalam kapal pesiar ini! Maka, ketika sosok itu muncul di depannya, Tasya tertegun dalam kegamangan yang luar biasa.

Pria itu berdiri di sisi jendela. Tubuhnya tinggi seperti yang digambarkan Virgo. Rambutnya ditata rapi ke bawah. Sebuah ransel masih menggantung di pundaknya. Rupanya, meskipun sudah lama berada di kamar, dia belum juga berbenah. Apakah ia merasakan kegamangan yang sama?

Taysa menarik napas, menghimpun kekuatan. Sengaja dibuatnya suara yang sedikit gaduh, seirama hentakan sepatunya di dek kapal. Ternyata berhasil. Kehadirannya membuat pria itu berbalik dan menoleh kepadanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar