Sabtu, 24 April 2010

Cintailah Aku (2)

Chapter 2
Rasa Cintaku


Hari ini kami chatting lagi. Aku coba beranikan diriku untuk bertanya langsung padanya tentang sesuatu yang sangat membuatku penasaran selama ini. Kuketikan beberapa kata di layar monitor.

“Bima, aku mau nanya. Agak sedikit private sih. Kamu keberatan, enggak?” tanyaku sedikit malu.

“Del, memangnya aku bawa apaan sih sampai keberatan segala. Aku kan lagi enggak ngangkut kontainer.” Sebuah balasan muncul dari layar monitorku.

“Dodol! Aku pengen tahu aja. Tujuan kamu chatting di internet sebenarnya untuk apa sih?” tulisku lagi membalas jawaban Bima.

“Nyari temen ngobrol dong!” balasnya kemudian.

“Basi tahu!” ejekku.

“Terus aku musti gimana dong? Nyari jodoh?!? Begitu maumu?” sahutnya lagi.

“Yah, ngaku aja deh kalau kamu memang lagi nyari jodoh lewat internet. Aku enggak marah kok kalau kamu jujur. Semua cowok kan memang begitu.”

“Kok, kamu jadi sentimen begini sih, Del? Aku tuh udah jawab secucur-cucurnya, loh? Atau kamu mau pake kue serabi juga? Oke nanti aku tambahin deh. Suka rasa apa? Pisang coklat? Nangka keju? Atau Durian keju?”

“Dasar! Susah banget sih ngomong sama orang aneh.” Aku merasa gemas pada Bima saat itu juga. Dia memang konyol.

“Nah, you know me-lah?” tulisnya dengan gaya bahasa Malaysia.

“Ngambek ah!” gerutuku kesal.

“Yee, begitu aja ngambek. Begini Adelboy alias Adelia Tomboy. Aku memang bener-bener nyari temen ngobrol, terus aku juga pengen menambah wawasan dengan bertukar informasi dengan mereka. Siapa tahu nanti aku bisa berbisnis dengan mereka. Misalnya bisnis jual beli komputer second ke Papua, atau bisnis pulsa, de el el. Begitu. Kalau soal jodoh, itu sih enggak usah di pusingin. Nanti juga datang sendiri tanpa harus kita kejar. Udah ngerti kan Adelboy?” Bima mencoba menjelaskan lagi kepadaku.

“Ooh!” jawabku singkat saja.

“Kok cuma ooh doang? Bilang aja kalau kamu tuh takut denganku kan?”

“Takut kenapa?”

“Ya, takut kalau aku ternyata berusaha mendekati kamu bukan karena faktor persahabatan. Ya, kan? Tapi karena faktor XXX. Kalau begitu, bagaimana kalau kita CI saja, yuk?” godanya.

“Ih, konyol! Norak! Ide gila dari mana lagi tuh? Ga banget deh? Pergi ke laut aja sana lalu kencan dengan gurita!” ketikku sambil mencibir pada layar monitor.

Memang Bima sangat konyol. Tapi kekonyolannya itu yang membuatku menjadi semakin tertarik padanya. Dia itu cowok yang paling bisa membuat diriku tertawa dengan lepas.

Selain chatting, kami juga sering bicara melalui telepon. Kami sering berbagi cerita dan memberi komentar. Persahabatan kami terasa indah. Semakin lama aku mengenalnya, maka aku semakin tergoda untuk semakin mengetahui pribadinya. Dia sangat kocak, dia juga nyambung kalau aku ajak bicara. Satu hal lagi, dia suka sekali utak atik komputer sampai jebol. Jika sudah begitu dia hanya berkata, “Aku ternyata hanya bisa terima bongkar and enggak terima pasang.” Apa enggak keder tuh?

Tumben sekali hari ini Bima meminta fotoku. Dia ingin tahu rupa asliku. Aku masih ragu untuk memberikan fotoku padanya. Timbul pertanyaan dalam diriku, apakah nanti dia bisa menerima diriku yang sebenarnya? Atau mungkin, bisa saja kuberikan foto orang lain yang wajahnya cukup cantik kepadanya? Tapi, bukankah itu berarti aku membohonginya? Seorang sahabat tidak mungkin membohongi kawannya, Itulah yang seharusnya aku lakukan.

“Del, aku minta foto kamu dong! Biar aku tahu seperti apa tampangmu. Kira-kira sama seperti yang aku bayangkan apa enggak ya?”

“Ogah! Aku malu. Lagi pula aku enggak punya foto,” jawabku berbohong. Padahal aku punya banyak sekali file fotoku dalam komputer. Aku masih merasa takut kejadian dulu terulang lagi. Jika nanti dia mengetahui rupa asliku, jangan-jangan Bima akan memutuskan untuk berhenti menghubungiku seperti yang lain dan stop pulalah persahabatan yang sudah dibina ini.

“Pelit!” sindirnya

“Biar! Aku jadi curiga, jangan-jangan fotoku nanti akan kamu pakai untuk nakutin tikus doang.”

“Hari geenee, kok masih ngasih alasan yang dah lama basi begitu. Apa enggak ada alasan lain? Di update dong! Yang pasti sih, fotomu akan aku pajang di pintu depan buat nakutin maling. Biar dia takut masuk ke dalam rumah gara-gara lihat wajahmu,” ledek Bima sambil terkekeh-kekeh.

Aku jadi keki. Bima memang sering sekali meledekku dan sepertinya dia suka sekali melakukan itu padaku. Soalnya aku gampang sekali ngambek. Tapi dengan mudah pula dia membuatku tertawa lagi.

“Ya udah, aku kasih fotoku dulu aja, ya? Nanti kamu cek lewat emailmu. oke? Terus, setelah kamu puas lihat wajahku yang guanteng kayak Robert Pattinson, nanti aku minta kamu untuk mengirim balik foto terbaikmu. Setuju?”

Ternyata Bima menepati janjinya. Dia mengirimkan fotonya ke emailku. Dalam foto itu berdiri seorang cowok yang sangat tampan dan keren, sedang duduk di sebuah batu besar. Di bagian latarnya kulihat sebuah sungai yang airnya tampak mengalir di sela-sela bebatuan. Aku enggak nyangka kalau Bima ternyata sangat keren sekali. Sejak saat itu setiap kali Bima menghubungiku, aku selalu membayangkan dirinya dengan wujud pria dalam foto tersebut.

Semakin hari perasaanku terhadap Bima menjadi berubah. Kupikir kini aku telah melewati batas sebuah persahabatan. Aku telah menodai janjiku sendiri untuk tidak menyukai cowok dari internet. Bima telah mengisi hari-hariku dengan berbagai keceriaan. Dia tahu bagaimana caranya untuk menghiburku jika aku sedang sedih. Dia tahu bagaimana caranya membuatku bersemangat lagi. Dia juga bisa mengetahui jika aku menyembunyikan sesuatu darinya.

“Hayo! Hari ini kamu lagi bete ya? Ngaku aja?” tudingnya hari ini di telepon.

“Kamu kok bisa tahu sih kalau aku lagi bete? Udah ganti profesi jadi penyelidik apa jadi paranormal atau dukun? Jangan-jangan kamu berguru sama Ki Joko Bodo, ya?” tanyaku keheranan.

“Bukan! Aku ini justru gurunya Mbah Surip!” dia tergelak.

“Ngawur!” Tanpa terasa aku pun ikut tergelak bersamanya. Nah, setelah itu biasanya aku mulai curhat deh ke dia. Jujur saja dia juga bisa menjadi pendengar yang baik dan juga bisa menjadi penasehat yang handal.

Setiap hari aku jadi selalu memikirkan Bima. Jika hari ini dia tidak menghubungiku, aku merasa hampa. Bima sudah seperti candu untukku. Kehadiran Bima layaknya obat rindu untukku. Bima aku ingin berterus terang kepadamu. Tapi bagaimana caranya ya?

Kuputuskan untuk mengirimkan sebuah lagu dari Radio untuknya. Lagu ini mengungkapkan isi hatiku padanya. Semoga saja Bima dapat memahami dan mengerti akan perasaanku.

“Bim, coba deh dengerin Radio Megaparts sekarang. Aku tadi request ke sana agar mereka memutarkan sebuah lagu khusus untuk kamu,” ujarku hati-hati. Aku tidak ingin dia tersinggung.

“Wah, asik dong! Oke, sebentar ya? Aku coba cek sekarang.” Teleponpun terputus. Lima menit kemudian, kami berdua sudah menikmati lagu yang kukirimkan untuknya. Lagu itu kupilihkan khusus untuknya. Sebuah lagi dari Afgan berjudul “Bukan Cinta Biasa”.

Ketika lagu tersebut berakhir, tiba-tiba ponselku berbunyi. Tertera nama Bima di layar ponselku.

“Del, makasih ya atas lagunya. Aku suka.”

Aku begitu bahagia saat dia bilang menyukai lagu kirimanku. Perasaanku kian melambung tinggi. Entah karena mood-ku yang sedang bagus atau memang sudah tiba saatnya aku memperkenalkan diriku yang asli padanya. Aku kemudian mengirimkan foto diriku kepadanya. Kukirimkan foto terbaikku, agar tidak terlihat jelek dimatanya. Aku merasa yakin jika Bima akan menerima kondisiku setelah melihat rupa asliku. Karena aku yakin dia tidak sama dengan cowok-cowok lainnya yang telah meninggalkanku dengan begitu saja dan aku juga yakin dia memang mencari persahabatan bukan yang lainnya.

“Bim, kamu udah nerima fotoku kan?”

“Ya. Ternyata kamu tuh lucu. Kamu kelihatan pendek, kecil, udah gitu rata lagi. Coba ya aku pikir-pikir kamu tuh mirip apa ya?”

“Apa? Pasti mau ngeledek. Ya, kan?” tebakku padanya

“Hehehe... kayak kue bantet,” godanya sambil terkekeh-kekeh.

“Tuh, kan? Sebel!” gerutuku malas.

Enggak deh! Kamu cukup manis deh. Seperti gulali,” ledeknya lagi.

“Kamu kayak bakpau,” umpatku kemudian membalas ledekannya.

Kami tergelak bersama. Sebelumnya aku tak pernah merasakan sebuah perasaan senang dan bahagia bila berbicara dengan seseorang. Hanya Bima seorang yang justru bisa memberikannya kepadaku. Apakah Bima menyadarinya bahwa setiap ucapannya serta perhatiannya sangat berpengaruh besar padaku. Dia seperti magnet dan aku telah terperangkap dalam gravitasinya. Ingin rasanya saat ini aku bertemu dirinya secara langsung dan mengungkapkan semua isi perasaanku padanya. Tapi kira-kira, apakah pantas?

Bima kamu membuatku merasa gemas sekali. Kamu membuat hatiku semakin bertambah miris. Bisakah persahabatan ini berubah menjadi sebuah kisah asmara yang indah? Jujur saja, aku semakin tidak bisa menahan perasaanku yang semakin hari semakin membuncah. Aku menyukai pribadimu. Apalagi setelah melihat fotomu. Ternyata imajinasiku tentang dirinya tidaklah jauh berbeda. Bima, apakah kamu mengerti apa yang terjadi dalam diriku sekarang ini?

Kucoba mengirimkan lagi sebuah lagu dari Melly Goeslaw dengan judul “I Just Wanna Say I Love You” untuk Bima lagi. Tapi kali ini dia tidak memberikan sedikitpun komentar. Dia hanya diam.

“Bima? Kamu marah karena lagu itu? Atau marah karena aku?” pancingku padanya untuk berbicara.

Dia hanya bernafas panjang.

“Bima! Please, ngomong dong! Aku salah, ya? Aku minta maaf, deh. Aku enggak bermaksud untuk menyinggungmu. Bima, kamu jangan diam aja dong?’ rengekku kemudian karena Bima tetap tidak mau membuka mulutnya.

Kemudian Bima membuka mulutnya. “Del, gue enggak tahu harus ngomong apa. Mungkin lebih baik kita ketemu langsung. Biar lebih enak. Bagaimana?”

“Oke!” Aku menerima ajakannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar