Rabu, 21 April 2010

Pilihan Tasya (7)

Chapter 7
Keputusan Tasya


Tasya termenung sejurus lamanya. Lalu, dilihatnya dirinya sendiri. Inikah kebahagiaan yang diinginkannya? Meraih cinta dalam genggaman, tapi harus menyembunyikan diri sedemikian rupa? Ya, ya, siapkah dia menerima posisi sebagai ‘wanita kedua’ di dalam kehidupan Virgo?

Tasya belum selesai dengan pertimbangan-pertimbangan itu ketika mendadak alarm kapal berbunyi nyaring. Membelah ke sunyian malam.

“Kebakaran! Ada kebakaran!” tiba-tiba terdengar teriakan seseorang, entah siapa. Detik itu juga suara-suara gaduh membuncah. Kepanikan melanda para penumpang yang secara tak terkendali bergerak untuk menyelamatkan diri masing-masing. Suasananya luar biasa kacau. Berbaur suara jeritan dan tangisan di mana-mana.

Tasya terpaku. Dia belum sepenuhnya sadar pada apa yang terjadi di kapal yang mereka tumpangi, ketika dilihatnya Virgo meloncat dan melepaskan genggaman tangannya begitu saja.

“Beby!” Virgo berseru keras, dan bagai kesetanan dia segera berlari menuju ke kamarnya mencari istrinya. Sama sekali tak dipedulikannya Tasya yang baru beberapa detik lalu berada dalam pelukannya.

Di kursinya, Tasya duduk membeku dalam keterkejutan yang panjang. Reaksi spontan yang baru saja dilihatnya pada diri Virgo adalah realitas. Suatu kenyataan yang menghanguskan bangunan mimpi dan harapan yang selama ini disusun satu demi satu. Hangus sudah, berantakan! Apakah kapal ini akan hangus juga seperti mimpiku barusan?

“Tasya….” Sebuah tepukan di bahu mencairkan kebekuan gadis itu. Dia menoleh. Indra berdiri di belakangnya dengan raut muka penuh kecemasan yang tak tersembunyikan. “Kamu baik-baik saja?”

“Ya,” Tasya mengiakan. “Ada kebakaran?”

“Bukan,” Indra menggeleng. “Hanya ada sedikit asap di dapur, barangkali masakan hangus atau entah apalah, tapi rupanya seorang penumpang yang kebetulan melihat itu telanjur panik, mengaktifkan alarm. Sekarang sudah teratasi.”

Tasya melihat sekelilingnya. Benar juga, situasi yang tadi begitu kacau dan hiruk-pikuk, kini telah tenang kembali, meskipun menyisakan meja dan kursi yang porak-poranda.

“Selendangmu,” Indra mengulurkan selendang dan mengalungkannya pada bahu Tasya. “Kamu selalu lupa membawanya, sementara malam begitu dingin, jadi kupikir kamu pasti akan memerlukannya.”

“Terima kasih,” bisik Tasya, nyaris tanpa suara. Dia merasakan kehangatan menyentuh bahunya. Bukan karena balutan selendang itu, tapi lebih karena getar yang menyertai gerak selendang itu. “Kenapa kamu selalu bisa menemukan aku?”

Indra terkejut. “Kamu curiga aku mengikutimu?”

Tasya menggeleng. Dia tidak memerlukan jawaban lebih lanjut. Dia tahu Indra tidak melakukan itu. Kartu yang menyertai rangkaian mawar merah muda untuknya tadi, tentulah merupakan petunjuk yang jelas bagi Indra untuk menemukannya di teras ini.


Hari Keempat

“Berbahagialah orang yang bisa menangis, karena sesungguhnya dia telah berhasil melakukan satu pelepasan,” kata Indra, sembari menaburkan merica pada telur dadar sosis-nya.

Ini sarapan mereka yang terakhir di atas kapal. Sore nanti kapal akan berlabuh di Singapura.

Tasya mengangkat alis, “Kamu menyindirku?”

“Mungkin.” Indra tersenyum lebar. “Nice crying!”

“Terima kasih, kamu menertawakan kesedihanku.”

“Sedih? Hei, lihatlah dirimu!” Indra menepuk jemari Tasya, seakan menyadarkannya dari sesuatu. “Semalam memang kamu menangis, tapi pagi ini kesedihan itu sungguh tidak tersisa, bahkan bekasnya pun tidak ada. Bercerminlah, dan lihat betapa cerahnya kamu hari ini! Matamu begitu bercahaya, yang bahkan tidak pernah kulihat sejak hari pertama kita bertemu.”

“Kamu sedang berusaha menghiburku?” Tasya berucap dingin.

“Tidak,” Indra menggeleng jujur. “Sungguh, aku melihatmu sebagai sosok yang baru hari ini!”

“Benarkah?” Tasya melunak.

“Itu pendapatku. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu semalam, dan bukan hakku untuk tahu lebih jauh. Aku bukan wartawan infotainment dan kamu juga bukan selebriti. Tapi, kurasa kamu mengalami sesuatu yang luar biasa, semacam pelepasan seperti yang kukatakan tadi, dan itu membuatmu menjadi seseorang yang baru hari ini.”

Tasya menghela napas panjang. Analisis yang sangat tepat. Sedemikian mudahkah dirinya terbaca? Tapi baiklah, memang tidak ada yang perlu disembunyikan lagi di hadapan Indra.

“Semalam aku telah mengambil keputusan,” katanya kemudian. Ia telah mengambil keputusan itu, bahwa ia ingin bersikap jujur, apa adanya. Juga terhadap Indra.

“Tentang apa?” Indra menunggu.

“Virgo. Aku ingin hubungan kami berakhir.”

Indra terkejut. Gerakannya mengunyah terhenti. Dia tak menyangka Tasya akan berkata selugas itu.

“Bagaimanapun, aku merasa kehilangan. Dia…,” Tasya berpaling, menyembunyikan bening di ujung matanya yang datang tiba-tiba.

“Kamu mencintainya,” lanjut Indra.

“Ya, tapi sesudah pelepasan itu aku seperti terbebas dari sesuatu. Hatiku terasa ringan.”

“Virgo setuju?”

“Entahlah. Ini baru keputusan sepihak.”

“Bagaimana bila dia tidak mau melepaskanmu?”

“Kita akan segera mengetahuinya. Untuk itu, aku memerlukan bantuanmu.”

“Apa?”

“Siang ini juga aku harus menemui Virgo, karena itu pastikan kamu bisa membebaskannya dari Beby.”

“Oh, berapa lama?”

“Kira-kira satu jam. Apakah itu cukup bagimu?”

“Baiklah, di mana kamu akan menemui Virgo?”

“Café Lavender, dek 8.”

“Jangan khawatir, akan kuusahakan Beby ‘sibuk’ di perpustakaan, atau paling tidak, di taman bermain anak yang berada di dek 10 dan 12. Nah, cukup jauh bukan dari kalian?”

“Baguslah! Kamu berbakat juga menjadi pemandu,” Tasya berusaha tersenyum. Dia merasa berterima kasih pada Indra.

Di ujung meja, Tasya berdiam diri. Dia mencoba mempersiapkan hatinya. Betapapun keteguhan telah dimilikinya, tak bisa disangkal, pada sisi hatinya yang lain telah terjadi keguncangan yang tak terhindarkan. Sungguh bukan suatu hal yang mudah untuk mengambil keputusan itu! Berpisah dari Virgo? Hah!

Beberapa menit kemudian, pintu sorong terbuka.

Virgo berdiri di ambang pintu. Sejenak keraguan tampak menguasainya. Tersirat jelas, betapa pria itu canggung dan gugup.

“Kata Indra, kamu mencariku?” terlihat jelas Virgo menekan kegugupannya.

“Ya.” Tasya mengangguk dingin. Dan, Tasya terkejut mendengar suaranya sendiri. Begitu dingin suara itu, nyaris sedingin es. Ah, mengapa jadi begini? Mengapa mereka begitu kaku satu sama lain? Kemana perginya hari-hari berlumur madu yang mereka reguk selama ini?

“Soal semalam, maaf, aku…,” Virgo terdiam, kehilangan kata-kata.

“Sudahlah, Virgo. It’s okay. Aku tidak apa-apa,” kata Tasya, tenang.

“Aku sedemikian gugup sehingga meninggalkanmu begitu saja,” Virgo memaparkan pembelaan diri. “Yang terpikirkan olehku, Beby tidak bisa berenang dan dia….”

Sedang mengandung, sambung Tasya dalam hati. Dan, kamu tak punya waktu untuk mengetahui bahwa aku juga tak bisa berenang!

“Sudah sepatutnya kamu melakukan itu,” kata Tasya dengan tenang. “Tidak usah menyesali dirimu, kamu telah mengambil keputusan yang tepat.”

“Tapi, aku meninggalkanmu…,” kata Virgo, menyesal.

“Manusia memiliki keterbatasan, kamu tidak mungkin mendapatkan semua yang kamu inginkan, Virgo.”

“Tapi, aku menginginkanmu lebih dari semuanya.” Virgo meraih jemari Tasya dan mengecupnya lembut.

Tasya menahan diri. Disadarinya bahwa jurang menganga lebar di depannya. Sekali ia salah melangkah, habislah sudah! Kecupan itu, meski lembut menyentuh hati, bisa saja menjadi pendorong ke dalam jurang maut.

“Jangan lakukan itu.” Tasya berusaha melepaskan jemarinya.

“Kenapa?” Virgo menahan jemari itu dalam genggamannya.

“Maksudku… kita sudah selesai. Hubungan kita cukup sampai di sini saja, Virgo!”

“Tidak!” Virgo tampak jelas tidak setuju. Tanpa sadar ia mencengkeram jemari Tasya dengan kuat sehingga gadis itu meringis kesakitan.

“Oh, maaf Tasya. Aku tidak bermaksud menyakitimu,” kata Virgo, melepaskan genggamannya. “Aku tahu, kamu berhak marah atas sikapku semalam. Tapi, itu tidak cukup menjadi alasan untuk menghentikan hubungan kita. Aku mencintaimu dan karenanya aku tidak akan melepaskanmu dengan alasan apa pun!” lanjut Virgo tegas.

“Tapi, aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi,” Tasya bersikeras.

“Kenapa?”

“Aku punya keinginan lain, tidak sekadar menjadi ‘kekasih gelap’-mu!”

“Baik. Aku akan menikahimu, Tasya.”

“Tidak! Bukan itu yang kuinginkan!”

“Lalu, apa?” nada suara Virgo menjadi tak sabar.

“Cinta….”

“Sudah berapa kali kukatakan, aku mencintaimu, Tasya!”

Tasya menggeleng perlahan. “Yang kamu punya adalah cinta yang terbelah. Dan, itu tidak cukup untukku. Kupastikan, Beby pun demikian.”

“Kamu ingin aku menceraikan Beby?”

“Tidak, karena itu pun belum cukup untukku!”

“Jadi, apa maumu sebenarnya?” Virgo nyaris kehilangan kesabaran.

“Sebenarnya adalah karena aku telah melihat dirimu dan diriku yang sesungguhnya,” kata Tasya, tetap dengan penuh ketenangan. Emosinya tampak betul-betul terkendali.

“Menurutmu, kamu mencintaiku, tapi sesungguhnya aku hanyalah sekadar ‘tamu’ di teras hatimu. Sebagai tamu, tentulah kamu perlakukan aku dengan istimewa. Dan sebagai tamu, kubawa sesuatu yang indah bagimu, sebagai variasi penyegar hidupmu. Tapi, seorang tamu tetaplah tamu. Waktuku hanya sesaat, hakku sangat terbatas. Begitu kuambil lebih dari yang sepatutnya, maka jadilah aku sebagai duri dalam daging dalam hidupmu!”

“Tidak Tasya, tidak seperti itu!” bantah Virgo. Ia tampak mulai gusar.

“Lihatlah dirimu sendiri,” sambung Tasya, tak peduli. “Tidakkah kamu sadari bahwa sesungguhnya kamu mencintai Beby? Aku telah melihatnya semalam. Ketika nalurimu memilih untuk menyelamatkan Beby, sementara aku ada di sisimu. Itu sesungguhnya karena cinta pada alam bawah sadarmu yang menggerakkannya. Beby yang ada di hatimu, bukan aku….”

“Maafkan aku, Tasya. Hal itu…, ” Virgo ragu untuk meneruskan kalimatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar