Sabtu, 24 April 2010

Cintailah Aku (3-End)

Chapter 3
Gay???


Esok harinya kami bertemu di Lavender Park. Kami duduk di rerumputan yang terhampar di tanah. Ku lirik Bima yang sedang menatap Danau Wizard dengan pandangan hampa. Ternyata Bima yang asli jauh lebih sempurna dan keren menurutku. Tadi saja nyaliku langsung ciut ketika baru pertama bertemu Bima di sini. Aku jadi minder di hadapannya, karena aku menganggap diriku tidak sebanding dengannya. Bola mata Bima berwarna coklat dan dia memandangku dengan ramah, kulitnya bersih, gaya berpakaiannya pun rapi, dan dia wangi. Hmm, dia lelaki pesolek juga rupanya.

Bima berdehem. “Del. Aku seneng akhirnya bisa bertemu kamu di sini. Kamu juga pasti seneng dong ketemu aku?”

“Oh, iya. Jelas sekali! Tapi aku sedikit minder nih kalau deket-deket kamu. Kamu ganteng banget sih! Tuh, lihat! Banyak cewek-cewek cantik yang ngelirik ke aku. Pandangan mereka padaku terlihat sangat ganjil, kan? Mungkin mereka kini sedang mengejekku karena aku enggak cocok duduk di sebelah kamu.”

“Kamu ini!” Bima menjitak kepalaku. “Begitu aja dipikirin. Kan udah aku bilang, kamu harus jadi kuat dan tegar. Jangan jadi orang yang lemah lagi. Satu lagi, jangan pernah jadi pemalu yang malu-maluin lagi. Tahu enggak? Biar saja mereka memandangmu dengan aneh. Anggap saja enggak ada yang aneh dengan dirimu. Pe de aja. Oke?” Bima mengingatkan aku lagi.

“Ya, deh! Terus sekarang, kamu mau bilang apa padaku waktu kemarin?” desakku yang sudah mulai gatal ingin tahu perasaannya padaku.

“Oke!” Bima kemudian menggeser duduknya dan duduk menghadap ke arahku. Del, kamu suka aku?” tanyanya langsung.

Aku terhenyak. “Ya. Aku suka,” jawabku sedikit malu.

“Suka dalam arti sebagai sahabat atau ada rasa yang lain?” desaknya.

“Mmm....” Aku sedikit ragu untuk menjawabnya.

“Jujur saja. Aku enggak akan marah. Aku senang jika kamu bisa berterus terang padaku. Ingat! Kita akan selalu terbuka jika sedang mempunyai masalah. Ya, kan?” Bima tersenyum padaku ramah. Tatapannya yang begitu teduh membuatku menjadi luluh di hadapannya.

“Ya. Aku pikir....” Aku mencoba mengambil napas dalam-dalam. “Aku memang telah tertarik padamu,” kataku mencoba jujur di hadapannya.

Aah, lega sekali rasanya saat aku telah berhasil mengungkapkannya pada Bima. Tapi, bagaimana dengan Bima? Bima terdiam. Kemudian dia menyentuh jemariku dan menggenggamnya dengan erat. Perasaanku semakin tidak menentu ketika dia menyentuhku. Hatiku kebat-kebit tak karuan. Rasanya seperti ingin meledak.

“Adel, aku tak tahu harus bagaimana padamu. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untukmu. Del, cobalah untuk mengerti aku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu. Aku jelas tidak bisa memberikan apa yang kau inginkan. Aku minta maaf padamu. Tapi aku bisa memberikan perhatian yang lain padamu. Kita bisa menjadi sahabat dekat, atau aku juga bisa menjadi saudara terdekatmu yang bisa kamu goda dan bisa kamu ajak sharing. Bagaimana?”

Aku memandangnya dengan perasaan kecewa. Tiba-tiba hatiku terasa panas.

“Jangan bicara seperti itu dan jangan berjanji apa pun! Kamu memang sejak awal tidak tertarik padaku sama sekali. Ya, kan? Apalagi setelah kamu melihat rupa asliku. Aku yakin setelah pertemuan ini, kamu akan diam-diam pergi meninggalkanku. Sama seperti cowok-cowok lainnya yang pernah aku kenal. Begitu kan? Ternyata kamu juga tidak berbeda dengan cowok-cowok itu! Kalau begitu untuk apa jalinan persahabatan yang sudah kita bina selama ini?” seruku miris.

Tak terasa airmataku mulai mengalir deras. Aku tergugu di depannya. Aku merasa sendiri dan tak mempunyai pegangan. Aku merasa lemah. Kupikir tak ada gunanya lagi berurusan dengan Bima. Dia hanya akan menyakiti hatiku saja. Aku mungkin memang ditakdirkan untuk sendiri di sini. Aku berlari menjauhi Bima. Kutinggalkan dia yang tampak bingung dan merasa bersalah. Dia memanggil-manggil namaku. Tapi aku tidak perduli. Aku ingin berlari dan hanya berlari sejauh-jauhnya hingga aku capek.

Aku tak tahu harus bagaimana lagi. Aku kemudian berhenti di sebuah pohon dan menangis disana sejadi-jadi. Dunia terasa bukan milikku saat ini. Aku ingin sekali menjerit, tapi suaraku tidak dapat keluar. Tiba-tiba sebuah lengan yang kekar menyentuh bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatkan sosok Bima yang telah menyentuhku. Aku berpaling padanya. Aku ingin berlari lagi dan menjauhinya. Tapi tampaknya kakiku tidak mampu lagi melangkah dan menuruti perintahku. Dia hanya diam tak bergerak.

“Del,” sapa Bima lembut. “Kumohon kamu mau mendengar penjelasanku kali ini. Setelah itu terserah kamu mau melakukan apa. Aku hanya ingin kamu juga mengerti kondisiku,” pintanya dengan penuh harap.

Aku hanya diam dan tidak melakukan apa-apa. Aku tetap memalingkan wajahku darinya. Aku malu padanya karena telah berani menyukainya. Dan aku juga malu karena dia telah menolakku. Aku berharap, jika dari awal semua ini kusadari akan begini akhirnya, tentunya aku tidak akan berani membiarkan perasaanku tumbuh dan berkembang.

“Adel, aku ingin kamu tahu. Aku memang tidak bisa membalas cintamu.”

“Karena aku jelek. Betul kan?” selaku dengan nada tinggi.

“Bukan itu. Sejak awal aku sudah memberitahumu, Del. Tampang tidak menjadi soal buatku. Aku suka kamu apa adanya,” sanggahnya.

“Lalu apa? Apa yang membuatmu tidak bisa mencintaiku?” kataku masih penuh emosi.

“Aku bukanlah pria yang cocok untukmu. Aku bukanlah pria yang bisa kamu harapkan. Aku bisa menyukaimu tapi tidak bisa mencintaimu. Karena....” Bima terdiam sesaat.

“Karena aku, aku bukanlah pria yang normal. Aku ini tidak bisa mencintai seorang gadis. Aku hanya bisa mencintai sesama jenisku. Aku ini seorang gay,” ungkapnya dengan jujur.

Aku benar-benar terkejut saat mendengar kata “gay” dari mulutnya. Ini sebuah kejutan lain yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Bima yang menjadi sahabatku selama ini dan juga cowok yang aku cintai selama ini adalah seorang gay? Sungguh, aku tidak bisa mengerti, kenapa ini bisa terjadi pada dirinya dan diriku. Apakah ini semacam lelucon untuk membuatku melupakannya?

“Kamu bohong! Kamu hanya mengatakan itu supaya aku bisa melupakanmu. Betul, kan?” desakku padanya.

“Aku tidak pernah membohongimu. Selama kita bersahabat, sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan masalah ini. Pada saat kamu mengirimkan lagu yang pertama, aku memang menyukainya tapi aku juga sedih karena pada saat itu juga sebenarnya aku sudah siap untuk mengatakan tentang kondisiku. Akibatnya, aku menjadi ragu sendiri. Aku melihatmu begitu bahagia. Lalu kuputuskan mengurungkan niatku hari itu karena aku takut jika kamu mendengar hal ini hatimu akan semakin sedih.”

Aku menangis. Aku memang bodoh. Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya Bima mempunyai sebuah masalah. Selama ini justru dia yang selalu membantu semua masalahku, tapi aku justru sama sekali tidak membantunya. Sahabat seperti apa aku ini?

“Kulihat, semakin hari perasaanmu semakin bertambah padaku. Apalagi setelah kamu mengirimkan lagu kedua. Kurasa sudah seharusnya aku menceritakan hal ini padamu sekarang. Aku tidak ingin perasaanmu untukku semakin dalam. Karena aku tahu bahwa kamu akan kecewa dikemudian harinya jika tetap mengharapkanku.” Bima kemudian menarikku dan mengangkat wajahku.

“Adel, kamu gadis termanis yang pernah aku kenal. Jika saja aku lelaki normal, aku pasti bisa membalas perasaanmu. Tapi aku tidak bisa. Aku hanya bisa memberikan kasih sayangku padamu hanya sebagai seorang sahabat atau saudara. Aku menganggapmu sebagai bagian dari keluargaku. Aku siap melindungimu. Aku siap untuk mendengar ceritamu. Aku juga masih mau bercanda denganmu seperti biasa. Aku janji tidak akan menyakitimu dan meninggalkanmu. Karena kamulah yang terbaik untukku.”

Kata-kata Bima begitu menyentuh lubuk hatiku. Walau hati ini masih terasa sakit karena perasaanku tidak bisa terbalas, aku juga merasa kasihan padanya. Masalah dia justru jauh lebih rumit dariku. Bisa dibilang kelainan pada dirinya merupakan sebuah penyakit. Bisakah aku menyembuhkanmu Bima dan membuatmu menjadi normal kembali? Aku ingin sekali kamu bisa hidup normal seperti yang lainnya.

“Bim. Aku minta maaf atas sikapku tadi,” ujarku malu. Air mataku masih jatuh membasahi pipiku.

“Tidak ada yang perlu di maafkan. Aku ikhlas,” ujarnya lembut sambil mengusap air mataku. “Aku justru yang seharusnya meminta maaf padamu.”

Aku menggeleng. “Tidak! Akulah yang seharusnya kamu maafkan. Aku tidak menyadari jika kamu mempunyai masalah seperti ini. Aku bukanlah sahabat yang baik. Aku hanya mementingkan perasaanku sendiri saja. Aku tidak peka. Selama ini kamu selalu membantuku, tapi aku justru tidak pernah membantumu. Aku malu padamu, Bim.” Aku tergugu dihadapannya.

Bima memandangku penuh perhatian. Dia menarikku lebih dekat lagi dan memelukku. Dia mencium keningku dengan penuh kasih.

“Bima, tidak bisakah kamu berpura-pura mencintaiku?” Aku berharap dia bisa merubah pikirannya.

“Adel, kamu adalah seorang gadis yang manis dan baik. Aku berharap semoga kamu bisa mendapatkan pria yang pantas untuk kamu cintai. Aku disini hanya bisa memberimu semangat, agar kamu tidak mudah putus asa dan menjadi lemah. Seperti kataku tadi aku siap melakukan apa saja untukmu. Aku tidak ingin kamu di sakiti oleh siapapun, karena sekarang kamu adalah bagian dari diriku. Sahabatku.”

Aku menarik bajunya dan menangis di dada Bima. Tuhan biarkanlah aku menangis di sini. Biarkanlah kutumpahkan perasaan ini di dadanya. Biarkanlah aku berada dalam peluknya walau sesaat dan merasakan hangat pelukannya dan sentuhannya. Biarkanlah aku saat ini berangan-angan bahwa dia adalah seorang pria normal. Biarkanlah aku merasa jika juga dia mencintaiku. Biarkanlah aku seperti ini walau hanya sekejap saja. Setelah itu aku akan rela melepaskan rasa cinta dan kasih yang pernah ada untuknya selama ini.



TAMAT
Copyright Sweety Qliquers
www.mininovel-lovers86.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar